Perlombaan Kemalasan di Gedung Wakil Rakyat


Perlombaan Kemalasan di Gedung Wakil Rakyat

Oleh : Fadil Abidin
Dimuat di Harian Analisa Medan, 3 Agustus 2010

Tingkat kehadiran para anggota DPR nampaknya bukan saja membuat masyarakat resah dan marah, namun sudah membuat jengah para pimpinan lembaga perwakilan rakyat tersebut. Hal ini sangat memprihatinkan karena anggota Dewan periode sekarang baru bertugas dalam hitungan bulan.
Pimpinan DPR pun meminta Sekretariat Jenderal (Sekjen) dan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) untuk mempersiapkan perangkat absen yang bisa memaksa anggota dewan untuk hadir dalam rapat-rapat di Gedung Dewan. Selama ini, para anggota hanya diharuskan membubuhkan tanda tangan, yang terkadang diwakili oleh stafnya. Pernah didapati 80 persen anggota DPR tak hadir dalam rapat komisi. Tapi, anehnya tanda tangan mereka tertera di daftar hadir.
Wakil Ketua DPR, Priyo Budi Santoso mengatakan, ke depan, anggota Dewan akan diabsen dengan menggunakan sidik jari atau finger print (23/7/2010). Jika memang ada anggota yang berhalangan, ia mengimbau agar mengajukan izin secara tertulis.
Perilaku membolos para anggota dewan akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap para wakilnya. Tak hanya memberlakukan dengan absen sidik jari, maka harus juga dilakukan pemotongan uang kehormatan dan kehadiran bagi anggota yang bolos. Misalnya, uang kehormatan dipotong sebesar berapa kali membolos. Membolos berapa persen kemudian dipotong uang kehadiran.
Pimpinan fraksi dan pimpinan partai dimana anggota Dewan tersebut berasal harus berani menegur bahkan merecall anggotanya yang malas. Misalnya, jika ada anggota yang ketidakhadirannya mencapai lebih dari 25% per tahunnya maka harus direcall. Pemotongan uang kehormatan dan recall harus dibuat peraturannya, agar tidak ada anggota yang menolak ketentuan ini.
Selain tindakan internal, secara eksternal peran masyarakat, LSM dan terutama pers juga harus senantiasa mengamati kehadiran anggota Dewan. Pers misalnya bisa memotret, menyorot dan merekam anggota DPR yang tidak serius saat mengikuti rapat, seperti tidur, membaca koran, bermain HP dan sebagainya. Umumkan kepada masyarakat anggota DPR yang malas dan sering membolos, lengkap dengan nama, asal komisi, asal fraksi dan daerah pemilihan.
Deretan kursi harus diberi nama fraksi dan nama anggota Dewan yang bersangkutan agar ketahuan anggota DPR yang malas itu dari fraksi apa dan siapa namanya. Selain itu peran media televisi seperti Metro TV dan TV One yang mengkhusukan diri pada berita dapat membuat acara tiap hari tentang kegiatan Parlemen. Jangan aspek masalah apa saja yang dibahas yang kemudian diberitakan, tapi juga aspek kehadiran, kuorum, ketepatan waktu jadwal sidang dan sebagainya.
Perilaku-perilaku seperti ini harus terus dipublikasikan ke masyarakat agar menimbulkan efek penjeraan dan rasa malu. Anggota DPR seperti itu harus dibikin malu.
Di sini peran media massa sangat penting dengan menyebutkan nama-nama anggota Dewan yang malas dan sering bolos rapat. Para anggota Dewan merupakan wakil rakyat dan digaji oleh rakyat pula, sehingga rakyat berhak tahu apa yang telah mereka perbuat. Selain itu publikasi tentang anggota DPR yang malas akan menjadi referensi bagi rakyat dalam menentukan pilihan pada pemilu berikutnya.
Sanksi Sosial
Berdasarkan data yang diterima dari Biro Persidangan Sekretariat Jenderal DPR RI, (26/7/2010), menunjukkan dari tiga masa sidang yang digelar DPR, terus mengalami penurunan jumlah kehadiran anggota dewan. Untuk lebih jelasnya, berikut daftar hadir anggota DPR per-Fraksi. Sidang I (1 Oktober - 4 Desember 2009) : Fraksi Partai Demokrat : 94,2%. Fraksi Partai Golkar : 91,4%. Fraksi PDI Perjuangan : 93,1%. Fraksi PKS : 88,6%. Fraksi PAN : 93,5%. Fraksi PPP : 94,7%. Fraksi PKB : 86,6%. Fraksi Gerindra : 94,7%. Fraksi Hanura : 96,3%.
Sidang II (4 Januari 2010 - 5 Maret 2010) : Fraksi Partai Demokrat : 91,1%. Fraksi Partai Golkar : 86,9%. Fraksi PDI Perjuangan : 79,7%. Fraksi PKS : 85,1%. Fraksi PAN : 83,5%. Fraksi PPP : 80,7%. Fraksi PKB : 78,3%. Fraksi Gerindra : 84,2%. Fraksi Hanura : 89,4%.
Sidang III (5 April 2010 - 18 Juni 2010) : Fraksi Partai Demokrat : 74,8%. Fraksi Partai Golkar : 74,9%. Fraksi PDI Perjuangan : 61,2%. Fraksi PKS : 62,7%. Fraksi PAN : 74,9%. Fraksi PPP : 78,9%. Fraksi PKB : 65,5%. Fraksi Gerindra : 75,6%. Fraksi Hanura : 75,8% (Sumber : Biro Persidangan Sekretariat Jenderal DPR RI).
Karena sampai saat ini tidak ada keinginan dari partai atau fraksi untuk menghukum anggotanya yang malas, maka sanksi yang paling efektif diberikan kepada anggota DPR yang melanggar etika, seperti sering bolos rapat, adalah sanksi sosial. Nama mereka, kesalahan, dari fraksi mana, serta partai yang mencalonkan dan daerah pemilihannya, harus diberitakan secara luas sebagai bentuk dari sanksi sosial.
