Praktik Aristokrasi dalam Demokrasi Kita


Praktik Aristokrasi dalam Demokrasi Kita
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat di Harian Analisa Medan, 15 November 2010

            Sepanjang tahun ini telah dan akan berlangsung pemilihan umum kepala daerah (pilkada atau pemilukada) di 244 daerah untuk memilih gubernur, bupati, wali kota dan para wakilnya. Di antara sekian banyak isu politik dalam pilkada, yang sangat paradoks adalah munculnya calon-calon kepala daerah yang berasal dari ikatan satu darah atau keluarga dengan pejabat incumbent.
            Di suatu kabupaten di Jawa Timur misalnya, ada dua istri (istri tua vs istri muda) yang berebut kursi bupati menggantikan suaminya. Di Sumatera Utara ada seorang istri menjadi bakal calon kepala daerah untuk menggantikan suaminya sebagai bupati dalam pilkada. Di daerah lain, ada anak yang mencoba menggantikan ayahnya. Ada juga adik atau kakak yang mencoba menggantikan saudaranya, keponakan menggantikan pamannya, menantu menggantikan mertuanya dan sebagainya. Ini adalah cermin dari praktik aristokrasi dalam demokrasi kita.
            Memang tidak salah dan juga tidak melanggar UU, jika seorang anak menggantikan ayahnya, atau seorang istri menggantikan suaminya untuk maju dalam pertarungan pilkada. Tapi yang dikhawatirkan adalah penyalahgunaan wewenang dan fasilitas negara untuk tujuan sang calon yang notabene mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pejabat incumbent.
            Sebagai contoh, ada seorang istri yang berambisi menggantikan suaminya sebagai bupati. Maka jauh-jauh hari ia sudah bisa berkampanye dengan menggunakan fasilitas negara. Menggunakan acara Dharma Wanita, PKK, peresmian, kunjungan ke daerah, pertemuan dengan kepala dinas dan sebagainya untuk tujuan kampanye. Suaminya yang telah menjabat dua periode dan tidak berhak mencalonkan diri lagi, biasanya akan mendukung habis-habisan pencalonan istrinya. Tak jarang sang bupati mengadakan pendekatan baik secara jabatan fungsional, personal, kolegial hingga finansial. Bahkan tak jarang pula dengan intimidasi misalnya, jika tidak mendukung sang istri maka akan dimutasi.    

Jabatan Turunan
            Fenomena majunya calon kepala daerah yang mempunyai hubungan keluarga dengan pejabat sebelumnya atau incumbent sebenarnya sangat ironis. Hal ini menandakan bahwa kursi kepala daerah adalah jabatan yang menguntungkan, membawa berkah dan bisa dijadikan sarana untuk mengeruk kekayaan serta melanggengkan kekuasaan untuk diturunkan kepada istri, saudara hingga anak-cucu.     
Lihatlah faktanya, di Bali Eka Wiryastuti (anak Bupati Tabanan Bali Adi Wiryatama) berkompetisi dalam pilkada mengantikan bapaknya. Di Lampung Rycko Menoza (anak Gubernur Lampung Sjachroedin) menjadi calon Bupati Lampung Selatan. Di Kabupaten Way Kanan (putra Bupati Way Kanan Agung Ilmu Mangkunegara) mencalonkan diri mengantikan ayahnya. Kemudian Arisandi Dharmawan (anak Bupati Tulang Bawang) mencalonkan diri menjadi bupati Pesawaran. Di Kota Bandar Lampung, Heru Sambodo, (anak Ketua Golkar Lampung Alzier Dianis Tabrani) membidik kursi wali kota.
Di Kepulauan Riau, Aida Nasution (istri Gubernur Ismeth Abdullah) mencalonkan diri menggantikan kursi suaminya. Di Yogyakarta Sri Suryawidati (istri Bupati Bantul  Idham Samawi) tak mau kalah ketinggalan maju menjadi calon bupati, meneruskan kursi suami. Di Kalimantan Timur, Awang Ferdian Hidayat, putra gubernur Awang Farouk, mencalonkan diri jadi Bupati Kutai Kartanegara (Kukar), bersaing dengan Rita Widyasari, anak mantan Bupati Kukar Syaukani, yang pernah dipenjara karena kasus korupsi yang kemudian dibebaskan karena dianggap mengidap sakit permanen. Pembebasan ini kemudian menuai kontroversi.
Golkar Kota Bontang Kaltim jauh-jauh hari sudah menetapkan Neni Moernaeni, istri Wali Kota Bontang Sofyan Hasdam, untuk menggantikan sang suami pada pilkada 2011. Neni kini menjadi Ketua DPRD Bontang, sekaligus pengontrol kinerja suami. (Gatra Nomor 15, 18 Februari 2010). Di Jawa Tengah, Titik Suprapti (Istri Bupati Sukoharjo Bambang Riyanto) mengincar kursi suaminya, kendati masih menjadi perdebatan di tubuh PDIP. Di Sragen Yuni Sukowati, Ketua DPRD (anak Bupati Untung Wiyono) juga akan membursakan diri dalam pilkada mengantikan posisi ayahnya. Kartina Sukawati (putri Wali Kota Semarang Sukawi Sutarip) kini Wakil Bupati Pati akan mengincar kursinya untuk yang kedua kalinya. Dan masih banyak lagi di sejumlah daerah dari Pulau Sulawesi, Lombok, hingga Maluku dan Irian.

