Mengkonversi Suara Rakyat Menjadi Kursi di Parlemen


Mengkonversi Suara Rakyat Menjadi Kursi di Parlemen
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat di Harian Analisa Medan, 16 April 2009

            Dalam arti sempit, Pemilihan Umum Legislatif 9 April 2009 kemarin merupakan proses konversi suara rakyat menjadi kursi penyelenggara negara lembaga legislatif (parlemen), baik pada tingkat nasional maupun tingkat daerah.

            Berdasarkan UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilu dan Peraturan KPU No.15 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Penetapan dan Pengumuman Hasil Pemilu,Tata Cara Penetapan Perolehan Kursi, Penetapan Calon Terpilih dan Penggantian Calon Terpilih dalam Pemilu Ang-gota DPR,DPD,DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota Tahun 2009. Ada perbedaan dalam menentukan konversi perolehan suara menjadi kursi parlemen terutama DPR dengan DPRD. Untuk penentuan perolehan kursi di DPR dikenal dengan istilah Parliamentary Threshold (PT) atau ambang batas perolehan suara suatu partai secara nasional sekurang-kurangnya 2,5% (Pasal 202 UU No.10/2008).
            Parpol yang tidak memperoleh 2,5% suara secara nasional tidak disertakan pada peng-hitungan perolehan kursi DPR di masing-masing daerah pemilihan (dapil), hal ini berarti pero-lehan suara parpol tersebut menjadi hangus atau hilang (Pasal 203).Tapi ketentuan tersebut tidak berlaku dalam penentuan perolehan kursi DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota (Pasal 202 Ayat 2).
            DPR-RI memiliki 560 kursi yang terbagi ke dalam 77 dapil dengan jumlah kursi ber-variasi tiap dapil antara 3-10 (Pasal 22). Sebelum menghitung perolehan kursi parpol per dapil, terlebih dulu kita harus menentukan parpol mana yang lolos PT 2,5%  dari surat suara sah na-sional dan parpol mana yang tidak lolos. Parpol yang tidak lolos PT tidak akan diikutkan dalam perhitungan kursi.
Kita andaikan jumlah pemilih tetap mencapai 170 juta dengan tingkat golput 40%  maka hanya 102 juta di antaranya yang mengunakan hak pilihnya. Dari jumlah tersebut, surat suara sah nasional ternyata berjumlah 100 juta. Dengan demikian jumlah suara yang harus dimiliki parpol untuk lolos PT adalah 2,5% atau 2.500.000.Tapi harus diingat angka 100 juta itu adalah suara untuk 38 parpol. Dengan angka PT 2,5 persen, kita asumsikan hanya 10 parpol yang lolos PT dan berhak diikutkan dalam perhitungan pembagian kursi. Karena harus dikurangi suara parpol yang tak lolos PT, kita buatlah total suara sah ke-10 parpol itu 90 juta. Nah, angka 90 juta ini tersebar di 77 dapil.
Penetapan perolehan kursi parpol harus dilakukan per dapil, jumlah kursi dan jumlah pe-milih di tiap dapil berbeda-beda. Sebagai contoh, untuk Provinsi Sumut terdapat 3 dapil (Sumut I,II dan III). Kita ambil Sumut I (meliputi Kota Medan,Deli Serdang,Sergei dan Tebing Tinggi). Jumlah kursi DPR untuk dapil Sumut I adalah 10 sedangkan jumlah suara sah misalnya sekitar 3 juta (setelah parpol yang tidak lolos PT dikeluarkan). Maka bilangan pembagi pemilih (BPP) dapil Sumut I adalah 3.000.000 : 10 = 300.000. Jadi satu kursi DPR di dapil Sumut I “dihargai” 300.000 suara. Ada 3 tahap dalam penentuan perolehan kursi DPR. Pertama, menentukan angka bilangan pembagi pemilih (BPP), kedua, 50% dari BPP, ketiga, BPP baru, dengan cara suara dan kursi sisa ditarik ke gabungan dapil di provinsi .

Tahap Pertama (Pasal 205 Ayat 1-3)
Kita anggap 10 parpol yang lolos PT adalah A hingga J. Parpol A (610.000), B (370. 000), C (350.000), D (301.000), E (220.000), F (200.000), G (156.000), H (70.000), I ( 50.000) dan J (40.000). Perhitungannya adalah Jumlah Suara : BPP, maka parpol yang memperoleh masing-masing kursi di tahap pertama adalah parpol A (dua kursi) dengan sisa suara 10.000 (dari 610.000 : 300.000). Parpol B (satu kursi) dengan sisa suara 70.000, C (satu kursi) sisa suara 50. 000 suara, D (satu kursi) sisa suara 1000.Dengan demikian dari 10 kursi, tinggal 5 yang tersisa.     