Pembentukan opini publik tentang keburukan anggota dewan merupakan salah satu kontrol sosial yang akan memperburuk citra anggota dewan itu. Selain itu, sanksi sosial akan mempengaruhi nama partai yang mencalonkan mereka sehingga parpol bisa menentukan sikap terhadap anggota DPR tersebut termasuk merecall-nya. Mereka itu digaji oleh rakyat, sehingga secara moral mereka harus mempertanggungjawabkan setiap tindakannya. Mereka harus ingat akan sumpah jabatan yang diucapkan ketika diangkat.
Dalam UU Susunan dan Kedudukan Anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD diatur soal pergantian antarwaktu anggota dewan. Dalam UU disebutkan, anggota DPR berhenti antarwaktu karena meninggal dunia, mengundurkan diri atas permintaan sendiri secara tertulis, dan diusulkan oleh partai politik yang bersangkutan. Pemberhentian antarwaktu anggota DPR dapat juga dilakukan dengan beberapa alasan, antara lain, melanggar sumpah/janji, kode etik DPR, dan/atau tidak melaksanakan kewajiban sebagai anggota DPR berdasarkan hasil pemeriksaan badan kehormatan DPR.
Badan Kehormatan
Harapan agar fraksi atau pimpinan partai memberikan sanksi kepada anggota DPR yang malas mungkin tidak akan dilakukan. Karena seperti kata pepatah "menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri." Jadi tidaklah mungkin mereka akan menghukum anggotanya sendiri, apalagi yang malas tersebut ternyata adalah petinggi partai.
Harapan dapat digantungkan kepada Badan Kehormatan (BK) DPR. Badan Kehormatan hendaknya dapat memberikan sanksi tegas kepada anggota DPR yang sering mangkir rapat. Bila perlu dipecat saja. Sanksi seperti itu tertuang dalam pasal 213 ayat 2? UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Atau bisa juga parpol yang melakukan pemecatan bila ada? kadernya di DPR yang sering bolos rapat. Sebab, partai itu juga punya kewenangan? melakukan pergantian antara waktu.
esakan ini semakin mengemuka sebagai akibat banyaknya anggota DPR yang mangkir. Misalnya pada Rapat Paripurna pembukaan masa sidang keempat (12/7/2010). Hampir setengah anggota DPR mangkir. Kosongnya ruang sidang tidak hanya terjadi kali ini, namun sudah terjadi berulang-ulang. Anehnya sampai saat ini tidak ada sanksi yang diberikan kepada anggota DPR yang sering bolos
Bahkan, untuk mengakali aturan absensi batas kuorum, mereka biasanya hanya datang ke ruang sidang, tanda tangan, lalu meninggalkan arena ruang rapat, mereka juga kerap menitip tanda tangan kepada asistennya. Ini merupakan suatu pembohongan, dan sebenarnya bisa diusut sesuai KUHP sebagai tindak pemalsuan.
Padahal, mereka sudah mendapatkan banyak fasilitas, tunjangan dan pendapatan, mulai dari gaji pokok, tunjangan jabatan, uang paket, tunjangan kehormatan, komunikasi intensif dan berbagai fasilitas lainnya mulai dari rumah hingga kendaraan.
Koordinator Forum Masyarakat Perduli Parlemen Indonesia (Formappi), Sebastian Salang, kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta (14/7/2010) menyatakan, "Pecat anggota DPR yang bolos rapat. Ada sanksi seperti itu tapi tidak pernah dilakukan. Padahal, dengan cara seperti ini bakal membuat jera anggota DPR yang malas," ujarnya.
Bisa juga, lanjutnya, parpol melakukan pemecatan. Sebab, parpol yang paling? bertanggung jawab terhadap anggota DPR yang mangkir.
Menurutnya, performance anggota DPR mencerminkan citra partainya. Berarti jika anggota DPR malas, itu menggambarkan partainya, sehingga kalau partainya ingin bagus perlu menerapkan kedisiplinan bagi anggotanya. "Saya kira belum ada partai yang melakukan kedisiplinan para anggotanya," ujarnya.
Padahal dalam Kode Etik DPR, jelas disebutkan jika anggota DPR tidak hadir dalam rapat?sebanyak tiga kali berturut-turut tanpa izin ke fraksi, maka dia telah melanggar kode etik. Sanksinya teguran lisan, tertulis dan diberhentikan dari pimpinan alat kelengkapan dewan.
Tumpulnya Badan Kehormatan karena Kode Etik DPR dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Sehingga banyak kalangan menyarankan agar BK DPR mengajukan usulan perubahan Kode Etik DPR. Kode etik yang ada sekarang tidak tegas dalam menghukum anggota DPR yang melanggar.
Pasal 213 ayat 2 poin d dalam UU No. 27 tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan Anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD, yang menyebutkan anggota DPR? yang tidak menghadiri rapat paripurna dan rapat alat kelengkapan DPR yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah dapat diberhentikan. Aturan itu terlalu lunak. Seharusnya tidak perlu sampai enam kali, tapi cukup tiga atau empat kali berturut saja.
Sebagai rakyat kita wajib menuntut, untuk itu masyarakat melalui LSM maupun pers harus tetap mempublikasikan kemalasan mereka. Pers dan televisi jangan hanya menyorot gosip atau kasus yang menimpa selebritis saja. Justru ekspos "perlombaan kemalasan anggota Dewan" secara besar-besaran perlu dilakukan agar menjadi isu nasional yang tidak kalah pentingnya dengan kasus video porno artis. ***