Orang Miskin Dilarang Kuliah?
Oleh : Fadil Abidin
Orang miskin dilarang kuliah! Mencengangkan! Biaya daftar ulang calon mahasiswa yang dinyatakan lolos seleksi jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) di Universitas Negeri Jember tahun 2011 ini di Fakultas Kedokteran totalnya hampir mencapai Rp 121 juta. Biaya tersebut meliputi Rp 100 juta merupakan sumbangan pengembangan institusi (SPI), dan Rp 20.890.000 untuk sumbangan pengembangan akademik (SPA).
Menarik apa yang diungkapkan oleh Darmaningtyas, seorang pengamat pendidikan (Koran Tempo, 26/10/2010). Menurutnya, ada penurunan signifikan persentase mahasiswa yang berasal dari keluaga miskin yang kuliah di perguruan tinggi negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang tinggal 4,19 persen, sedangkan orang kaya mencapai 32,4 persen. Versi pemerintah, persentase itu naik dibandingkan dengan kondisi pada 2003. Tapi sebetulnya menurun drastis bila dibandingkan dengan kondisi dekade 1980-1990-an. Pada saat itu, jumlah orang miskin di PTN (sebelum ada PTBHMN) lebih dari 10 persen.
Tulisan ini lebih ingin menekankan pada pembukaan akses bagi golongan miskin, agar keberadaan PTN dan PT BHMN tidak menjadi menara gading, akan tetapi tetap dapat menjadi sarana mobilitas vertikal (peningkatan status sosial-ekonomi) bagi semua warga, termasuk kaum miskin dan sekaligus sarana untuk mengurangi kesenjangan antara yang kaya dan miskin.
Ada hal yang sangat merisaukan dari perkembangan PTN dan PT BHMN, selama satu dekade terakhir adalah semakin elitis, karena uang menjadi dasar penerimaan mahasiswa baru. Mereka yang sudah dinyatakan lolos tes masuk PTN/PTBHMN belum tentu dapat kuliah karena tidak mempunyai uang untuk masuk kuliah (daftar ulang dan membayar uang kuliah tiap semester). Meskipun selalu muncul berbagai sanggahan atas tuduhan tersebut, kenyataannya, jumlah orang miskin di PTN/PTBHMN semakin turun, sedangkan jumlah orang kaya semakin naik. Ini membuktikan bahwa uang memang menjadi sarana utama untuk dapat kuliah di PTN/PTBHMN. Bahkan ada PTBHMN yang memberikan porsi hanya 10 persen cara mahasiswa barunya diterima melalui model seleksi bersama PTN lain, selebihnya (90 persen) adalah yang berdasarkan besaran uang yang dibayarkan oleh calon mahasiswa.
Bila kita berpikir agak jauh, menyangkut soal rasa kebangsaan atau solidaritas sosial, perkembangan PTN/PTBHMN yang sekarang ini mencemaskan, karena perguruan tinggi akan menyumbang konflik sosial yang besar di masa mendatang, memperlebar jurang ketidakadilan antara kaya dan miskin, serta menyuburkan frustrasi sosial di masyarakat. Kaum miskin tidak lagi punya harapan dapat melakukan mobilitas vertikal melalui pencapaian pendidikan tinggi, seperti yang terjadi sampai akhir dekade 1990-an. Bahkan yang sudah mulai terjadi sekarang adalah anak pasangan suami-istri sarjana pun tidak dapat kuliah karena biayanya tidak terjangkau.
Kastanisasi Pendidikan
Sejak tahun 2010, Kementerian Pendidikan Nasional telah menelurkan program beasiswa bagi keluarga miskin yaitu Program Bidik Misi. Program ini merupakan program kepedulian kepada masyarakat yang kurang mampu agar dapat mengakses pendidikan tinggi. Dengan program itu, peserta Bidik Misi akan dibiayai kuliah selama empat tahun dan diberi biaya hidup Rp 500.000 per bulan, bahkan biaya hidup tahun 2011 ini Rp 600.000.
Tapi, program beasiswa yang dikembangkan oleh pemerintah itu bukan solusi karena, selain proses untuk mendapatkannya panjang, kurang transparan dalam pelaksanaannya, dan beasiswa hanya dapat diakses oleh mereka yang sudah resmi terdaftar sebagai mahasiswa. Sementara itu, hambatan terbesar justru ada di proses masuknya. Harga formulir di PTN/PT BHMN yang berkisar Rp 850.000 – Rp 1.500.000, sekarang ini tidak mungkin terbeli oleh anak sopir angkot, sopir taksi, pengemudi becak, buruh bangunan, anak petani dan pekerja sektor informal lainnya. Sistem penerimaan mahasiswa model online di satu sisi kelihatan maju, tapi di sisi lain menutup akses warga yang tinggal di daerah terpencil dan belum bisa mengakses internet.
Indonesia sebenarnya menganut sistem pendidikan yang sangat liberal yang kemudian melahirkan sistem kasta. Warga miskin dan kaya itu sebenarnya sudah “terkastanisasi” dan terpisah sejak SD. Mutu dan fasilitas pendidikan SD sampai dengan SMTA dikastanisasi menjadi sekolah reguler, sekolah standar nasional, rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI), sekolah bertaraf internasional (SBI), dan sekolah internasional. Anak-anak miskin, meskipun pintar, masuk ke SD hingga SMA reguler.
Sedangkan setelah lulus SMP, mereka lebih banyak masuk ke SMK, sedikit yang bisa masuk ke SMA. Mereka yang masuk ke SD-SMA RSBI/SBI hanya orang kaya. Wajar bila kemudian beasiswa untuk kaum miskin yang disebar ke PTBHMN dan PTN itu hanya terserap sedikit, karena orang miskin sudah terseleksi sejak SD.
