Problem Ujian Nasional dalam Sistem Pendidikan Kita

Problem Ujian Nasional dalam Sistem Pendidikan Kita
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat di Harian Analisa Medan, 17 Januari 2009

            Setelah melewati liburan semester,Hari Natal dan Tahun Baru para siswa harus segera ber-siap diri.Semester genap telah dimulai dan ujian nasional untuk semua tingkat pendidikan sekolah akan segera menanti.Para siswa yang duduk di kelas akhir SD,SLTP dan SLTA harus belajar lebih keras lagi untuk menghadapi ujian nasional yang dinaikkan nilai kelulusannya.

Ujian Nasional (UN) telah resmi dicanangkan sebagai jembatan akhir bagi para siswa me-lalui tingkat satuan pendidikan masing-masing apakah layak melanjutkan jenjang pendidikan selan-jutnya atau tidak.Mendiknas telah mengeluarkan keputusan No.34 Tahun 2007 tentang Ujian Na-sional Tahun Pelajaran 2007/2008.Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) juga telah menge-luarkan keputusan No.984/BSNP/XI/2007 tentang Prosedur Operasi Standar (POS) UN Tahun 2007/2008.Dalam surat keputusan tersebut UN akan dijadwalkan sebagai berikut:  SMA/MA (20-24 April 2009); SMP/MTs (27-30 April 2009); SD/MI (11-13 Mei 2009); SMK/SMALB (20-22 April 2009).
Depdiknas juga mengeluarkan Permendiknas No. 77,78 dan 82 Tahun 2008 tentang Ujian Nasional untuk jenjang SMA/MA,SMP/MTs/SMPLB,SMALB,dan SMK,serta Ujian Akhir Seko-lah Berstandar Nasional (UASBN) untuk Sekolah Dasar/ Madrasah Ibtidaiyah/Sekolah Dasar Luar Biasa (SD/MI/SDLB) Tahun Pelajaran 2008/2009.
Secara umum,isi Permendiknas ini tak jauh berbeda dengan Permendiknas tahun sebelum-nya.Selain memuat perangkat hukum yang melandasinya,juga memuat berbagai ketentuan pelaksa-naan UN untuk jenjang pendidikan tertentu.Yang jelas berbeda adalah kriteria kelulusan.Pada ta-hun lalu,siswa dinyatakan lulus apabila memiliki nilai rata-rata minimal 5,25 dengan nilai terendah 4,00.Untuk UN tahun 2009,peserta UN dinyatakan lulus jika memiliki nilai rata-rata minimal 5,50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan,dengan nilai minimal 4,00 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya.Ini artinya,UN tahun 2009 terjadi peningkatan angka keriteria kelulusan,dan mungkin akan terus meningkat dari tahun ke tahun.
Wacana penghapusan UN
Dengan dikeluarkannya Permendikas yang ditandatangani 5 Desember 2008 itu,maka men-tahlah sudah masukan dan kritik dari berbagai kalangan tentang perlunya penghapusan UN yang  setidaknya dilatarbelakangi oleh lima argumen yang cukup mendasar.
Pertama,UN dinilai tidak sejalan dengan pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidik-an (KTSP) yang wajib dilaksanakan oleh semua satuan pendidikan di berbagai jenjang dan tingkat-an mulai tahun 2009/2010.Dalam KTSP,sekolah memiliki otoritas penuh untuk mengatur “rumah tangga”-nya sendiri,termasuk dalam mengevaluasi kompetensi siswa didik.Sungguh tidak relevan kalau pada akhirnya justru yang mengevaluasi pihak lain.
Kedua,UN sangat rawan terhadap berbagai penyimpangan dan manipulasi.Ironisnya,pe-nyimpangan selalu terjadi,tetapi nyaris tak ada tindak lanjutnya.Dalam konteks ini,bangsa kita seo-lah-olah sudah “menghalalkan” kecurangan dan penyimpangan pelaksanaan UN sebagai bagian da-ri sebuah budaya.
Ketiga,UN memiliki implikasi sosial yang cukup luas.Fakta sudah banyak membuktikan, banyak anak berpotensi dan bertalenta besar,tetapi harus “terbunuh” masa depannya lantaran tak lulus UN.Selain harus menanggung beban psiko-sosial yang cukup berat akibat stigma “bodoh” ba-gi siswa yang tak lulus,siswa yang bersangkutan juga kehilangan semangat berkompetisi.Bisa jadi, inilah kelemahan dari soal-soal UN yang dinilai kurang sahih lantaran tidak dibuat oleh guru yang memahami benar materi pelajaran yang sudah disajikan kepada siswa didiknya.
Keempat,UN dinilai boros dan berbiaya tinggi.Argumen ini memang tidak berlebihan.Mu-lai persiapan,pelaksanaan,pengawasan,hingga tindak lanjutnya,UN selalu melibatkan banyak pihak yang sama-sama memiliki kepentingan.Keterlibatan banyak pihak,jelas akan membuat biaya pelak-sanaan UN jadi membengkak.Jadilah UN tak lebih dari sekadar “proyek” tahunan yang selalu di-nanti kehadirannya oleh pihak-pihak yang merasa diuntungkan.
Kelima,UN oleh sebagian besar siswa adalah segala-galanya.Mata pelajaran diluar UN akan dianggap sebagai mata pelajaran yang tidak penting dan sepele.Mereka lalu menganggap ujian-ujian harian atau semester tidak ada artinya.UN menyebabkan siswa melakukan praktik “SKS” atau sistem kebut semalam,dimana siswa hanya akan belajar menjelang ujian saja.UN secara realita di lapangan juga menapikkan peran sekolah karena siswa lebih mengandalkan Bimbingan Belajar se-bagai jaminan untuk lulus UN.Bila begini,buat apa siswa belajar di sekolah bukankah lebih baik mereka menuntut ilmu di lembaga bimbingan belajar saja?    
