Munafiknya Para Koruptor di Indonesia
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat di Harian Analisa Medan, 29 Agustus 2008
Yang khas dari pelaku korupsi,kolusi dan nepotisme di Indonesia adalah mereka menga-ku enggan melakukan KKN.Jika mereka didakwa melakukan KKN,dengan tegas membantah, bahkan terhadap bukti yang diajukan dalam pengadilan sekalipun .Ingat kasus BLBI yang meli-batkan pejabat Kejaksaan Agung.Di media massa dan pengadilan,dia membantah dirinya bukan koruptor dan pengkhianat negara.Meski bukti menunjukkan dia menerima suap demi untuk membebaskan obligor yang merugikan negara,dia tetap membantahnya.
Ingat pula penyelewengan dana Bank Indonesia yang mencapai lebih dari Rp 60 miliar yang dibagi-bagikan kepada sejumlah anggota DPR termasuk dua orang yang kini menjadi menteri.Mereka yang menerima dana itu ramai-ramai membantah.Mereka lalu memasang tam-pang tak bersalah bahkan dengan gaya ‘sok’ bijaksana memberi komentar.”Biarlah proses hu-kum yang membuktikannya!” Memang untuk membuktikan kasus seperti ini KPK (Komisi Pem-berantasan Korupsi) akan mengalami kesulitan karena bukti tidak ada.Karena penyerahan uang tersebut seperti yang dinyatakan Aulia Pohan,salah seorang mantan pejabat BI di Pengadilan Tipikor,tanpa disertai tanda terima atau kwitansi.Bahkan dengan bukti kwitansi saja mereka bisa berkelit.Ingat kasus salah seorang anggota DPR yang menyerahkan uang Rp 300 juta kepada bendahara sebuah parpol yang berasal dari suap.Sang bendahara langsung membantah bahwa uang tersebut adalah uang internal partai sendiri.
Kasus suap yang berhasil ditangani biasanya memang sudah jauh-jauh hari dipantau oleh KPK.Sehingga KPK mengadakan pengintaian,penyadapan hingga melakukan penyergapan yang langsung menangkap si pelaku di TKP,baik yang disuap maupun yang menyuap.Si pelaku pun tak bisa berkutik karena KPK punya banyak barang bukti,baik sadapan telepon,foto,sitaan bara-ng bukti berupa uang atau barang dan sebagainya.Untuk operasi seperti ini KPK patut kita acu-ngi jempol.Tapi para pelaku pintar juga berkelit,mereka biasanya kemudian mengembalikan uang suap itu dan menyatakan uang tersebut sebagai gratifikasi bukan suap!
Contoh lain,pejabat perpajakan yang mengaku "telah mendidik perusahaan dan menyela-matkan uang negara".Bersama timnya,beberapa kali mendatangi dan menagih pajak ke beberapa perusahaan pengemplang pajak.Hasil negosiasi,para pengemplang pajak ini diberi keringanan dan insentif dengan cukup membayar 50 persen pembayaran pajak terhutang.Namun, untuk bisa mendapatkan keringan 50 persen ini ,para pemilik perusahaan lebih dulu memberi uang "upeti" kepada tim itu.Si pejabat pajak tak merasa melakukan KKN.Alasannya, "jika tidak dididik seperti itu,perusahaan tidak akan membayar pajak sehingga negara dirugikan lebih besar." Dia tak merasa bersalah ketika memakan uang suap yang dianggapnmya sebagai hal yang biasa.”Ada fulus urusan jadi mulus” benar-benar dianut oleh sebagian besar pejabat di negara ini dari PNS yang paling bawah hingga kalangan DPR sekalipun.
Perspektif Psikologi
Dalam perspektif psikologi,kecenderungan pelaku KKN membantah tindakannya terkait mekanisme pertahanan diri (defence mechanism). Sigmund Freud,menamakan gejala itu denial, yaitu upaya individu menyangkal apa yang telah dilakukannya jika dia menyadari kelakuannya itu dapat membahayakan diri sendiri.
Jika pelaku KKN menilai pengakuannya akan membahayakan karier atau harga diri,dia memilih menyangkal.Karena itu,dia berusaha menyangkal perbuatannya,bahkan dengan cara me-lebih-lebihkan dan melakukan rasionalisasi dengan mengatakan,yang dilakukan bukan korupsi, tetapi justru untuk menyelamatkan negara.Tidak mengaku menerima suap tapi sekadar uang gratifikasi dan ungkapan terima kasih.Lebih ironis lagi ada anggota Dewan yang berasal dari parpol Islam mengaku uang suap itu digunakan untuk membangun Masjid dan pesantren.