Ironisme Pilkada
Pilkada di Indonesia saat ini kian penuh ironisme. Di satu sisi, rakyat kian apatis dan tidak peduli sehingga tingkat partisipasi masyarakat dalam pilkada cenderung turun. Apatisme masyarakt ini justru dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu untuk meraih jabatan dan kekayaan. Mereka adalah orang-orang yang ingin melanggengkan kekayaan dan kekuasaan agar tetap jatuh kepada garis keluarganya.
Selain itu problem teknis pilkada juga banyak, mulai dari model pembentukan panwas yang tak kunjung usai dan transparan, mahalnya pendanaan pilkada, persoalan DPT, money politics, pilkada ulang, kini bertambah satu ironisme lagi, yakni persaingan antar aristokrat (kerabat penguasa) dalam melestarikan posisi dan kedudukan keluarga besar dari tergusurnya dinasti politik keluarga di ’kerajaan’ daerah.
Pilihan regenerasi model kekerabatan ini jelas merupakan cermin betapa kita masih mempraktikkan model demokrasi tradisional yang hanya percaya pada kemampuan yang dimiliki oleh calon-calon yang segaris dengan keturunan kepala daerah. Dengan harapan  kerabat ini akan memiliki kemampuan dan kharisma yang sama dengan kerpala daerah sebelumnya. Model inipun mirip dengan praktik politik patrimonial.
Karena kepercayaan ini maka penyerahan mandat kepemimpinan lokal hanya akan berputar di sekitar lingkaran keluarga yang memiliki garis karier politik dan kekuasaan. Sudah tentu cara ini akan mematikan pola regenerasi pemimpin politik modern yang berorientasi pada profesionalisme, kapasitas intelektual, kapabilitas, integritas moral, daya inovasi, dan kreatif dalam membangun daerah.
Model regenerasi kepemimpinan politik lokal yang berbasis pada kekerabatan ini lambat tapi pasti akan mengeser isu demokrasi ke aristokrasi. Wacana politik akan kian elitis karena tak ada lagi kompetisi yang seimbang dan fair antara calon orang biasa dan ’orang luar biasa’. Calon yang mempunyai hubungan keluarga dengan incumbent pasti akan lebih diuntungkan ketimbang calon lain. 
Menurut Eisenstadt dan Roniger (1984) dalam bukunya Patrons, Clients and Friends: Interpersonal Relations and the Structure of Trust in Society, ada empat alasan utama mengapa politik kekerabatan lebih disukai elite-elite politik di suatu negara.
Pertama, kepercayaan (trusty) ini lebih disebabkan karena kerabat lebih dipercaya dan tak mungkin berkhianat seperti lazim dilakukan politikus pemburu kekuasaan. Kedua, loyalitas (loyality) kerabat akan jauh memiliki loyalitas tinggi dalam konteks menjalankan semua tugas politik terutama dalam hal menjaga wibawa dan kehormatan kerabat besar ketimbang orang lain.
Ketiga, solidaritas (solidarity) kerabat dipastikan jauh memiliki tingkat solidaritas yang tangguh dalam memiliki terutama dalam menolong klan keluarga besar dari kebangkrutan kekuasaan dan kekayaan ketimbang mereka yang bukan dari kalangan kerabat. Keempat, proteksi (protection) ini terkait dengan model mempertahankan gengsi dan kehormatan keluarga besar. Mereka yang berasal dari klan yang sama akan cenderung mampu menjaga apa yang telah dimiliki keluarga ketimbang orang lain.

Darah Lebih Kental Ketimbang Air
Menurut Amich Alhumami (2010), peneliti sosial dari University of Sussex, Inggris, politik model regenerasi ini akan melahirkan politik kekerabatan yang dibangun di atas basis pemikiran doktrin politik kuno: darah lebih kental daripada air (blood is thicker than water). Doktrin ini menegaskan, kekuasaan karena dapat mendatangkan kehormatan, kemuliaan, kekayaan, dan aneka social privileges harus tetap berputar di antara anggota keluarga dan para kerabat saja.
Kekuasaan tak boleh lepas dari genggaman orang yang punya hubungan persaudaraan, sehingga harus terdistribusi dan hanya bergerak melingkar di antara pihak-pihak yang memiliki pertalian darah. Merujuk pada dalil blood is thicker than water itu, di era modern, politikus mewariskan kekuasaan kepada kerabatnya dengan cara memanipulasi sistem politik demokrasi. Ini adalah bentuk manipulasi sistem politik modern melalui mekanisme pemilu atau pilkada (demokrasi prosedural) yang memang mengandung banyak kelemahan.
Mewariskan jabatan atau kekuasaan politik secara prosedural melalui pelaksanaan pilkada, apakah itu kursi gubernur, bupati atau walikota kepada istri, anak, menantu, atau saudara yang hanya berputar di kalangan kerabat penguasa (incumbent) tidaklah melanggar hukum, karena tidak diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 juncto UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur tentang pilkada. Namun praktik ini jelas melanggar fatsun politik (etika, kepatutan, dan norma umum). Karena model ini jelas akan menyumbat regenerasi calon pemimpin politik lokal berdasar pada kompetisi yang fair yang seharusnya bertumpu  pada rekam jejak keilmuan, kemampuan dan integritas moral. Jangan sampai pilkada hanya menjadi ritual demokrasi prosedural untuk melestarikan aristokrasi yang melahirkan raja-raja kecil di ’kerajaan’ daerah. ***