Talk Show vs ‘Tolol Show’
Oleh
: Fadil Abidin
Dimuat
di OPINI Harian Analisa Medan, 3 Juli 213
Beberapa
hari ini, media-media sosial ramai memperbincangkan insiden yang terjadi
pada sebuah acara talk show Apa
Kabar Indonesia Pagi TVOne, Jumat (28/6). Saat itu, juru bicara
Front Pembela Islam (FPI) Munarman terpancing emosi dan menyiram wajah sosiolog
Prof. Tamrin Tomagola yang juga Guru Besar Universitas
Indonesia dengan secangkir teh manis. Topik diskusi tentang operasionalisasi hiburan malam selama
Ramadan pun seketika langsung dihentikan setelah insiden itu.
Banyak pihak yang mengecam tindakan tersebut sebagai premanisme.
Tapi yang paling disesalkan adalah sikap stasiun televisi TVOne
yang masih memberi ruang, panggung,
dan kesempatan buat
orang-orang yang punya sejarah dengan kekerasan, permusuhan, dan intoleransi
untuk mempropagandakan ide-idenya.
Insiden di TVOne merupakan sinyal
kepada semua stasiun tv agar berhati-hati dalam mengundang narasumber dalam
acara talk show. Apalagi jika yang
diundang adalah dua pihak yang mempunyai posisi pro-kontra dan mempunyai
indikasi potensi perdebatan yang memanas. Untuk itu perlu diatur posisi tempat duduk
yang tidak saling berdekatan. Narasumber ketiga yang netral harus dihadirkan,
dan ditempatkan di tengah. Jika tidak ada narasumber ketiga yang netral, maka
pembawa acaralah yang duduk di tengah-tengah.
Di Amerika tempat acara talk show
bermula, acara talk show yang menghadirkan dua pihak yang pro-kontra di
televisi pada awalnya juga kerap diwarnai saling serang dan adu jotos para
narasumber. Kemudian ada aturan yang tidak tertulis untuk tidak menyediakan minuman,
gelas, botol, vas bunga, atau apapun, yang bisa dijadikan ‘senjata’ oleh para
narasumber untuk saling melukai.
Acara talk show sebenarnya merupakan
acara yang mempunyai nilai hiburan, informatif, edukatif, dan inspiratif.
Sehingga tidak heran acara talk show seperti Oprah Winfrey Show mampu bertahan
puluhan tahun disukai ratusan juta pemirsa, tidak hanya di AS tapi juga dunia.
Di Indonesia sebenarnya ada juga acara talk show yang memenuhi keempat kriteria
tersebut seperti Kick Andy atau Mario Teguh The Golden Ways.
Talk Show
Bernard
M.Timberg dalam buku Television Talk, A
History of
the TV Talk Show (dalam Winfrey, 2006) mengungkapkan
program talk show di televisi memiliki prinsip-prinsip atau aturan-aturan.
Prinsip pertama, acara tersebut dibawakan oleh seorang host (pembawa acara) dibantu
tim yang bertanggung jawab atas materi, pengarahan, narasumber, dan bentuk
acara yang akan ditampilkan. Prinsip kedua adalah mengandung percakapan berisi
pesan (message)
kepada pemirsa.
Sebagai
produk kebudayaan populer, World Dictionary & Encyclopedia
mendefinisikan talk show sebagai program televisi atau radio tempat audience
berkumpul bersama untuk mendiskusikan bermacam-macam topik yang dibawakan oleh
seorang pembawa acara. Pengertian lain tentang talk show adalah program yang
mengombinasikan talk dan show, dan materi acara berupa struktur percakapan atau
structured conversation (Rose,
1985:330). Karena materi acara tersebut didesain sedemikian rupa, misalnya
tentang tema yang hendak disampaikan, kapan, bagaimana cara penyampaiannya.
Acara talk show di stasiun tv di
Indonesia apalagi yang bertemakan hukum, sosial,dan politik, lebih sering
menjadi ajang pokrol bambu. Seakan ada skenario untuk saling ‘mengadu’ para
narasumber yang berseberangan pendapat. Tidak ada lagi etika dan logika dalam
berbicara, masing-masing pihak seakan merasa dirinya paling benar dengan
keyakinan pihak lain seratus persen salah. Pesan (message) kepada pemirsa tidak tampak, yang
menonjol justru ‘adu bacot’ alias adu mulut yang tidak bermakna dan hanya melahirkan
kegeraman kepada pemirsa.
Talk show yang seharusnya merupakan
acara argumentasi logika untuk mencari solusi atau kesimpulan, pun bila tidak
mencapai sasaran tersebut biarlah masyarakat pemirsa yang menilai dan menelaah
pihak mana yang dianggap mendekati kebenaran. Jadi para narasumber harusnya
sadar bahwa ada pemirsa yang menilai tingkat intelektualitas atau tingkat
‘ketololan’ mereka dalam menyajikan logika atau fakta.
Setiap argumentasi seharusnya
dibalas dengan argumentasi pula. Setiap data atau fakta maka seharusnya
dibandingkan dengan data atau fakta lain sebagai pembanding, dan seterusnya.