Kecenderungan mereka sesungguhnya terkait cognitive dissonance.Menurut Heider (1980),tiap manusia ingin mengalami kehidupan pribadi yang harmonis atau konsonan.Untuk itu, manusia berusaha mencari kesesuaian dalam bersikap dan berperilaku.Misalnya,tidak setuju KKN karena itu perbuatan jahat (menyebabkan rakyat menderita).Namun,ada keinginan memili-ki rumah megah,mobil mewah,deposito,ingin dianggap sebagai dermawan dan lainnya.Akhirnya melakukan KKN.Tetapi karena memiliki sikap (penilaian) bahwa KKN itu jahat,ada perasaan tak nyaman.Artinya ada perasaan dissonance (tak konsonan).
Agar hidup menjadi nyaman kembali (konsonan),ada beberapa kemungkinan yang dapat dilakukan.Pertama,mengubah tingkah laku agar ada konsistensi dengan sikap.Maka, si pelaku harus bertobat dan berhenti melakukan KKN agar perilakunya sejalan dengan sikap yang dimili-ki.Kedua,mengubah sikap sehingga konsisten dengan perilakunya.Maka,sikap negatif (tidak setuju) atas KKN perlu diubah.Perbuatan KKN harus dibenarkan sehingga tidak terjadi perten-tangan antara sikap dan tingkah laku KKN.Dalam tahap ini si pelaku sudah menganggap korupsi itu sebagai hal yang wajar.Kemungkinan ketiga,trivialization,menganggap sepele inkonsistensi (pertentangan) antara tingkah laku dan sikap,tidak perlu dihiraukan atau dianggap angin lalu. Dengan cara ini,siapa pun bisa rajin dan tenang beribadah,menyumbang tempat-tempat ibadah dan anak yatim piatu tapi sambil terus melakukan KKN.KKN sudah dianggap ‘ibadah’ karena uang yang ia korup bisa disumbangkan lagi kepada orang lain.Si pelaku sudah menganggap dirinya sebagai ‘Robinhood’.Dia punya pandangan bahwa dosa KKN bisa terhapuskan dengan melakukan ritual agama,menderma dan sebagainya.
Upaya menghilangkan gejala psikologis yang dialami para koruptor atau pelaku KKN ini tentu bukan pekerjaan ringan.Perlu ada shock therapy yang ampuh.Apalagi dalam banyak kasus, korupsi di Indonesia bukan hanya didorong oleh motif pribadi pelakunya,tetapi juga karena me-rasa harus conform terhadap lingkungan atau sistem yang korup.Secara psikologis,seorang pegawai cenderung merasa tidak nyaman dan tidak aman (sering dicap rekan-rekannya "sok bersih", "sok pahlawan" atau jangan menjadi “ustadz di kampung maling”) jika tidak korup da-lam lingkungan kerjanya yang korup.Itu sebabnya mengapa para pelaku KKN di Indonesia ja-rang bertindak sendirian,tetapi hampir selalu bekerja dalam tim,berkomplot, berjamaah dan membentuk "jaringan mafia".
Meski bukan pekerjaan mudah,tidak berarti korupsi di Indonesia tidak dapat dikurangi dan diberantas.Apa yang telah dilakukan KPK perlu mendapat dukungan masyarakat Indonesia. Apa yang telah dilakukan lembaga ini bukan hanya menjadi bukti bahwa law enforcement di Indonesia telah diterapkan secara tidak pandang bulu.RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di tiap provinsi harus segera disahkan.
Sebagai shock therapy,wacana hukuman mati bagi para pelaku korupsi harus segera di-wujudkan.Tapi wacana ini tampaknya hanya utopia.Kita harus maklum bahwa yang menggodok UU adalah DPR.Apakah mungkin DPR akan menjerat lehernya sendiri ke tiang gantungan? Saat ini banyak sekali anggota DPR yang terlibat kasus suap dan korupsi.
Di sinilah sulitnya jika kita berhadapan dengan orang munafik.Menurut Rasulullah SAW tanda orang munafik itu ada tiga: jika berbicara ia berdusta (bermuka dua,lain di bibir lain pula di hati),jika berjanji ia mengingkari,jika diberi amanah (kepercayaan atau jabatan) ia mengkhia-nati.Para koruptor sudah pasti termasuk dalam golongan ini.Pada zaman Rasulullah SAW dulu, munafik ini termasuk kategori kejahatan berat.Sehingga ketika ada seorang munafik meninggal dunia,Rasulullah tidak sudi melayat jenazahnya.Karena apa?
Kemunafikan itu lebih berbahaya dari apa pun.Ia adalah pengkhianat,musuh dalam seli-mut.Kemunafikan bisa mengacaukan tatanan masyarakat,bangsa dan negara.Kita patut memper-tanyakan rajinnya para koruptor yang melaksanakan ritual keagamaan dan berderma.Dalam Is-lam ada disebut “salat itu mencegah perbuatan keji dan mungkar”.Jika ia salat tapi tetap korupsi terus,berarti ada yang tidak beres dalam ibadahnya.Ibadah yang ia lakukan hanya untuk menu-tupi kedok kejahatannya supaya dilihat sebagai orang ‘alim’.Inilah munafiknya para koruptor di Indonesia!***