Ibadah Sosial dan Sinergi Menanggulangi Kemiskinan
Oleh : Fadil Abidin
Setiap bulan Ramadhan dan menjelang Idul Fitri, ada pemandangan yang khas. Sebagian orang berkecukupan ada yang melakukan sedekah atau pembayaran zakat dengan cara yang demonstratif bahkan cenderung pamer kekayaan. Mereka membagi-bagikan secara langsung, baik uang atau beras kepada orang lain di sekitar tempat tinggalnya sehingga menimbulkan antrian yang membludak.
Kita masih ingat ragedi pembayaran zakat tahun 2008 di Pasuruan, Jawa Timur, yang merenggut nyawa 21 orang. Mereka tewas akibat berdesakan dan terinjak-injak saat pembagian zakat sebesar Rp 30.000 yang dilaksanakan seorang pengusaha sarang burung walet.
Tragedi di atas bukanlah yang pertama dan terakhir. Terbukti, pada awal bulan Ramadhan tahun ini kejadian serupa nyaris terjadi. Seorang pengusaha asal Sumatera Barat yang sukses di Jakarta membagikan-bagikan uang sedekah di kampung halamannya. Walaupun tidak menimbulkan korban jiwa, tapi beberapa orang mengalami cedera dan pingsan karena berdesakan dalam antrian.
Sehingga ada anggapan (yang mudah-mudahan keliru!), bahwa sebagian besar orang yang membagikan sedekah dan zakat secara langsung terindikasi riya’, yaitu suatu perbuatan yang dilakukan untuk tujuan pamer kekayaan, unjuk kesuksesan, ingin mendapat pujian, dan agar mendapat nama sebagai orang dermawan. Tujuannya jelas untuk meningkatkan prestise dan status sosial tertentu di tengah masyarakat.
Tak jarang pula harta yang dibagikan tersebut berasal dari hasil korupsi, dan untuk menutupi “dosa” maka yang bersangkutan membagikan sebagian kecil sebagai bentuk sedekah atau zakat. Ironisnya ketika ia divonis bersalah karena kasus korupsi, ia membela diri, “Tanyakan kepada orang-orang di kampung saya. Saya dikenal sebagai dermawan, bukan seorang koruptor.”
Ini kan sebuah paradoks. Kedermawanan diekspos untuk menutupi kezaliman. Kemurahan hati disiarkan untuk menutupi keserakahan. Ia bertindak seolah-olah sebagai penyantun kaum miskin dengan kerap membagi-bagi duit kepada siapa saja. Padahal akibat perbuatannya justru lebih banyak lagi orang yang dimiskinkan.
Di bulan Ramadhan terdapat juga pemandangan unik yang mewarnai kota-kota besar di Indonesia. Ratusan hingga ribuan orang pengemis tiba-tiba datang menyerbu kota. Mereka terlihat memadati seluruh jalan-jalan utama, terutama di perempatan jalan dan tempat-tempat ibadah seperti masjid dan lain sebagainya. Kedatangan mereka tampaknya dikoordinir dengan baik dan rapi. Pagi mereka diantar, menjelang sore mereka dijemput menuju tempat penampungan para pengemis ini. Inilah potret kemiskinan yang terlalu vulgar dipertontonkan di depan mata kita.
Konsep Kedermawanan
Kemiskinan benar-benar telah dieksploitasi demi mencari keuntungan dan memperkaya diri sendiri. Jadi jangan heran bila Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram mengemis karena ternyata kegiatan mengemis dilakukan untuk memperkaya diri. Apalagi dalam ajaran Islam telah jelas dikatakan bahwa memberi lebih baik daripada menerima. Sedekah dalam Islam sebenarnya sangat dianjurkan sebagai wujud jiwa sosial kita kepada orang-orang yang tak mampu. Namun, ceritanya menjadi lain bila sedekah ini diterima oleh orang-orang yang masih mampu bekerja dengan baik namun malas berusaha.
