Permasalahan
Penerimaan Siswa Baru
Oleh : Fadil
Abidin
Dimuat dalam
Kolom OPINI Harian Analisa Medan, 28 Juni 2012
Saya diterima di SMA
Negeri 1 Medan tahun 1991, dengan Nilai Ebtanas Murni (NEM) 48,98 atau dengan
nilai rata-rata 8,16. Nama saya tertera di urutan nomor 265 dari 310 siswa yang
diterima berdasarkan nilai NEM. Pada waktu itu, penerimaan siswa benar-benar
‘murni’, dalam arti tidak ada suap-menyuap. Padahal jumlah pendaftar di sekolah
favorit tersebut mencapai 5.000-an. Tidak satu rupiah pun uang yang diberikan
kepada pihak sekolah agar saya diterima.
Barangkali di periode
tersebut merupakan akhir dari ‘kemurnian’ SMAN 1 Medan (kami menyebutnya
Smansa). Bayangkan, walaupun sekolah favorit, uang SPP Cuma Rp 2.500. Selain
itu tidak ada kutipan apapun. Untuk perayaan acara hari besar keagamaan, hari
nasional, dan perpisahan sekalipun tidak ada pengutipan uang.
Ketua OSIS dan ketua-ketua eskul
(ekstrakurikuler), biasanya adalah orang-orang pintar yang melobi dan mencari
sponsor untuk kegiatan-kegiatan sekolah. Di sekolah, kami selalu ditekankan
kemandirian, percaya diri, dan kreativitas. Bukan hanya guru di kelas yang
mendidik hal tersebut, tapi juga kakak-kakak kelas yang tergabung dalam
beberapa kegiatan ekstrakurikuler.
Tapi itu nostalgia masa lalu. Smansa sekarang
bukanlah Smansa 20,30 atau 40 tahun yang
lampau. Selain perubahan fisik gedung dan perubahan formasi para pengajar, juga
terjadinya perubahan ‘budaya’ dalam lingkungan sekolah. Smansa sekarang telah
menjadi RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional), lebih dikenal sebagai
‘menara gading’ atau sekolah elit yang konon mayoritas berisi siswa dari
kalangan “the haves”.
Agar diterima menjadi
siswa baru di Smansa sekarang ibarat masuk lubang jarum. Susahnya minta ampun.
Selain harus mempunyai modal nilai Ujian Nasional (UN) yang tinggi (nilai
rata-rata harus di atas 8,00), juga katanya harus membayar biaya-biaya lain.
Selain itu juga diberlakukan sistem testing, yang memungkinkan terjadinya praktik
yang tidak terpuji.
Sinyalemen bahwa
terjadinya ‘penyisipan siswa, siswa siluman, atau kelas gelap’ dalam skandal
penerimaan siswa baru (PSB), bukanlah berita baru. Hal ini sudah menjadi
rahasia umum sejak lama, tidak hanya di Smansa, tapi juga terjadi di
sekolah-sekolah negeri favorit lainnya.
Pansus PSB
Seperti
diketahui, dalam PSB tahun
2011 lalu, sistem nilai UN digabung dengan nilai test yang diadakan tiap-tiap sekolah. Namun pada prakteknya, model PSB
tersebut menuai sejumlah masalah. Mulai dari adanya rekomendasi siswa tertentu
dari kalangan pejabat, anggota dewan, atau pengusaha agar memasukkan
siswa, meski nilainya tidak
memenuhi syarat. Di samping itu, adanya testing diduga menyuburkan praktek suap di
lingkungan sekolahan.
Skandal PSB ini pun mencuat tahun lalu dan menghiasi
sejumlah media massa di Kota Medan. Kalangan anggota DPRD Kota Medan pun angkat
bicara, kemudian diwacanakan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) PSB. Tapi
pembentukan pansus tersebut ternyata hanya ‘lips service’ atau politik
basa-basi belaka. Gaduh sebentar setelah itu hening tak bersuara lagi. Tidak
ada keinginan yang kuat untuk membentuk pansus ini dari kalangan anggota dewan.
