Ada “Kursi Haram” di DPR?
Oleh : Fadil Abidin
Lembaga DPR kembali menjadi sorotan publik, beberapa anggotanya diduga memperoleh kursi secara ilegal. Sungguh memprihatinkan jika di antara 560 kursi yang diduduki oleh anggota Dewan terhormat itu ada yang berlabel "kursi haram". Kursi yang seharusnya diperuntukan bagi orang yang meraih suara terbanyak di suatu daerah pemilihan dalam pemilihan umum, beralih dengan cara yang tak terpuji kepada orang lain.
Sebenarnya, Ketua MK (Mahkamah Konstitusi) Mahfud MD sudah melaporkan Andi Nurpati ke polisi pada Februari 2010. Andi Nurpati yang merupakan mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan kini menjadi kader Partai Demokrat diduga memalsukan surat MK untuk meloloskan seorang caleg dari partai tertentu ke Senayan.
Siapakah gerangan yang duduk di kursi haram tersebut, agaknya inilah yang menjadi persoalan, karena sungguh sangat tidak mudah untuk menyebutkannya. Apalagi diduga pelakunya adalah mantan anggota KPU yang kini meloncat ke partai penguasa untuk mencari perlindungan. Dan dengan berlindung di balik UU Pemilu pula, kasus ini dianggap sudah kadaluwarsa. Ada kekhawatiran persoalan ini akan selesai begitu saja tanpa ada penindakan atau penghukuman bagi para pelakunya.
Komisi II DPR pun melakukan rapat dengar pendapat (RDP) dengan KPU dan Bawaslu, guna menjernihkan persoalan “kursi haram” ini pada 14 Juni 2011 lalu. Karena tidak menemukan titik terang, maka akan dibentuk Panja (Panitia Kerja) menangani persoalan ini. Gagasan membentuk Panja memang perlu diapresiasi, karena hal ini termasuk dalam kejahatan demokrasi yang bisa merusak tatanan demokrsi yang ada. Namun ada kekhawatiran bahwa Panja ini akan bernasib sama dengan panja-panja sebelumnya karena menyangkut politisi partai yang kemudian menjadi alat bargaining politik untuk saling “menyandera”. Akhirnya tidak menghasilkan apa-apa, kecuali menyita waktu dan energi semata, bak pribahasa mengatakan "arang habis besi binasa."
Rakyat sudah sangat muak dengan hal-hal seperti ini, rakyat sudah pesimis dan mati harapan, rapat berhari-harian dengan segala perdebatan yang ternyata hanya sandiwara tapi hasilnya nihil, dan persoalan "kursi haram" tetap menjadi benang kusut yang tak terselesaikan. Oleh karenanya, alangkah baiknya penegak hukum segera bergerak, menindaklanjuti laporan MK dan Bawaslu berkenaan dengan pemalsuan dokumen negara.
Status Keabsahan
Lambannya pihak kepolisian mendalami laporan yang disampaikan Ketua MK Mahfud MD juga terus menimbulkan kontroversi. Polisi kemudian dianggap mandul, tak berdaya dan cenderung takut ketika harus berhadapan dengan para politisi, apalagi politisi yang berasal dari partai berkuasa dan koalisinya. Contoh yang paling nyata adalah kasus M.Nazaruddin, yang merupakan mantan bendahara umum Partai Demokrat yang kabur ke Singapura, dan kasus Nunun Nurbaeti yang merupakan isteri dari Adang Daradjatun, mantan Wakapolri yang kini menjadi anggota DPR dari PKS.
Kasus kursi haram ini nyaris menguap begitu saja karena sudah dilaporkan oleh Mhfud MD sejak Februari 2010. Mungkin karena jengkel laporannya tidak ditanggapi serius oleh polri, maka Mahfud pun mengekspos ke publik. Hal ini merupakan sebuah langkah yang tepat karena ketika aparat negara tidak mau bekerja secara serius, maka biarlah pers dan rakyat yang terus melakukan penekanan.
Mahfud menyebutkan terjadi 2 pemalsuan dokumen negara atas keputusan MK yang melibatkan Andi Nurpati dan 4 pejabat lainnya. Dugaan keterlibatan Andi Nurpati sebagai anggota KPU kala itu, adalah tidak menggunakan dasar keputusan MK untuk penetapan anggota DPR dan justru menggantinya dengan memalsukan dokumen guna memenangkan calon tertentu meski kalah dalam pemilu legislatif. Data dugaan pemalsuan dokumen juga dimunculkan oleh Bawaslu yang menyebutkan 2 dokumen negara juga dipalsukan. Jadi kesimpulannya ada 4 kursi DPR yang berlabel “haram”.
Lambannya proses penuntasan kasus “kursi haram” ini membuat publik mempertanyakan keabsahan status anggota dewan. Bagaimana bisa status keanggotaan DPR yang begitu terhormat dapat dimanipulasi ? Bagaimana bisa surat keputusan lembaga tinggi negara seperti MK bisa dipalsukan dan mengapa para pelakunya dibiarkan begitu saja? Bila tokoh sekaliber Ketua MK laporannya tidak ditindaklanjuti oleh polri, bagaimana pula jika yang melaporkannya rakyat kecil? Kasus “kursi haram” anggota DPR merupakan gambaran bahwa manajemen negara ini sangat amburadul.