Argumen apa pun yang dikemukakan,agaknya tak akan pernah menyurutkan langkah peme-rintah dalam menjadikan UN sebagai sarana sekaligus upaya peningkatan mutu pendidikan.Ini se-buah risiko yang mesti ditanggung secara kolektif akibat lamanya bangsa kita terejebak dan terbuai dalam lingakaran berhala angka-angka di atas selembar ijazah.Alasan pemerintah makin kuat keti-ka sudah ada perangkat hukum yang jelas-jelas mengaturnya,yakni UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.20 Tahun 2007 tentang Standar Pe-nilaian Pendidikan.Selama perangkat hukum tersebut belum dicabut,agaknya UN akan jalan terus.
Selain itu,ada upaya serius dari pemerintah,melalui BSNP untuk menjadikan UN sebagai bagian dari gengsi daerah.Setiap tahun,BSNP selalu menyusun peringkat hasil UN,mulai tingkat nasional,provinsi,kabupaten/kota,hingga sekolah.Hasil pemeringkatan ini didistribusikan ke daerah -daerah hingga akhirnya UN menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan daerah tertentu dalam me-ningkatkan mutu pendidikan.Upaya ini layak diapresiasi.Namun,tidak menutup kemungkinan ba-nyak daerah yang cenderung menghalalkan segala cara untuk mengatrol perolehan nilai UN di dae-rahnya demi menjaga gengsi daerah.
Binatang-binatang sirkus
Persoalan lain adalah hilangnya “roh” kurikulum yang dikhawatirkan akan sangat mempe-ngaruhi optimalisasi pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang kini sudah mulai dilaksanakan oleh berbagai sekolah.Otonomi pendidikan yang gencar digembar-gemborkan di sekolah agaknya akan menghadapi banyak kendala karena sentralisasi belum sepenuhnya dile-paskan oleh pemerintah pusat.Kegiatan pembelajaran yang aktif,inovatif,kreatif,efektif,dan menye-nangkan pun menjadi sulit diimplementasikan,terutama di kelas-kelas terakhir.UN saat ini diang-gap sesuatu yang mengerikan dan menakutkan bagi para siswa.
Para siswa menjelang UN akan  digiring ke dalam ruang karantina untuk dicekoki berbagai soal yang diperkirakan akan muncul dalam ujian.Mereka diperlakukan seperti keranjang sampah yang harus menampung semua tumpahan hafalan teori dan rumus dari sang guru.Guru terpaksa berbuat demikian karena tak sanggup melepaskan diri dari tekanan kepala sekolah demi menjaga gengsi dan citra sekolah.Keberhasilan guru hanya diukur berdasarkan kemampuannya dalam men-transfer pengetahuan yang dimiliki kepada siswa didik dalam menghadapi ujian.Guru yang serius mengoptimalkan diri mengajak siswa melakukan curah pikir dan berinteraksi secara terbuka se-hingga mampu mengidentifikasi dan menganalisis berbagai problem sosial dan kebangsaan secara bebas dan kritis justru tidak mendapatkan tempat di ruang sekolah.Proses pembelajaran semacam itu hanya akan menjadi penghambat keberhasilan siswa dalam menghadapi soal-soal ujian.
            Pendekatan behaviouristik yang mengutamakan hafalan pun akan terasa lebih dominan ke-timbang pendekatan konstruktivistik yang menekankan pada upaya untuk mengajak siswa mene-mukan dan mengkonstruksi pengalaman belajarnya secara mandiri.Semuanya jadi serba mekanis, meminjam istilah Budayawan Romo Mangunwijaya - tak ubahnya seperti pelatihan yang diterap-kan untuk binatang-binatang sirkus yang akan muncul di panggung pasar malam.
            Dunia pendidikan kita juga,meminjam istilah Paulo Freire,masih dijangkiti sifat nekrofilis (cinta kematian),bukannya menumbuhkan sifat biofilis (cinta kehidupan).Proses pendidikan yang terjadi di sekolah tidak lagi menampilkan semangat pembebasan peserta didik dari ketidakberdaya-an,tetapi justru menjadi ruang untuk membelenggu kreativitas dan kebebasan sehingga gagal mela-hirkan manusia-manusia yang cerdas,kritis,kreatif,terampil,jujur,berkarakter,demokratis,dan res-ponsif.
Bertahun-tahun sekolah kita terpasung dalam ruang hafalan-hafalan teori dan rumus,tidak membumi,tidak ada upaya serius untuk membawa para siswa didik mampu menerjemahkan ber-bagai ranah keilmuan yang diperoleh ke dalam realitas sosial.Pendidikan menjadi tercerabut dari problem riil yang seharusnya mereka jawab dan selesaikan.Model pendidikan demikian oleh Paulo Freire dikritik sebagai banking education,yaitu suatu model pendidikan yang tidak kritis karena ha-nya diarahkan untuk domestifikasi,penjinakan,dan penyesuaian realitas sosial dengan keadaan penindasan.
Dalam kondisi yang demikian,bagaimana mungkin sekolah mampu melahirkan manusia-manusia yang cerdas,kritis dan responsif? Bagaimana mungkin siswa didik kita tergugah kesada-rannya untuk belajar mengenali berbagai problem riil yang mencuat dalam kehidupan sosial? Tujuan akhir pendidikan kita secara kasat mata memang tidak lebih dari sekadar  perolehan angka-angka kelulusan yang tertulis di atas selembar ijazah.Inilah problem UN dalam sistem pendidikan kita.***