Gagalnya pembentukan Pansus PSB tahun 2011 lalu
mengindikasikan bahwa banyak orang-orang penting yang diduga terlibat di dalamnya.
Konflik kepentingan ini menyebabkan Pansus PSB hanya tinggal omong kosong
belaka. Sinyalemen bahwa ada segelintir anggota dewan atau pejabat daerah yang
‘bermain’ dalam skandal PSB seakan menjadi tak terbantahkan.
Prestise agar anak atau anggota keluarga lainnya
dapat diterima di SMA favorit seakan menjadi keharusan para pejabat di daerah
ini. Apalagi dalam PSB terjadi proses ‘jual-beli’ layaknya sebuah pasar. Maka
yang terjadi adalah hukum ekonomi ‘supply and demand’. Hukum ekonomi ini
menyebabkan siapa saja yang berani membeli dengan harga tinggi, maka dialah yang
berhak menikmati barang/jasa tersebut.
Berdasarkan analogi di atas maka sangat wajar jika
PSB selalu dibayang-bayangi dengan isu suap-menyuap, pungutan liar, surat
rekomendasi atau surat sakti dari para pejabat, dan sebagainya, agar siswa
tertentu diterima di sekolah-sekolah negeri favorit. Ada apa rupanya di
sekolah-sekolah tersebut?
Sekolah Favorit
Bagi kalangan tertentu, masuk SMA negeri favorit
konon akan menaikkan gengsi atau prestise. Barangkali mereka bangga jika
anaknya masuk Smansa, misalnya. Padahal secara akademis, anak-anak mereka tidak
memenuhi syarat karena nilai UN-nya rendah. Sekolah-sekolah negeri tersebut
tentu mematok nilai minimal yang tinggi karena membludaknya pendaftar. Karena
nilai UN rendah, maka banyak pihak yang ‘main belakang’. Nah, di sinilah letak
permasalahnnya. Praktik-praktik tidak terpuji ini, jelas akan merampas hak-hak
orang lain yang seharusnya bisa diterima di sekolah tersebut.
Skandal dan permasalahan dalam PSB sesungguhnya
membuktikan bahwa bangsa kita lebih mementingkan kulit ketimbang isi.
Sekolah-sekolah negeri pada dasarnya mempunyai kualitas yang hampir sama. Sekolah-sekolah
ini menerima bantuan yang sama jumlahnya dari pemerintah (kecuali RSBI).
Fasilitas ruangan, ruang kelas, laboratorium, perpustakaan, dan sebagaianya
juga nyaris sama karena pemberian dana yang sama pula. Guru dan tenaga pengajar
juga sama-sama PNS yang digaji oleh pemerintah.
Barangkali yang menjadi pembeda adalah
sekolah-sekolah negeri favorit diminati oleh banyak calon siswa. Sehingga pihak
sekolah bisa menentukan kualitas minimal dari nilai akademis siswa. Jadi pada
akhirnya, sekolah-sekolah ini memang hanya menerima para siswa yang pintar dari
lulusan SLTP. Jika ‘bibit’-nya sudah bagus, bukankah pihak sekolah tidak
terlalu susah untuk meningkatkan potensi akademik dari siswa yang bersangkutan.
Apalagi jika tingkat persaingan dalam sekolah tinggi, maka rata-rata para siswa
tersebut akan ikut program tambahan belajar di luar sekolah. Mereka biasanya
ikut bimbingan belajar, bimbingan studi, atau les privat di rumah.
Nah, dengan kondisi inilah sehingga tidak heran
jika kualitas siswa di sekolah-sekolah favorit terdongkrak naik juga. Budaya
belajar di sekolah, tingkat persaingan yang tinggi di kelas, dan dasar
intelejensia yang memang mantap dari awalnya merupakan pelecut prestasi siswa.
Siswa yang tidak mengikuti irama ini justru akan terkena stres. Jadi tidak
otomatis, semua siswa dari sekolah favorit akan pintar semua.
