Pancasila sebagai Dasar Pembentukan Negara Republik Indonesia
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat di Harian Analisa Medan, 14 Agustus 2008
Pancasila secara historis,politis maupun filosofis tidak akan bisa dipisahkan dari Prokla-masi 17 Agustus 1945.Pancasila adalah sebagai “modal” dasar bagi pembentukan negara Repu-blik Indonesia.Secara historis perlu diketahui bahwa Pancasila bukanlah merupakan hasil renu-ngan spekulatif seorang filosof sebagai a man of thought.Pancasila dirumuskan secara induktif oleh seorang nation builder,sebagai kristalisasi pengalaman dan pengamatannya terhadap kesa-maan masyarakat Indonesia,yang diperlukan dalam rangka pembentukan sebuah negara.
Pancasila bukanlah hasil wacana filsafat yang bertujuan mencari prima causa,atau haki-kat kebenaran.Pancasila adalah respons Ir Soekarno sebagai tokoh pergerakan rakyat – a man of action – terhadap pertanyaan Ketua BPUPKI,Dr. Radjiman Widyodiningrat pada tanggal 28 Mei 1945 kepada para anggota badan tersebut,tentang apakah dasar dari negara yang segera akan dibentuk.
Sejak tahun 1944,karena terdesak oleh berbagai kekalahan dalam perang dan untuk me-ngambil hati rakyat Indonesia,Pemerintah Kekaisaran Jepang memang telah memberikan janji bahwa Indonesia – yang didudukinya sejak awal tahun 1942 - segera akan diberi kemerdekaan. Salah satu dari janji itu adalah membentuk BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia),suatu badan yang terdiri dari kalangan terpelajar saat itu untuk merumuskan Undang-Undang Dasar dan dasar negara Indonesia merdeka.
Pancasila pernah disifatkan sebagai filsafat politik.Namun, mungkin perlu dipertanyakan, apakah pemikiran tentang Pancasila memang sudah cukup mendalam dan cukup berkembang secara koheren dan konsisten sehingga layak untuk diberi predikat sebagai filsafat politik, setingkat dengan filsafat politik lainnya di dunia?
Jika filsafat ditandai oleh pikiran yang mendalam,kritis dan sistematis,maka dapat dika-takan bahwa Pancasila belum berkembang secara memadai sebagai suatu filsafat politik.Sebab-nya adalah karena Ir. Soekarno - sebagai “penggali” Pancasila - belum pernah berkesempatan menuangkan fikirannya secara filsafati,walaupun setelah tahun 1945 itu Ir Soekarno pernah dua kali mengulas lebih lanjut pemikirannya dalam kursus resmi mengenai Pancasila.Sukar untuk dibantah,bahwa sampai saat ini pun Pancasila masih sarat dengan retorika,dan karena itu amat rentan terhadap penafsiran sesaat.Demikianlah yang terjadi pada saat dunia secara ideologis ter-pecah antara Kubu Barat yang liberalis-kapitalis dan Kubu Timur yang komunis-sosialis-marxis. Soekarno sendiri pernah menjelaskan bahwa Pancasila adalah “Marxisme yang diterapkan di In-donesia” atau Pancasila sama dengan “Nasakom”. Hal itu sudah jelas tidak benar.
Namun kerentanan pemikiran Soekarno karena pengaruh situasi sesaat tersebut tidaklah mengecilkan makna sumbangannya terhadap eksistensi negara Republik Indonesia.Sumbang-annya yang akan bersifat abadi terhadap Indonesia adalah anjurannya yang diterima pada tanggal 1 Juni 1945 kepada BPUPKI untuk menerima lima Sila tersebut sebagai dasar negara yang kemudian disebutnya sebagai Pancasila;lalu kepemimpinannya dalam merumuskan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945; dan Proklamasi Kemerdekaan yang dibacakannya pada tanggal 17 Agustus 1945 sekaligus sebagai presiden Republik Indonesia yang pertama dengan kharisma dan kepemimpinannya mampu mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan NKRI yang terus-menerus dirongrong oleh aksi militer Belanda dan berbagai pemberontakan separatisme.