Upaya membuka akses bagi orang miskin untuk masuk ke PTN/PTBHMN tidak ada cara lain kecuali mengembalikan sekolah-sekolah negeri menjadi sekolah publik yang dapat diakses oleh semua warga tanpa hambatan apa pun. Kebijakan beasiswa sangat tidak tepat karena, selain secara metodologis punya banyak kelemahan dalam pendistribusian, dan sifatnya hanya charity. Sementara itu, pendidikan bukan persoalan belas kasihan, melainkan berkaitan dengan hak dan kewajiban bagi warga versus negara.
Tugas pemerintah sebagai representasi negara adalah menciptakan sistem pendidikan yang dapat diakses bagi semua warga secara adil. Segala hambatan yang ada perlu dihilangkan, termasuk pungli dan syarat-syarat administrasi yang tidak masuk akal. Bila Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional adalah hambatannya, perlu direvisi, seperti halnya undang-undang lain yang tidak pas dan direvisi. Jangan berkedok bahwa RSBI/SBI itu amanat UU Sisdiknas, lantas dijalankan terus meskipun tahu itu salah, tanpa ada keinginan merevisi UU Sisdiknas. Padahal kita tahu penyusunan UU Sisdiknas tersebut menimbulkan kontroversi panjang, bukan hanya masalah pendidikan agama, tapi juga masalah privatisasi dan liberalisasi pendidikan yang sekarang sudah terbukti di lapangan.
Akses Pendidikan Tinggi
Jika persoalan dana yang selalu menjadi keberatan pemerintah dan pemimpin PT BHMN untuk kembali menjadi PTN milik publik, dapat diatasi dengan cara meningkatkan subsidi untuk perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Dana tersebut dapat diambilkan dari pengalihan subsidi untuk sektor energi (BBM dan listrik). Daripada puluhan triliun hanya untuk subsidi BBM dan listrik tiap tahun, yang lebih banyak dinikmati oleh golongan kaya, lebih baik dipakai untuk menyubsidi seluruh perguruan tinggi, agar semua PTN dapat diakses oleh semua warga dan tidak perlu diprivatisasi.
Bila warga miskin dapat mengalami mobilitas vertikal menjadi orang kaya, kenaikan tarif listrik dan BBM tidak akan menjadi masalah karena mereka memiliki kemampuan membayar. Jadi jelas, soal subsidi untuk perguruan tinggi itu hanyalah soal komitmen politik, bukan soal ketiadaan dana pemerintah.
Keberadaan PTBHMN selama ini, selain telah memarginalkan golongan miskin, telah menghilangkan jati diri PT sebagai pengembang ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, serta penjaga kebenaran, karena sibuk dengan urusan-urusan manajerial dan keuangan. Segala sumber daya yang ada dialokasikan untuk proses kapitalisasi kampus atas nama otonomi kampus, tapi yang sesungguhnya terjadi adalah otonomi dalam pendanaan saja. Betul, kondisi fisik kampus terlihat makin bagus, tapi sebetulnya kurang didukung oleh sendi-sendi kehidupan yang merakyat. Sebaliknya, kampus semakin asing dari orang miskin dan cenderung memarginalkan kaum miskin. Ini ironis karena salah satu sumbangan kaum kampus mestinya adalah bagaimana mengatasi kemiskinan, tapi yang terjadi justru kampus sendiri memarginalkan kaum miskin.
Kita bersyukur bahwa melalui Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Hal yang perlu diapresiasi adalah keberadaan pasal 220-A dan 220-B mengenai pengelolaan pendidikan PTBHMN, seperti Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Sumatera Utara, Universitas Pendidikan Indonesia, dan Universitas Airlangga, termasuk pengelolaan keuangannya yang perlu menyesuaikan dengan peraturan ini dalam bentuk Badan Layanan Umum (BLU) paling lama 3 tahun sebagai masa transisi sejak peraturan pemerintah ini diundangkan atau paling akhir 31 Desember 2012.
Konsekuensi dari pasal ini adalah dihapusnya status PTBHMN dan berubah menjadi BLU. Dalam status BLU, peran pemerintah masih tetap menonjol sehingga memudahkan masyarakat menyampaikan kontrol. Selama ini muncul kesan bahwa PTBHMN begitu otonomnya sehingga pemerintah pun tidak bisa mengintervensi sama sekali, termasuk ketika PT BHMN tersebut melakukan rekrutmen mahasiswa baru dengan menjadikan uang sebagai dasar penerimaannya dengan harga “tiket masuk” gila-gilaan.
Peraturan Pemerintah tersebut juga berupaya memperbaiki akses ke PTN bagi semua warga dengan menaikkan kuota penerimaan mahasiswa baru melalui seleksi bersama minimal 60 persen. Selama hampir satu dekade, terutama sejak diberlakukannya perguruan tinggi badan hukum milik negara (PTBHMN) di beberapa PTN, penjaringan mahasiswa baru secara bersama di sejumlah PTN dan PTBHMN banyak yang kurang dari 50 persen, bahkan di PTBHMN ada yang hanya 10 persen. Itu artinya, ketentuan baru tersebut merupakan angin segar bagi warga kebanyakan untuk mengakses pendidikan tinggi di PTN.
Hal ini dapat menjadi peluang bagi yang miskin untuk kuliah di PTN/PT BHMN. Sedangkan keharusan menyediakan beasiswa 20 persen dari total mahasiswa merupakan amanat yang baik, tapi mungkin sulit terpenuhi karena anak-anak orang miskin sudah terseleksi sejak SMP, dan sedikit yang bisa lulus SMA.***