Jangan argumentasi dibalas dengan caci maki atau menyerang lawan bicara secara
fisik. Orang-orang seperti ini tidak layak menjadi narasumber talk show yang
merupakan acara dialog. Sehingga orang-orang yang mengedepankan kekerasan dan
intoleransi sebagai perjuangannya, tidak pantas menjadi narasumber talk show.
Orang-orang seperti akan menjadi ‘racun’ bagi pemirsa dan masyarakat.
Untuk itu, stasiun tv harus selektif
dalam memilih tema pembahasan dalam acara talk show dan harus selektif pula
dalam menghadirkan para narasumber. Salah satu stasiun tv kita seringkali
menghadirkan acara talk show yang menurut penulis sangat sensitif untuk
disiarkan secara langsung. Misalnya
masalah Ahmadiyah atau perusakan rumah ibadah. Hal-hal seperti ini sangat
sensitif sehingga sangat riskan disiarkan secara langsung. Apalagi di acara
tersebut dihadirkan para pihak yang saling berseberangan, jangankan titik temu,
perdamaian, atau saling pengertian. Justru yang ada saling menyerang keyakinan
dan kepercayaan orang lain, bahkan tidak jarang keluar kata-kata yang tidak
pantas yang tidak tersensor karena siaran langsung. Acara tersebut bukan malah
mencari solusi tapi justru menimbulkan provokasi dan anarkhi.
Pertunjukan
Orang Tolol
Kita harus prihatin jika televisi
masih terus memberi ruang kepada orang-orang seperti itu. Semoga insiden ini yang pertama
dan terakhir.
Jangan sampai kejadian tak etis itu terjadi lagi, apalagi
disaksikan jutaan masyarakat karena terjadi dalam forum yang disiarkan
langsung. Tidak ada
lagi sopan santun dalam berbicara, dan tidak ada etika kepada orang yang lebih
tua. Yang ada penonjolan diri sebagai anak muda yang angkuh, sok kuasa, dan
merasa tidak terjamah oleh hukum. Ini tentu sangat tidak mendidik, dan menjadi
preseden buruk bagi kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat, juga
berpotensi mengancam dan menimbulkan ketakutan publik.
Tindakan ini
bukan semata tindakan spontan lepas kontrol dalam sebuah diskusi, tapi tindakan
ini adalah tindakan yang kongruen dengan tindakan kekerasan yang selama ini akrab dan kerap
dilakukannya. Untuk itu jangan pernah membuka ruang kepada orang yang pernah terlibat secara
sadar dengan kekerasan dan masih melakukan aksi itu. Orang yang terganggu emosi
dan kejiawaan, orang yang masih dalam pengawasan dokter jiwa, orang yang
menjadi buronan pihak berwajib, orang yang menyebar kebencian, kekerasan,
intoleransi dan sebagainya. Orang seperti ini tak pantas menjadi narasumber
talk show yang ditonton secara luas oleh masyarakat melalui siaran televisi.
Orang yang membalas suatu
argumentasi dengan serangan fisik sebenarnya menderita semacam gangguan
kejiwaan. Argumentasi tersebut dianggapnya sebagai serangan, baik secara psikis
maupun fisik. Sehingga tanpa sadar ia akan membalas dengan kata-kata yang lebih
keras sekaligus menggunakan fisiknya untuk membalas. Bagi sebagian orang
gangguan kejiwaan ini akan berlanjut pada penganiayaan bahkan pembunuhan.
Acapkali kita mendengar (misalnya
ketika dua orang mabuk), pada awalnya mereka berdebat. Tapi karena salah satu
pihak merasa tersinggung, maka kejiwaannya terganggu dan secara spontan ia akan
melukai, dan tak jarang membunuh lawan bicaranya.
Acara talk show di stasiun tv
bukanlah acara ‘orang mabuk’ seperti di pakter tuak, yang narasumber bisa
sesuka hati memaki, menyiram atau melempar lawan bicaranya. Acara debat di tv
kita lebih sering tampak sebagai perdebatan ego dan emosi ketimbang perdebatan
ilmiah. Kondisi ini ditambah dengan pembawa acara yang tidak mampu bertindak
sebagai penengah atau moderator, terkadang malah hanyut dalam perdebatan,
memihak, ada juga yang terjerumus menjadi pengadu domba antar narasumber.
Acara talk show pada awalnya adalah
‘pertunjukkan bicara’ yang narasumbernya berasa dari orang-orang pintar, baik
secara inteletual, moral, dan emosional. Di Indonesia seakan ada pergeseran
nilai terhadap keberadaan acara ini. Stasiun-stasiun televisi seakan berlomba
menyajikan talk show yang berisi perdebatan sengit. Semakin sengit dan panas,
semakin disukai pula oleh produser stasiun televisi tersebut.
Kecenderungan saat ini, talk show
telah berubah bentuk menjadi ‘tolol show’ atau pertunjukkan orang-orang tolol.
Acara perdebatan yang tidak ada ujung pangkalnya, melebihi benang kusut, yang
membuat pemirsa dahinya semakin berkerut. Beginikah sikap orang-orang yang
katanya berpendidikan tinggi? Beginikah sikap orang-orang yang katanya akan
meluruskan moral orang lain sementara moralnya sendiri tidak lurus? Semoga
acara-acara ‘tolol show’ yang menampilkan orang-orang ‘tolol’ ini tidak ada
lagi di acara televisi di Indonesia.