Nasib Buruh Memang Selalu Buruk
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat di Harian Analisa Medan, 1 Mei 2009
Menjadi buruh bukanlah sebuah cita-cita impian, bahkan barangkali itu sebuah kutukan. Maksud hati ingin menjadi pengacara atau dokter malah bertahun-tahun terpaksa menjadi buruh, baik sebagai buruh harian lepas hingga menjadi buruh kontrak (outsourching).
Menjadi buruh ibarat lagu dari Bang Haji Rhoma Irama cuma sekadar “gali lobang tutup lobang”, hidup hanya pas-pasan sekadar untuk menyambung hidup.Tanggal 1 gajian, tanggal 23 sudah tak punya uang, akhirnya berhutang.Padahal pengeluaran ditekan sehemat mungkin, tidak merokok, hemat listrik, hemat sabun cuci, lauk sehari-hari cuma ikan asin,tempe,tahu atau telur, beli baju baru cuma satu atau dua helai sewaktu lebaran saja dan sebagainya. Begitulah yang terjadi selama bertahun-tahun. Kaum buruh adalah kaum marginal dan miskin, tidak ada yang hidup kaya hanya karena menjadi buruh.
Berbicara tentang kemiskinan, di artikel OPINI Harian Analisa ini saya pernah menulis tentang kemiskinan yaitu kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural. Penulis mengategori-kan diri sendiri sebagai generasi yang dibelit oleh kemiskinan struktural dan kultural sekaligus. Ayah hanya seorang pedagang kaki lima tamatan SD, demikian juga Ibu. Kakek-nenek hanya buruh perkebunan. Tapi sesungguhnya Ayah-Ibu bukanlah orang bodoh, justru mereka punya kecerdasan yang luar biasa. Mereka tidak mampu melanjutkan sekolah karena tiada biaya. Maklum zaman dulu tidak ada KB, Kakek-Nenek punya anak sembilan orang, tidak cukup kemampuan menyekolahkan anak-anaknya lebih tinggi lagi.
Ayah-Ibu punya cita-cita agar anak-anaknya bisa hidup sejahtera tidak menurun menjadi miskin seperti mereka. Mereka ingin ketiga anaknya kuliah semua, punya titel, jadi PNS, dokter, pegawai bank dan sebagainya. Tapi apa hendak mau dikata. Kursi perguruan tinggi barangakali terlalu mewah bagi golongan bawah seperti kami. Kami tiga bersaudara bukanlah orang bodoh, kami sejak SD hingga SLTA selalu rangking tiga besar di sekolah. Kami juga ikut test Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN), Abang tertua diterima di Fakultas Kedokteran USU, yang nomor dua di UGM Yogyakarta dan saya sendiri di Fakultas Hukum USU.
Orang tua lain mungkin akan bahagia tapi ketika kami mengabarkan kepada Ayah-Ibu bahwa kami lulus UMPTN, Ayah malah balik bertanya, “Kuliah? Mau bayar pakai apa? Memangnya kuliah itu gratis?”
Keinginan kuliah tetap ada dengan cara mencari utang agar bisa melunasi biaya masuk dan uang SPP semester pertama,biar nanti kuliah sambil bekerja.Tapi para tetangga dan keluarga miskin semua,tidak ada yang bisa diutangi. Kandas impian untuk merasakan bangku kuliah. Menjadi PNS jelas tak bisa karena tidak ada sanak keluarga yang bisa mengatrol menjadi PNS. Tamat SMA beberapa bulan menganggur dan akhirnya bekerja menjadi buruh, beberapa tahun menjadi buruh lalu di-PHK kemudian menjadi buruh lagi.
Mau tahu berapa penghasilan rata-rata buruh sekarang? Jangan berbicara tentang UMR apalagi UMP, itu tidak berlaku bagi buruh-buruh pabrik perusahaan kelas menengah ke bawah. Mereka digaji rata-rata Rp 700.000 per bulan. Kalau tidak datang, gaji dipotong Rp 20.000 per hari (no works no money). Sehingga ada rekan penulis yang bekerja sampai dua shift (18 jam sehari) demi mendapat penghasilan tambahan. Tapi apa yang terjadi, beberapa bulan kemudian dia malah jatuh sakit dan di-PHK. Beberapa rekan buruh lainnya menjadi penarik ojek di sekitar bandara Polonia dan penarik betor (becak bermotor) pada sore hingga malam hari setelah pulang dari pabrik.
Penulis menyiasati hidup untuk menambah penghasilan dengan menulis di surat kabar, baik berupa puisi, cerpen, cerita anak hingga artikel Opini. Hasilnya lumayanlah untuk menutupi kebutuhan rumah tangga. Kebisaan dan kemampuan menulis sebenarnya karena keterpaksaan untuk mempertahankan hidup dan karena “kecelakaan”. Delapan tahun lalu saya bekerja sebagai buruh kontrak (outsourching) dan dipekerjakan sebagai petugas cleaning service di sebuah bank. Bank kebetulan berlangganan beberapa koran (termasuk Analisa) dan majalah.
Pada awalnya koran itu hanya ditumpuk di gudang setelah dibaca para pegawai. Saya pun sebenarnya hobi membaca, di sela istirahat makan siang selalu membaca koran. Lama-lama saya berpikir, kalau hanya membuat puisi, cerpen atau tulisan Opini seperti yang ada di koran, saya pun bisa! Saya pun lalu mendekati dan membujuk salah seorang pegawai bank untuk mengajari saya mengoperasikan komputer. Untung saja pegawai tersebut baik hati dan mau, maka setelah menyelesaikan tugas menyapu dan mengepel pada sore harinya saya belajar komputer di kantor. Saya pun lalu menulis sebuah artikel Opini, karya tulis saya yang pertama. Dan… luar biasa! Karya tulis Opini itu langsung dimuat Harian Analisa.
