Mengukur Kapabilitas Anggota KPU sebagai Penyelenggara Pemilu

Mengukur Kapabilitas Anggota KPU sebagai Penyelenggara Pemilu
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat di Harian Analisa Medan, 15 November 2008

            Setelah melewati proses panjang dan berliku yang memakan waktu hampir tiga bulan, anggota KPU Kabupaten/Kota se-provinsi Sumatera Utara dilantik 28 Oktober 2008 lalu.Penulis adalah salah seorang dari sepuluh besar calon anggota KPU Kota Medan yang gagal terpilih. Tapi walaupun begitu pengalaman mengikuti seleksi calon anggota KPUD merupakan suatu hal yang luar biasa.Penulis hanya lulusan SMA tapi mampu bersaing dengan puluhan peserta lain yang rata-rata lulusan S1 dan S2.
            Pengalaman sebagai KPPS,PPS dan PPK sejak Pemilu 1999 hingga Pilgubsu 2008 ditam-bah dengan wawasan sebagai penulis menjadi modal utama untuk mengikuti test calon anggota KPU Kota Medan yang tahun ini diikuti sekitar 157 pelamar.Walaupun gagal terpilih,tapi pen-capaian masuk nominasi sepuluh besar adalah sesuatu yang membanggakan.
            Ketika masuk sepuluh besar dan tahap fit and proper test ,penulis sebenarnya berharap para penguji dari KPU Provinsi Sumut menyelenggarakan test yang lebih komprehensif dan apli-katif berkenaan dengan pemilu.Tapi hal ini ternyata tidak terlaksana.KPU Sumut sepertinya ter-buru-buru  mengejar deadline tanggal 28 Oktober 2008.Bayangkan hanya dalam waktu dua minggu KPU Sumut harus berkeliling ke 28 kabupaten/kota se-Sumatera Utara,melakukan fit and proper test terhadap sepuluh calon anggota KPU Kabupaten/Kota untuk memilih lima di antaranya.Dari padatnya jangka waktu fit and proper test hingga penetapan calon,kita dapat mempertanyakan sejauh mana integritas,kualitas dan kapabilitas anggota KPUD yang terpilih.
            Berdasarkan Keputusan KPU No.13 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Seleksi dan Penetapan Anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota Pasal 17 menyebutkan uji kela-yakan dan kepatutan meliputi : a) Kualitas komunikasi dan human relations, b) Kualitas pengua-saan materi manajemen penyelenggaraan Pemilu dan sistem politik serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan bidang politik, c) Integritas diri,komitmen dan motivasi, dan    d) Kualitas pengalaman,kepemimpinan dan kemampuan berorganisasi.
            Bisakah hal-hal di atas didalami dan diketahui hanya dalam waktu 40-30 menit bahkan untuk beberapa peserta terakhir hanya memakan waktu 20 menit wawancara? Adalah sesuatu yang mustahil mengukur integritas,kualitas dan kapabilitas sesorang hanya dalam waktu 20-40 menit.Apalagi soal-soal yang ditanyakan oleh tim penguji dari KPU Sumut lebih fokus pada in-tegritas seseorang.Padahal integritas perlu diuji melalui test case  dan track record.Jika anda di-tanya tentang integritas,apakah Anda orang jujur? Pasti jawaban Anda adalah, saya orang paling jujur di dunia! Tapi apakah jawaban seperti ini bisa dibuktikan?
            Fakta-fakta integritas seseorang perlu diuji melalui test case atau menelusuri track record yang bersangkutan.Jika ia seorang PNS atau dosen misalnya,KPU Sumut perlu menyelidiki peri-laku calon di kantor atau tempatnya ia mengajar.Jika ia pengacara,KPU Sumut perlu menyelidiki catatan kepengacaannya.Jika ia berasal dari pers atau LSM,perlu diselidik bagaimana sepak ter-jangnya,karya-karya apa saja yang pernah dibuat.Untuk para incumbent dan panitia penyeleng-gara pemilu lainnya (misalnya mantan anggota Panwaslu atau PPK) perlu juga diselidiki prestasi apa yang telah dicapai.Karena begitu rumitnya menelusuri fakta-fakta integritas ini,maka ja-nganlah hanya berfokus pada persoalan integritas ketika melakukan wawancara uji kelayakan.