Jika keanggotaan DPR diperoleh secara tidak patut, hal ini merupakan bentuk kebohongan publik yang sangat besar. Bagaimana memperjuangkan aspirasi rakyat, jika cara yang ditempuhnya adalah salah dan akan membuatnya selalu sibuk menutupi 'kebusukan' yang telah dilakukan.
Pemalsuan dokumen atas keabsahan anggota DPR juga merugikan hak orang lain terutama para calon anggota DPR dan menghilangkan suara masyarakat pemilih. Kasus ini telah merusak dan mengaburkan prinsip perwakilan dalam tatanan demokrasi. Karena prinsip wakil rakyat adalah orang-orang pilihan yang murni mendapat dukungan masyarakat bukan manipulasi.
Kasus ini hendaknya jangan hanya dibawa ke ranah politik semata, tapi yang terutama adalah ke ranah hukum pidana karena menyangkut pemalsuan. Pemalsuan dokumen terutama dokumen negara termasuk tindak pidana serius yang dapat dijerat ancaman hukuman 5 - 8 tahun penjara (Pasal 263 - 264 KUHP). Dokumen negara adalah bukti otentik atas perjalanan bangsa yang seharusnya dijaga keasliannya serta digunakan secara hati-hati dan sesuai peruntukannya apalagi dokumen pemilu.
Yang sungguh sangat memprihatinkan adalah dugaan keterlibatan anggota KPU dalam pemalsuan dokumen. Sebagai fasilitator penyelenggara pemilu, KPU adalah lembaga mandiri (Pasal 22 E UUD 1945). Mandiri dalam pengertian independen netral, tidak partisan dan tidak berpihak ke manapun. Jika ketidaknetralan sudah terjadi dan dibiarkan tentu menjadi preseden buruk di kemudian hari dan hasil dari pemilu akan digugat dengan tidak berkesudahan.
Dengan situasi seperti itu, maka tak ada alasan kasus dugaan pemalsuan dokumen yang menyangkut citra DPR dan pemilu tidak diusut tuntas. Dan pemerintah yang diwakili oleh kepolisian secara penuh bertanggung jawab dan harus segera proaktif menuntaskan kasus ini yang sudah berjalan 16 bulan lebih. Jangan sampai kasus ini justru semakin membenarkan kepolisian berwajah ganda, yakni hanya berani, sigap dan tanggap luar biasa mengusut perkara untuk kepentingan penguasa dan sebaliknya lunglai untuk mengusut kepentingan elit partai berkuasa.
Harus Dituntaskan
Sekali lagi penuntasan kasus ini bukan hanya untuk kepentingan pemerintah atau kepolisian namun menjadi kepentingan nasional terkait citra penyelenggaraan pemilu di mata masyarakat dan dunia internasional. Pemilu kita memang dikenal sebagai sesuatu yang boros, tidak efektif, tidak efisien dan dikenal sebagai pemilu termahal di dunia serta diduga kental dengan money politics. Namun terlepas dari itu semua itu, proses pemilihan para wakil rakyat adalah sesuatu yang suci, karena di situlah letak kepercayaan dan dukungan masyarakat terhadap para calon wakilnya. Ada kedekatan emosi dan harapan yang menjulang tinggi di pundak para wakilnya dalam memperjuangkan aspirasi. Keinginan perbaikan ke arah yang lebih baik menjadi cita-cita mereka.
Dalam UU Susunan dan Kedudukan Anggota DPR, DPD dan MPR, pergantian anggota dewan dapat dilakukan dengan istilah Pergantian Antar Waktu (PAW). PAW dapat dilakukan jika anggota dewan melanggar sumpah jabatan dan diputus bersalah oleh pengadilan atas tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 tahun atau lebih ( Pasal 213 ayat 2 ) sehingga PAW bisa dilakukan kepada anggota DPR yang diduga terlibat dalam pemalsuan dokumen karena memiliki ancaman penjara 5 tahun lebih.
Jadi jangan kecewakan rakyat, dengan terpilihnya orang-orang yang tidak sepatutnya berhak. Anggota dewan yang tidak sah yang duduk sebagai wakil rakyat harus diganti dan diberikan hukuman yang setimpal. Hukuman yang lebih berat juga harus dilakukan jika di dalamnya ada anggota KPU terlibat pelanggaran hukum yang seharusnya menjadi 'wasit' yang netral.
Untuk ke depan diharapkan, perangkat negara seperti KPU, kepolisian dan Mahkamah Konstitusi dapat saling bahu-membahu dan melakukan kerja sama dalam menyelesaikan berbagai upaya manipulasi dan penyimpangan dalam pemilu. Khusus untuk KPU sebagai penyelenggara pemilu dan kepolisian sebagai penegak aturan, dapat menunjukan kenetralannya dan tidak menimbulkan kesan keberpihakan.
Selain itu, perlu ada cara-cara sistematis yang lebih nyata dengan mempersiapkan dan merevisi UU Politik. Hal ini untuk membuat penyelenggaraan pemilu berlangsung efektif dan efisien serta berkualitas. Dan yang paling penting dari itu semua, DPR harus dapat memilih tokoh yang berkualitas dan netral untuk menjadi 'wasit' dalam perhelatan akbar Pemilu Legislatif dan Pilpres 2014 mendatang. ***