Pilkada Ulang sebagai Kebodohan Bersama
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat di Harian Analisa Medan, 6 November 2010
Rasanya ada yang kurang lengkap dalam tulisan “Pilkada Ulang Masyarakatnya yang Pintar atau Calonnya yang Bodoh” oleh Wisnu AJ (Opini,1/11/2011). Dalam tulisan tersebut, pilkada diulang seakan-akan hanya kebodohan ‘oknum’ (tidak semua) masyarakat dan calon. Padahal pilkada ulang merupakan sebagai bentuk kebodohan kita bersama. Kebodohan kita sebagai masyarakat yang lebih tahu tapi tidak peduli, kebodohan penyelenggara pemilu (KPUD), kebodohan pengawas pemilu (Panwas), kebodohan partai politik, kebodohan calon dan tim suksesnya, dan (maaf!) kesalahan pers juga.
Secara yuridis kita harus membedakan antara pilkada ulang dengan pemungutan suara ulang. Apa yang disebutkan oleh Wisnu AJ sebenarnya bukan pilkada ulang, tapi pemungutan suara ulang. Pilkada ulang sampai saat ini hanya diakibatkan satu hal, yaitu calon pemenang didiskualifiasi MK karena tidak memenuhi syarat UU.Pilkada ulang mengandung konsekuensi seluruh pemungutan suara dalam pelaksanaan pilkada di suatu daerah harus diulang semuanya. Sedangkan pemungutan suara ulang, hanya terbatas pada beberapa TPS (baik di suatu kabupeten, kecamatan atau kelurahan) yang diulang karena ditetapkan oleh MK telah terjadi kecurangan atau kesalahan sedangkan pelaksanaan pilkadanya tetap sah.
Pemungutan suara ulang di beberapa daerah atau TPS biasanya karena adanya money politics yang terbukti dilakukan oleh ‘tim sukses’ sang calon di TPS atau daerah tempat kejadian. Mengapa saya menyebut tim sukses? Dalam UU Pemilu dan UU Pemerintahan Daerah yang merupakan payung hukum pelaksanaan pilkada tidak dikenal istilah tim sukses. Yang dikenal adalah tim kampanye. Tim sukses biasanya dibentuk untuk mengerjakan ‘hal-hal kotor’. Misalnya membagikan uang atau sembako, kampanye di luar jadwal, melakukan serangan fajar, menebarkan black campaign yang menjelekkan calon lain, mengimingi hingga mengintimidasi calon pemilih.
Jika hal-hal kotor ini ketahuan maka sang calon bisa mengelak bahwa itu bukan orang suruhannya. Jika pun kemudian tim sukses ini dihukum, maka tidak akan mengenai kepada sang calon. Inilah praktik yang sering terjadi dalam pilkada, ada praktik money politics tapi ironisnya tidak ada tersangka utama. Sang calon bisa mengelak dari tanggung jawab dan ia tetap menjadi pemenang. Tapi lain halnya jika pidana pemilu tersebut terbukti dilakukan tim kampanye, maka sang calon bisa terkena diskualifikasi.
Pemungutan suara di sebagian TPS atau beberapa daerah juga bisa diulang karena terjadinya kesalahan dalam penghitungan ataupun kesalahan teknis dalam pemungutan suara. Ini bisa terjadi karena ketidak-profesionalan penyelenggara pemilu, baik KPUD, PPK, PPS hingga KPPS di TPS yang mengakibatkan jumlah suara di suatu TPS diragukan kebenarannya. Kesimpulannya, sangat jarang bahkan menurut pengamatan penulis belum pernah terjadi, suatu pilkada diulang karena money politics, karena terjadinya kerusuhan, atau kesalahan PPK atau KPPS dalam merekapitulasi hasil pemungutan suara.