            Selain integritas yang penting adalah kualitas.Ketika Tim Seleski mengajukan sepuluh nama calon anggota KPU Kabupaten/Kota kepada KPU Provinsi Sumut maka kesepuluh nama tersebut pastilah berkualitas.Kesepuluh orang ini telah lulus dari berbagai ujian,mulai dari per-syaratan administratif dan rekam jejak,lulus test seleksi tertulis, serta lulus test asesmen psikolo-gi dan wawancara.Sehingga menyangkut kualitas intelektual dan wawasan,kesepuluh nama ter-sebut sudah layak.Jadi tugas KPU Sumut sebenarnya sangat mudah yaitu tinggal mengukur ka-pabilitas atau kemampuan calon dalam penyelenggaraan pemilu.  
            Maka ketika menghadapi uji kelayakan dan kepatutan,penulis membayangkan akan ada-nya simulasi aplikatif-praktik misalnya tata cara dalam pemutakhiran data dan penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT),bagaimana cara mengisi tabulasi rekapitulasi pemungutan suara,cara pene-tapan suara dan perolehan kursi DPRD,masalah logistik pemilu dan sebagainya.Tapi KPU Sumut lebih berfokus pada pertanyaan integritas,motivasi dan komitmen para calon yang lebih pada jawaban politis yang bisa dibuat-buat dan direkayasa.
            Padahal kapabilitas yang bersifat aplikatif-praktis sesungguhnya sangat dibutuhkan oleh para anggota KPU Kabupaten/Kota.Pemilu Legislatif 2004 adalah contoh dimana para anggota KPU Kabupaten/Kota dan jajarannya di bawah PPK dan PPS gagal dalam masalah pendataan penduduk,logistik pemilu dan rekapitulasi perolehan suara.Pemilu Legislatif sangat berbeda jauh dengan Pilpres atau Pilkada.Pemilu Legislatif yang menganut sistem proporsional daftar calon terbuka dan diikuti oleh banyak partai sangat jauh lebih rumit terutama dalam pengadaan logistik dan rekapitulasi perolehan suara.
            Dalam Pemilu Legislatif,seorang anggota penyelenggara pemilu (KPU Kabupaten/Kota, PPK,PPS hingga KPPS) harus mengenal surat suara.Dalam Pemilu Legislatif kertas suara berbe-da isinya berdasarkan daerah pemilihan (dapil).Dapil Medan I tentu berbeda surat suaranya de-ngan Dapil Medan II.Pada Pemilu Legislatif 2004 berdasarkan pengalaman penulis,ada banyak TPS misalnya,Dapil I tapi surat suaranya ternyata Dapil III.Hal ini baru diketahui menjelang pe-mungutan suara hampir usai.Kesalahan distribusi logistik ini pasti dimulai dari KPU Kabupaten/ Kota yang terus berlanjut ke TPS-TPS.
            Selain kesalahan dalam pendistribusian jenis surat suara,kekurangan logistik juga menja-di hal serius.Hampir seluruh TPS di Kota Medan pada Pemilu Legislatif 2004 kekurangan logis-tik,terutama formulir untuk penulisan berita acara dan rekapitulasi penghitungan suara.Pada Pemilu Legislatif 2004,berita acara dan rekapitulasi penghitungan suara dibuat terpisah-pisah tidak berupa seperti buku yang utuh,sehingga akibatnya form rekapitulasi tersebut banyak yang terlepas dan tidak lengkap halamannya.Untuk Pemilu 2009,KPPS harus bekerja keras membuat berita acara dan sertifikat penghitungan suara 38 rangkap serta wajib diserahkan kepada saksi pe-serta pemilu,masing-masing 1 rangkap dimasukkkan ke dalam kotak dan disegel,untuk Panwaslu lapangan,PPS dan PPK.Jadi minimal KPPS harus membuat 42 rangkapan!