Tahap Kedua (Pasal 205 Ayat 4)
Penghitungan kursi tahap kedua dengan cara membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi (dalam hal ini 5 kursi lagi) kepada parpol yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 50% dari BPP (300.000). Jadi parpol yang mempunyai suara 150.000 ke atas mendapat 1 kursi, maka dalam hal ini parpol E, F dan G mendapat masing-masing 1 kursi. Maka kursi yang tersisa pada tahap kedua ini adalah 2.
Jika pada tahap kedua ini tidak ada parpol yang lolos 50 persen BPP, maka semua suara dan sisa kursi akan dibawa ke perhitungan tahap ketiga dengan cara ditarik ke propinsi untuk digabung dengan dapil lain dan dicari BPP baru per propinsi. Perlu dicatat, parpol yang mem-peroleh kursi di tahap kedua ini secara otomatis tidak bisa lagi dibawa ke tahap ketiga. Meskipun suaranya melebihi 50 persen BPP sehingga masih ada sisa, namun sisa ini dianggap hangus. Dalam hal ini sisa suara parpol E, F dan G hangus, sedangkan sisa suara partai A, B, C, D, H, I dan J masih diikutkan pada tahap ketiga.

Tahap ketiga (Pasal 205 Ayat 5-7)
Perhitungan tahap ketiga dilakukan dengan cara menarik seluruh sisa suara dan sisa kursi dari tiap dapil ke propinsi untuk dicari BPP baru. Di Sumut terdapat 3 dapil, maka suara sisa dan kursi sisa dari ketiga dapil ini ditarik ke propinsi alias digabung. Dari dapil I kita telah mempe-roleh sisa kursi sebanyak 2 buah, dengan sisa suara sebanyak 447.000 (gabungan dari suara parpol G,H,I,J dan sisa suara parpol A,B,C,D).
Kita berasumsi lagi, untuk dapil Sumut II sisa kursi sebanyak 2 buah dan sisa suara sebanyak 463.000, sedangkan untuk dapil Sumut III sisa kursi sebanyak 1 buah dan sisa suara sebanyak 390.000.Maka gabungan sisa suara provinsi adalah 1.300.000.Untuk memperoleh BPP baru, gabungan sisa suara dibagi dengan sisa kursi ( dalam hal ini 1.300.000 : 5 = 260.000). Par-pol yang gabungan suaranya dari ketiga dapil mencapai angka 260.000 akan mendapat 1 kursi lagi.
Jika jumlah parpol yang lolos BPP baru ini melebihi jumlah kursi, maka pembagian kursi dilakukan secara rangking. Lima parpol (sesuai dengan sisa kursi di atas) dengan suara gabungan terbanyak akan mendapatkan masing-masing 1 kursi. Jika tidak ada yang lolos BPP baru ini, maka mekanismenya juga menggunakan ranking. Lima parpol dengan suara terbanyak akan mendapatkan masing-masing 1 kursi.Jika ada dua parpol atau lebih yang memperoleh suara sama, namun jumlah kursi yang ada tinggal 1, maka pembagian kursi dilakukan dengan cara undian yang  dilakukan dalam rapat pleno terbuka KPU (Pasal 23 Peraturan KPU No.15/2009).
Jika sebuah parpol memperoleh kursi pada tahap ketiga ini, lantas di dapil mana dia harus mendudukkan wakilnya? Jawabannya adalah di dapil yang menyumbang suara paling banyak.
Lantas bagaimana jika ternyata di dapil tersebut kebetulan tidak ada kursi sisa? Jawabannya adalah diambilkan kursi dari dapil terdekat yang memiliki sisa kursi.
Perhitungan Kursi DPRD
Untuk DPRD provinsi maupun kabupaten/kota mekanisme perhitungan kursinya sama, PT tidak berlaku. Artinya seluruh parpol yang memperoleh suara, berapa pun suaranya, akan diikutkan dalam pembagian kursi. Perhitungan hanya dilakukan dalam 2 tahap. Tahap pertama dilakukan dengan membagi suara sah seluruh parpol di sebuah dapil dengan jumlah kursi untuk ditentukan BPP-nya. Parpol yang lolos BPP ini akan memperoleh kursi (Pasal 211-212 UU No.10/2008).