Tapi itulah sakitnya menjadi buruh outsourching, habis manis sepah dibuang! Setelah tiga tahun dan masa kontrak berakhir, pihak manajemen bank memutuskan untuk tidak melanjut-kan kontrak karena ada penyedia outsourching lain yang berani menawarkan gaji lebih rendah, tenaga kerja yang lebih muda dan lebih cekatan.Pihak bank memang tak bisa dipersalahkan kare-na demi alasan efisensi mereka tentu mencari tenaga kerja yang lebih murah.Yang patut dikecam adalah penyedia outsourching tersebut yang berani menawarkan tenaga kerja yang lebih murah sehingga terjadi persaingan tidak sehat antar penyedia outsourching. Mereka jelas merebut periuk nasi orang lain atau istilahnya “jeruk makan jeruk”. Coba bayangkan gaji saya pada waktu itu Rp 700.000 per bulan tapi penyedia outsourching baru itu mampu menawarkan tenaga kerja yang cukup digaji Rp 550.000 saja perbulan.
Setelah di-PHK menjadi buruh outsourching kemudian beralih menjadi buruh harian lepas di sebuah pabrik pengemasan air minum. Kerja di sini tentu lebih berat ketimbang masih menjadi petugas cleaning service di bank.Gajinya pun sangat rendah yaitu Rp 600.000 per bulan, setiap ada hari libur nasional atau tidak datang bekerja dipotong Rp 20.000 per hari. Jamsostek tidak ada, hak cuti tidak ada, bahkan THR pun tidak ada. Kalau tidak suka silakan angkat kaki dari pabrik. Itu pun yang ingin melamar masuk kerja di pabrik tersebut berebut.
Untuk menutupi kebutuhan keluarga, isteri pun terpaksa ikut bekerja. Anak kami yang masih berumur satu tahun dititipkan kepada Ibu. Isteri bekerja sebagai petugas cleaning service di sebuah sekolah internasional, penyedia outsourching yang memperkejakannya cukup meng-internasional, konon franchise dari Denmark. Tapi ironis sistem penggajiannya sangat “kampungan”, isteri cuma digaji Rp 600.000 per bulan. Kalau tidak masuk kerja gaji dipotong Rp 30.000 per hari. Kerja extra time 30-45 menit dianggap sebagai loyalitas dan tidak dianggap sebagai lembur. Ya, beginilah nasib keluarga kaum buruh.
Keinginan untuk mengubah nasib menjadi lebih baik selalu ada. Misalnya ketika ada lowongan menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Medan. Kebetulan syaratnya cukup ringan, tamatan SLTA sederajat boleh mendaftar.Penulis lalu berhenti menjadi buruh pada pabrik yang tak berperikemanusiaan itu dan berkonsentrasi pada pemilihan anggota KPUD.
Dari 157 pendaftar dan setelah diadakan rangkaian test, saya lolos masuk 20 besar. Di-adakan serangkaian test lagi, penulis lolos 10 besar. Di antara 10 besar ini, 5 orang adalah tamatan S2, 4 orang tamatan S1 dan hanya saya saja yang tamatan SMA. Dari 10 orang ini akan dipilih 5 orang sebagai anggota KPUD. Tapi mungkin karena nasib baik yang tak memihak, atau mungkin karena “kalah titel” atau “kalah tender” , penulis gagal lolos menjadi anggota KPUD. Pengalaman penulis sebagai ketua/anggota KPPS,PPS dan PPK serta pengetahuan dalam menulis puluhan artikel tentang Pemilu ternyata tidak masuk perhitungan anggota KPU Provinsi Sumut sewaktu melakukan fit and proper test.
Barangkali memang nasib saya ditakdirkan sebagai buruh, dan selamanya akan tetap menjadi buruh. Sedikit bahkan nyaris tidak ada celah kesempatan dan peluang untuk merubah nasib menjadi lebih baik. Di negeri ini orang membutuhkan sederet titel atau gelar sarjana pada namanya agar dipandang dan dihargai. KKN, koneksi dan pertemanan tak bisa hilang dari proses pengangkatan pegawai, jabatan atau kedudukan. Saya jelas tak punya itu semua! Sekali menjadi buruh tetap menjadi buruh!
Sebetulnya, pada masa Orde Baru buruh mendapat tempat yang relatif lebih baik diban-ding sekarang. Hukum perburuhan Indonesia masa itu,dibanding negara-negara Asia Tenggara lainnya, dianggap paling melindungi buruh dari segala celah yang dapat mengeksploitasi kaum buruh. Tapi di era reformasi ini, keadaan justru tidak lagi memihak buruh. Kondisi ini diperparah dengan krisis global, pabrik banyak yang tutup karena gulung tikar, PHK massal pun terjadi, beberapa pabrik yang coba bertahan mengurangi gaji dan jam kerja para buruhnya. Buruh perlahan diseret kembali ke momen menuju kematiannya. Meminjam frase Ingleson (2004), menjadi buruh di negeri ini bak seonggok tubuh dengan “tangan dan kaki terikat!”
Nasib buruh memang selalu buruk. Mengapa harus ada Hari Buruh, bukankah tidak ada manusia yang bercita-cita menjadi buruh? Memperingati Hari Buruh bukankah merayakan kemalangan diri sendiri karena menjadi buruh? ***