Mengawasi PSB
Hari-hari
terakhir ini sungguh melelahkan bagi orangtua siswa. Setelah stres menghadapi UN, mereka kini dihadang dengan masalah baru berupa proses
penerimaan siswa baru (PSB) ke
jenjang pendidikan berikutnya. Pada PSB jenjang pendidikan dasar (SD)
relatif tak ada masalah sebab ada keseimbangan antara jumlah bangku dan jumlah
pendaftar. Bahkan, di beberapa daerah sudah terjadi kekurangan murid sehingga
beberapa sekolah harus bergabung dengan SD sekitarnya.
Tak demikian
halnya dengan jenjang sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas
(SMA). Dibutuhkan perjuangan keras untuk mendapatkan bangku SMP dan SMA, terutama sekolah-sekolah negeri yang
biayanya ditanggung pemerintah. Persaingan untuk mendapatkan bangku di
sekolah-sekolah negeri favorit nyaris menyamai persaingan masuk perguruan
tinggi negeri (PTN).
Persaingan ini jika dilakukan secara fair, terbuka
dan adil tentu akan menciptakan kondisi yang sehat karena adanya kompetisi
untuk menjadi yang lebih baik. Tapi kecenderungan yang terjadi adalah
persaingan yang tidak fair. Sehingga banyak pihak yang menginginkan agar proses
PSB dikawal dan diawasi seperti layaknya pelaksanaan UN.
Koalisi Antikorupsi Pendidikan (KAKP) yang antara lain Indonesia
Corruption Watch (ICW) dan Aliansi Orangtua Murid Peduli Pendidikan berencana akan
mengawasi proses PSB untuk tahun ajaran 2011/2012 (Antara News, 4/6/2011).
KAKP menyebutkan selama masa PSB untuk tahun ajaran
2010/2011 lalu, koalisi telah menerima pengaduan dan pantauan kasus hingga
sebanyak 46 kasus. Kasus yang terbanyak adalah pungutan liar
di mana sekolah menggunakan momen PSB untuk menarik pungutan dari berbagai
siswa. KAKP
menyatakan, sebanyak 32 kasus dapat dikategorkan sebagai pungutan liar atau
sumbangan dengan paksaan. Sedangkan jenis kasus lainnya antara lain
pelayanan informasi PSB yang tidak jelas oleh pemerintah daerah (3 kasus).
Terdapat pula kasus masalah daya tampung sekolah yang tidak memadai (3 kasus), masalah administrasi (2 kasus), penyelenggaraan PSB "online" (2 kasus), jual beli bangku kosong (1 kasus), serta kasus terkait keistimewaan dan "surat sakti" pejabat (1 kasus).
Terdapat pula kasus masalah daya tampung sekolah yang tidak memadai (3 kasus), masalah administrasi (2 kasus), penyelenggaraan PSB "online" (2 kasus), jual beli bangku kosong (1 kasus), serta kasus terkait keistimewaan dan "surat sakti" pejabat (1 kasus).
Menurut KAKP, di tingkat SD/MI pungutan berkisar antara Rp 350 ribu – Rp 500 ribu, di
tingkat SMP/MTs berkisar antara Rp 750 ribu - Rp 1 juta, dan ditingkat
SMA/SMK/MA berkisar antara Rp 2,5 juta – Rp 5 juta.
Saat ini KAKP telah
membuka posko pengaduan bagi orangtua murid di beberapa provinsi antara lain
Aceh, Sumatera Utara, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa
Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi
Tenggara, dan Sulawesi Selatan. Posko pengaduan ini, akan menjadi sumber
informasi dan pengaduan bagi orang tua murid, serta juga akan memberikan
bantuan advokasi pada orangtua murid yang menghadapi kesulitan dalam proses
PSB.
Jadi bagaimana
kita akan memberantas korupsi di negeri ini, jika dunia pendidikan kita selalu
diwarnai dengan korupsi, pungli, dan kecurangan. Anak-anak bangsa yang masih
belia telah kita cekoki dengan racun ketidakjujuran.***