Peran KPUD
Pilkada ulang merupakan suatu produk gagal yang umumnya dilakukan oleh KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah). Pilkada ulang mengandung konsekuensi bahwa yang diulang adalah seluruh tahapan pemungutan suara di suatu daerah. Hasil pemungutan suara sebelumnya secara yuridis tidak diakui. Artinya, pelaksanaan pilkada tersebut dianggap tidak pernah ada. Inilah yang terjadi di Kabupaten Bengkulu Selatan, Kota Tebing Tinggi dan sebagainya yang harus diulang seluruhnya tanpa kecuali dengan kewajiban mengganti sang calon yang telah digugurkan kemenangannya.
Pilkada ulang di Bengkulu Selatan misalnya telah membangkrutkan kabupaten tersebut. Coba bayangkan, pilkada telah berjalan selama dua putaran dan menelan anggaran daerah lebih dari Rp25 miliar padahal PAD daerah tersebut tidak sampai Rp20 miliar per tahunnya. Tapi begitu ditetapkan pemenangnya, ada gugatan bahwa sang pemenang adalah mantan narapidana yang pernah dihukum penjara selama 8 tahun karena terlibat pembunuhan. MK memutuskan harus dilakukan pilkada ulang dengan mendiskualifikasi pemenangnya karena dianggap tidak memenuhi syarat UU. Pilkada sebelumnya dianggap tidak pernah ada, dan lenyaplah Rp25 miliar tersebut secara sia-sia. Pemerintah kabupaten bahkan tidak sanggup melaksanakan pilkada ulang berdasarkan keputusan MK karena ketiadaan dana
Demikian juga kasus yang menimpa pilkada Kota Tebing Tinggi yang harus diulang semua tahapan pemungutan suara. Keputusan MK jelas menyatakan pemenang pilkada Kota Tebing Tinggi tidak memenuhi syarat UU. Pilkada Tebing Tinggi batal demi hukum dan dianggap tidak pernah ada padahal telah menghabiskan dana puluhan miliran. Dalam kasus di atas yang pantas disalahkan adalah KPUD-nya. Mengapa calon yang tidak memenuhi syarat bisa lolos verifikasi dan menjadi calon kepala daerah?
Di beberapa daerah, ada juga KPUD yang nakal dengan membuat hasil verifikasi palsu atas calon perseorangan (independen). Ada calon perseorangan yang sebenarnya tidak memenuhi syarat dukungan minimal yang dibuktikan dengan fotokopi KTP. Tapi KPUD kemudian meloloskan calon tersebut karena telah menerima sejumlah uang dari sang bakal calon. Dan ironisnya calon tersebut menang. Tapi kemudian digugat ke MK oleh calon yang kalah dan akhirnya harus diadakan pilkada ulang.
Tindakan oknum anggota KPUD tersebut yang telah nyata-nyata merugikan keuangan negara puluhan miliran tidak dianggap sebagai tindak pidana korupsi. Ini adalah suatu yang aneh. Padahal mereka seharusnya bisa dijerat dengan UU Tindak Pidana Korupsi. Yang terjadi adalah mereka hanya dipecat sebagai anggota KPUD dan tidak ada hukuman fisik atau denda yang menyertainya. Untuk menimbulkan penjeraan seharusnya ada suatu sanksi bagi anggota KPUD yang lalai, baik yang disengaja atau tidak disengaja. Karena bisa saja mereka meloloskan calon yang tidak memenuhi syarat karena telah menerima atau dijanjikan sesuatu, baik jabatan, uang atau proyek setelah mereka tidak menjadi anggota KPUD lagi.
Peran Partai Politik
Partai politik atau parpol juga turut andil jika suatu pilkada harus diulang. Seharusnya mereka bisa menyaring, memverifikasi dan mengajukan nama bakal calon kepala daerah yang bermutu dan bersih. Jangan mengajukan bakal calon kepala daerah hanya karena yang bersangkutan populer, terkenal atau karena uangnya banyak. Lihat dulu track record-nya di masa lalu. Jangan sampai calon yang tidak memenuhi syarat UU tetap nekad diajukan sebagai calon kepala daerah.
Saat ini ada kecenderungan dan selentingan yang telah menjadi rahasia umum, bahwa seseorang yang ingin maju menjadi bakal calon kepala daerah lewat dukungan parpol harus menyetor dana yang besar kepada pimpinan parpol yang bersangkutan. Ini adalah suatu gejala yang tidak sehat bagi demokrasi kita.