Walau pun sebagai anak bangsa kita sudah mendengar,memahami dan meyakini,bahkan melaksanakan berbagai gagasan mengenai ketuhanan,kemanusiaan,persatuan,demokrasi,dan keadilan sosial – yang kemudian menjadi sila-sila Pancasila itu - namun rasanya sebelum tahun 1945 kita tidak pernah mendengar adanya gagasan untuk menyatukan kelima gagasan tersebut sebagai suatu kesatuan yang utuh,dan agar disepakati sebagai basic premises untuk mendirikan Negara.Gagasan seperti itu pertama kalinya diajukan oleh Ir. Soekarno dalam pidatonya pada sidang pertama Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 1 Juni 1945.
Mengapa justru Soekarno yang mampu mengidentifikasi lima gagasan terpadu itu? Me-ngapa bukan tokoh lain? Pertanyaan ini sungguh menarik,dan hanya mungkin kita jawab jika kita mendalami riwayat hidup beliau serta visi kenegaraannya.Yang jelas, Soekarno amat yakin, bahwa bagaimanapun majemuknya masyarakat Indonesia,namun keseluruhannya itu dalam mata batin Soekarno adalah suatu bangsa.Dengan demikian,tidaklah akan terlalu keliru jika dikatakan bahwa sesungguhnya paradigma politik dan visi kenegaraan Soekarno adalah nasionalisme, setidak-tidaknya nasionalisme menurut visi Soekarno.Sebabnya ialah oleh karena hanya na-sionalisme yang mempunyia faham seperti itu.Memang sungguh amat sukar bagi kita untuk me-mahami visi Soekarno di luar konteks nasionalisme.Juga pada saat ia mempropagandakan kesa-tuan antara nasionalisme-islamisme dan komunisme (nasakom),ia sesungguhnya berbicara me-ngenai kesatuan bangsa Indonesia,yang disemangati oleh tiga ideologi tersebut yang secara empirik memang nyata hidup dan berkembang di tengah masyarakat Indonesia.
Berdasar renungannya yang bagaikan merupakan suatu obsesi untuk menyatukan seluruh masyarakat Indonesia yang demikian majemuk,Soekarno menyimpulkan bahwa ada lima dasar negara,yang disebutnya Sila,yang dipandangnya sesuai untuk maksud itu, yaitu Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan,Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawa-ratan/ Perwakilan,Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,dan akhirnya Peri Ketuhanan. Didukung oleh oratory yang kuat,pemikiran Soekarno tersebut mendapatkan sambutan yang gegap gempita dari para anggota BPUPKI lainnya.
Perlu kita ingat,bahwa walaupun anjuran pertama mengenai lima sila Pancasila adalah copyright Soekarno,namun lima sila dalam konsep awal Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 ( baca : Piagam Jakarta ) tanggal 22 Juni 1945 adalah sebuah karya kolektif.Sila-Sila yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar tersebut dibahas oleh 38 orang anggota BPUPKI yang masih tinggal di Jakarta pada saat reses BPUPKI antara tanggal 2 Juni-9 Juli 1945,ditambah dengan beberapa orang anggota Chuo Sangi In,untuk kemudian dirumuskan secara padat oleh “panitia khusus” sembilan orang anggota BPUPKI.Bukan saja urutan dan rele-vansi lima Sila Pancasila tersebut ditata kembali,tetapi juga dikaitkan dengan esensi Tujuan Negara dan Tugas Pemerintahan.Hal tersebut belum terdapat secara eksplisit dalam pidato Pancasila Ir. Soekarno.Peranan Panitia Sembilan – yang juga diketuai Ir Soekarno – tidak dapat dikatakan kecil.