Misalnya untuk kursi DPRD Kota Medan dapil Medan I tersedia 11 kursi (meliputi Kecamatan Medan Amplas, Denai, Area dan Medan Kota). Jumlah suara sah seluruh parpol di dapil ini adalah 110.000. Maka BPP-nya adalah 110.000 : 11 = 10.000. Jadi “harga” 1 kursi di dapil Medan 1 adalah 10.000 suara.
Misalkan partai A mendapat 21.500 suara, B (17.000), C (11.500), D (9.500), E ( 8.500), F (5.000), G (4.000), H ( 3.500), I (3.000), J (2.500), K (2000), L (1000) dan seterusnya tidak lebih dari 1000 suara. Maka yang mendapat kursi tahap pertama adalah partai A (2 kursi sisa suara 1.500), B (1 kursi sisa suara 7.000), dan C (1 kursi sisa suara 1.500). Jadi 4 kursi sudah terbagi dan sisa 7.
Jika pada perhitungan pertama masih terdapat sisa kursi,perhitungan tahap kedua di-lakukan dengan cara ranking. Maka ranking suara parpol dari 1 sampai 7, baik yang belum terbagi oleh BPP maupun yang sudah adalah partai D (9.500), E (8.500), B (7.000) F (5.000), G (4.000), H (3.500), dan I (3.000). Masing-masing parpol ini mendapat 1 kursi sehingga genap menjadi 11 kursi. Jika terdapat dua parpol atau lebih dengan suara sama, sedangkan sisa kursi tinggal 1 (tidak mencukupi), maka penentuan akan dilakukan dengan cara diundi dalam rapat pleno terbuka KPUD setempat.
Setelah seluruh parpol memperoleh jatah kursi masing-masing, barulah KPU/KPUD menentukan kepada caleg yang mana kursi anggota dewan tersebut akan diberikan. Dengan merujuk putusan Mahkamah Konstitusi (MK), maka kursi diberikan ke caleg yang memperoleh suara terbanyak dari parpol yang bersangkutan di masing-masing dapil.
Jika di sebuah dapil suatu parpol memperoleh kursi, namun tidak ada satupun caleg yang memperoleh suara (misalnya para pemilih mencontreng tanda gambar partai saja),maka pem-berian kursi ditentukan oleh parpol yang bersangkutan.Jika terdapat dua atau lebih caleg yang memperoleh suara sama,sedangkan kursinya tidak mencukupi,maka pemberian kursi juga diten-tukan oleh parpol yang bersangkutan.
Jangankan untuk memilih yang memakan waktu dan membingungkan karena banyaknya parpol dan nama caleg, petugas KPPS pun sangat kewalahan dalam merekapitulasi perolehan suara di TPS hingga ada yang bekerja hingga Subuh hari. Demikian juga PPK yang kewalahan harus merekapitulasi ratusan TPS di wilayah kerjanya hanya dalam 5 hari. Jangankan orang awam para caleg pun banyak yang tidak tahu bagaimana mekanisme konversi perolehan suara menjadi kursi.
Pemilu Indonesia yang menganut sistem proporsional daftar terbuka dengan diikuti 38 parpol dan ratusan nama caleg di kertas suara, serta membagi-bagi daerah pemilihan dengan jumlah kuota kursi tertentu, merupakan  adopsi dari penggunaan metode kuota varian Hamilton/ Hare/Niemeyer dengan sisa suara terbanyak, justru menghasilkan kerumitan yang luar biasa. Entah kapan negara ini akan meninggalkan sistem pemilu yang maha rumit seperti ini untuk beralih dengan single member district system seperti di Amerika yang sederhana. Logikanya negara yang maju, kaya dan penduduknya lebih cerdas dari kita saja menggunakan sistem yang sederhana, mengapa kita justru memilih sistem yang rumit?
Sistem pemilu yang diterapkan di Indonesia memang sangat rumit, sangat prosedural, birokratis, mahal, memakan waktu, tenaga dan sumber daya serta rentan terhadap kecurangan. Sistem Pemilu yang kita terapkan sewaktu memilih anggota DPR, DPD dan DPRD pada 9 April 2009 lalu menurut pengamatan pihak luar adalah the most complex election system in the world and the biggest election ever have in one day di dunia ini.***