Faktor uang ini hanya akan menimbulkan calon-calon kepala daerah yang tidak bermutu dan rentan melakukan korupsi setelah mereka menjabat nanti. Hal ini juga rentan terjadinya pilkada ulang karena sang calon yang diajukan parpol bisa saja bermasalah dan akhirnya digugat ke MK karena tidak memenuhi syarat UU.
Calon-calon yang tidak memenuhi syarat, baik karena masalah tingkat pendidikan, kelengkapan ijazah, mantan narapidana yang pernah divonis 5 tahun penjara atau lebih, atau telah divonis oleh hakim tapi belum dieksekusi karena ada upaya banding, bisa saja menjadi pemenang pilkada. Tapi calon-calon seperti ini akan rentan digugat ke MK dan MK biasanya akan mengabulkan gugatan jika syarat-syarat fundamental ini dilanggar. Pilkada yang menghabiskan dana puluhan miliar rupiah pun harus diulang.
Untuk itu, parpol sebagai pintu gerbang penjaringan bakal calon kepala daerah harus selektif dalam mengajukan bakal calon kepala daerah. Parpol jangan hanya terfokus pada berapa setoran uang atau proyek yang akan diberikan kepada sang bakal calon jika terpilih kelak. Tapi harus benar-benar memilih yang berkualitas dan mampu menjadi pemimpin yang baik. Fungsi parpol sebagai sarana pencerdasan politik bagi rakyat harus jalan, bukannya malah membodohi masyarakat.
Peran Pers
Apa perbedaan pers kita dengan Amerika Serikat atau Eropa Barat? Pers kita sebenarnya sudah sangat bebas seperti di Amerika Serikat. Tapi pers kita tidak terlalu “nyinyir” memberitakan track record seorang calon kepala daerah atau calon pemimpin.
Di Amerika misalnya, jika seseorang maju menjadi kandidat presiden, gubernur, walikota, senat atau anggota House of Representatives (DPR-nya Amerika), maka pers akan berlomba mengorek-ngorek track record sang calon, sang calon akan “ditelanjangi” habis-habisan. Mereka akan memberitakan kepada masyarakat secara lengkap, baik riwayat pendidikan, prestasi, ketaatan pada agama, kesetiaan pada keluarga, keburukan, perselingkuhan, nepotisme, catatan kriminal bahkan kebiasaan merokok atau minum minuman keras. Catatan ini harus dibeberkan ke publik karena mereka adalah calon pemimpin publik.
Pers di Indonesia tidak bisa melakukan hal yang sama karena dianggap bisa menjadi fitnah dan pers bisa dituduh menyalahi kode etik bahkan dipidanakan dengan perbuatan tidak menyenangkan. Padahal pers harus diberi kebebasan untuk memberitakan tentang kebaikan dan juga keburukan sang calon pemimpin agar masyarakat tidak keliru memilih para pemimpinnya.
Pers kita terlalu ‘lugu’ hanya memberitakan hal-hal yang baik saja tentang seorang calon kepala daerah. Bahkan seorang koruptor dan penjahat pun dipuja-puja setinggi langit nyaris bak malaikat tanpa dosa. Pengungkapan keburukan atau skandal tentang seorang calon nyaris tidak ada. Akibatnya masyarakat tidak tahu (bukan bodoh!) sehingga mereka sering salah dalam memilih pemimpinnya. Yang terpilih rupanya penjahat dan mantan narapidana, sehingga digugat ke MK dan pilkada harus diulang. Lihatlah kenyataan sekarang, banyak kepala daerah yang terpilih akhirnya masuk bui karena korupsi.
Ada anekdot dalam masyarkat, mengapa mereka begitu apatis dan sinis dalam menghadapi pilkada. Kata mereka, buat apa ikut memilih dalam pilkada? Toh, yang nanti terpilih akan masuk penjara. Sedangkan calon yang ada kebanyakan koruptor, mafia, penjahat dan mantan narapidana! Maka jangan salahkan masyarakat jika kemudian golput. ***