            Berbeda dengan Pilkada atau Pilpres yang sangat mudah dan cepat dalam rekapitulasi penghitungan suara.Kita tahu bahwa Pemilu 2009 akan diiukti 38 parpol dengan daftar ratusan caleg di dalamnya sehingga KPPS maupun PPK nantinya pasti akan mengalami kesulitan dalam rekapitulasi penghitungan suara,apalagi jika penyelenggaranya belum punya pengalaman sama sekali.Pada Pemilu Legislatif 2004 banyak TPS baru bisa merampungkan penghitungan suara antara pukul 20.00-24.00 WIB. Itu baru untuk TPS yang jumlah pemilihnya 300 orang.Sedang-kan untuk Pemilu 2009 berdasarkan UU Pemilu No.10 Tahun 2008 Pasal 150,jumlah pemilih di setiap TPS maksimal 500 orang.Dengan pemilih sebanyak ini maka diperkirakan proses pemu-ngutan dan penghitungan suara bisa sampai subuh hari.
            Ironisnya hal-hal teknis di atas baru diketahui KPU belakangan ini sesudah DPT ditetap-kan dan KPU kabarnya akan melakukan judicial review  dan mengeluarkan surat keputusan agar di tiap TPS jumlah pemilih tidak lebih dari 300 orang.Hal ini menandakan bahwa penguasaan wawasan yang bersifat aplikatif-teknis lapangan di kalangan anggota KPU sangat rendah.KPU maupun KPUD sampai saat ini belum menyiapkan langkah-langkah antisipasi menurunnya mi-nat masyarakat untuk menjadi anggota PPK,PPS dan terutama KPPS.Banyak anggota KPPS yang lama melalui Kepala Lingkungan sudah menyatakan tidak bersedia menjadi KKPS untuk Pemilu Legislatif yang dipandang mereka sangat rumit.Tapi untuk Pilkada atau Pilpres mereka tetap bersedia.
            Maklum saja,para anggota KPU dan KPUD terpilih kebanyakan adalah orang-orang aka-demisi yang lebih banyak mendalami teori ketimbang praktik.Mereka tidak pernah terlibat menjadi anggota KPPS,PPS atau PPK.Ibarat sarjana mereka tidak pernah sekolah SD,SMP dan SMA.Ibarat jenderal mereka tidak pernah belajar baris-berbaris atau membidik senjata.Ibarat supir mereka hapal teori bagaimana mengemudikan sebuah mobil,bagaimana cara menghadapi tanjakan atau jalan berlubang mereka kuasai.Tapi sayang mereka tidak pernah mengendarai mo-bil yang sesungguhnya! Begitulah profil gambaran anggota KPU dan KPUD di Indonesia.Maka yang terjadi adalah begitu sempurna di tingkat teori (baca peraturan) tapi kacau di tingkat implementasi di lapangan.
            Solusi ke depan agar kita mempunyai anggota KPU yang  berkapabilitas tinggi dalam pe-nyelenggaraan pemilu adalah DPR hendaknya menetapkan suatu UU yang mensyaratkan setiap calon anggota KPU harus berpengalaman dalam penyelenggaraan pemilu.Untuk calon anggota KPU harus punya pengalaman di KPU Provinsi,untuk calon anggota KPU Provinsi harus punya pengalaman di KPU Kabupaten/Kota,untuk calon anggota KPU Kabupaten/Kota harus punya pengalaman di PPK,untuk calon anggota PPS harus punya pengalaman di KPPS.Dengan sistem persyaratan berjenjang ini diharapkan agar orang-orang terdidik yang ingin menjadi anggota KPU agar mau dan bersedia menjadi panitia penyelenggara pemilu di tingkat bawah seperti PPK,PPS dan KPPS.Sistem ini sesungguhnya akan memudahkan KPU dalam menyukseskan Pemilu karena anggota-anggota di jajaran bawahnya sudah teruji integritas,kualitas dan kapabilitasnya sebagai penyelenggara pemilu di tingkat terbawah sekalipun.***