Finishing touch dari draft Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan oleh lima orang tokoh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia):Drs. Mohammad Hatta,KH Wa-chid Hasjim,Ki Bagus Hadikusumo,Mr. Teuku Mohammad Hassan dan Mr Kasman Singo-dimedjo.Seperti kita ketahui bahwa lima tokoh inilah (yang justru berasal dari kalangan Islam!) yang menghapuskan anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dari draft Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (setelah ada petisi dari wilayah Indonesia bagian timur yang mayoritas non-muslim).Akan tetapi berdasarkan hal itulah Pancasila telah memberikan landasan konstitusional yang kukuh untuk pembentukan suatu negara Republik Indonesia yang utuh dan tidak terpecah-pecah karena adanya perbedaan agama. Dengan demikian ada suatu proses yang berkesinambungan yang melatarbelakangi pemikiran kepancasilaan ini,bermula dari Ir Soekarno,berlanjut pada Panitia Sembilan dalam BPUPKI, dan berujung pada kesepakatan lima tokoh PPKI.
Dalam perkembangannya dewasa ini,mungkin lebih pas jika kita memahami sila-sila Pancasila sebagai lima aksioma politik,yang diterima sebagai dalil yang tidak memerlukan rincian penjelasan lagi.Yang masih perlu kita lakukan adalah mencari kerangka pemikiran dasar yang dapat memberikan makna yang lebih utuh kepada lima aksioma politik,sehingga kita dapat memahaminya secara komprehensif,bukan lagi sebagai lima konsep yang terlepas-lepas dan tidak ada kaitannya satu sama lain.
Jika kita renungkan baik-baik,mungkin tidaklah terlalu keliru jika kita merumuskan esen-si Pancasila itu sebagai lima aksioma politik dari nasionalisme Indonesia.Nasionalisme bukanlah filsafat dalam artian yang lazim difahami.Nasionalisme adalah suatu semangat,suatu tekad,dan suatu program aksi politik.Sesungguhnya Pancasila memang adalah nasionalisme,yaitu suatu faham yang berpendirian bahwa semua orang yang berkeinginan membentuk masa depan bersa-ma di bawah lindungan suatu negara,tanpa membedakan suku,ras,agama ataupun golongan, adalah suatu bangsa.Seperti dikatakan Benedict Anderson,nation pada hakikatnya adalah suatu imagined community.
Memang semangat itulah yang meresapi keseluruhan visi politik Ir. Soekarno sejak usia mudanya.Dengan kharisma pribadinya yang demikian kuat,visi itu telah mempengaruhi banyak tokoh lain,dan melalui pengaruh terhadap tokoh lain itu,mempengaruhi budaya politik Indonesia. Kelihatannya,pensifatan lain dari Pancasila akan membawa kita pada gambaran yang keliru. Pemikiran lanjut tentang Pancasila,secara lebih kritis,sistematis dan komprehensif,dilakukan oleh tokoh-tokoh terpelajar Indonesia lainnya.Paling terkemuka di antara para tokoh terpelajar tersebut adalah Prof.Dr. Notonagoro,Guru Besar Filsafat Universitet (baca: Universitas) Gadjah Mada.
Lalu,apa status Pancasila? Penulis berpendapat bahwa Pancasila – seperti yang terdapat dalam alinea ke empat Pembukaan UUD 1945 – adalah merupakan suatu kontrak politik ber-sejarah yang bersifat mendasar dari seluruh lapisan dan kalangan dalam batang tubuh bangsa Indonesia yang besar ini.Sebagaimana halnya setiap kontrak politik,substansinya mengikat selu-ruh rakyat dan seluruh jajaran pemerintahan.Pada saat ini baik hukum nasional maupun seluruh lapisan penyelenggara negara secara konstitusional terikat oleh Pancasila,yang telah dituangkan dalam peraturan perundang-undangan nasional.
Mereka yang tidak suka atau tidak mau menerima Pancasila sebagai kontrak politik da-lam pembentukan negara Republik Indonesia ini dapat memilih dua alternatif,yaitu membentuk negaranya sendiri,jika hal itu mungkin dan dalam hal ini berarti akan terjadi makar,atau berjuang menggantinya dengan suatu kontrak politik baru,sudah barang tentu harus dilakukan secara legal dan demokratis.Bila hal itu dilakukannya dengan kekerasan dan pemberontakan,ia harus me-mikul konsekuensinya secara hukum.***