Untuk mengurangi pengemis yang jumlahnya kian bertambah, beberapa pemerintah daerah mengeluarkan perda (peraturan daerah) yang melarang kegiatan mengemis dan memberi uang kepada pengemis di jalanan, sehingga orang yang memberi uang kepada pengemis akan terkena sanksi. Tapi tampaknya perda-perda yang ada tidak berjalan efektif, karena setiap tahun jumlah pengemis kian bertambah.
Sedekah merupakan ibadah sosial yang berbasiskan pemberian sebagian harta kepada orang lain yang membutuhkan. Sedekah sebagai bagian dari konsep kedermawanan dalam Islam seharusnya menjadi spirit utama setiap muslim untuk membantu saudara-saudara lain yang kebetulan kurang beruntung. Namun, untuk menghasilkan hasil yang maksimal dibutuhkan pengelolaan, perencanaan, dan penyaluran yang baik. Maka ibadah-ibadah sosial yang berbasiskan pemberian harta benda seperti zakat, infaq, dan wakaf perlu dikelola dengan baik agar mempunyai kemaslahatan yang maksimal.
Pengelolaan yang kurang baik akan menghasilkan harapan sebaliknya yaitu meningkatkan angka kemiskinan itu sendiri. Kedermawanan para muslimin yang mempunyai kelebihan harta akhirnya hanya akan menjadi sebatas belas kasihan tanpa solusi jangka panjang yang justru menimbulkan ketergantungan bukan kemandirian.
Meningkatnya jumlah angka kemiskinan dan pengangguran di negeri ini tak pelak menunjukkan bahwa negara telah gagal dalam membawa warganya terbebas dari kemiskinan yang permanen. Di negeri ini tampaknya harga-harga kebutuhan pokok tidak pernah stabil, sedikit goncangan atau keadaan khusus seperti tingginya permintaan di bulan Ramadhan misalnya langsung ditandai dengan naiknya harga barang-barang kebutuhan pokok membuat kaum miskin menjerit dan sangat membutuhkan uluran sang dermawan yang mau menyisihkan sebagian rezekinya demi sesuap nasi. Kondisi ini disebabkan oleh kelalaian dan ketidakmampuan pemerintah dalam menangani permasalahan harga kebutuhan bahan pokok. Jeritan demi jeritan derita rakyat tak pernah menyentuh hati nurani para pemimpin untuk memperbaiki nasib rakyat.
Keterpurukan ini dilengkapi lagi dengan keserakahan di mana semakin banyak orang-orang yang mendapatkan harta dari cara-cara tak halal dan menghalalkan segala cara. Dalam situasi inilah para dermawan bisa mengambil peran yang cukup signifikan dalam membantu pemerintah mengatasi problem kemiskinan.
Perlunya Sinergi
Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh CSRC UIN Jakarta tahun 2009 (http://www.csrc.or.id), dana yang disumbangkan oleh masyarakat muslim Indonesia melalui zakat, infaq, sedekah dan wakaf mencapai angka 19,3 triliun per tahun. Namun, dana itu ternyata tidak mampu digunakan untuk menanggulangi masalah kemiskinan. Tapi justru menciptakan semacam ketergantungan dan melestarikan kemiskinan itu sendiri. Bahkan, aset wakaf yang bernilai 590 triliun ternyata 80% hanya digunakan untuk masjid dan pekuburan.
Melihat realitas di atas terdapat beberapa akar permasalahan mendasar yang menyebabkannya. Pemahaman masyarakat muslim terhadap ibadah-ibadah sosial dan konsep kedermawanan yang meliputi zakat, infaq, sedekah dan wakaf, masih bersifat tradisional, karikatif, charity dan berorientasi jangka pendek.
Penelitian CSRC telah mengkonfirmasi bahwa 90% lebih dana zakat dan sedekah diberikan secara langsung kepada penerima (mustahik). Di mana sebagian besar diperuntukkan bagi tujuan-tujuan konsumtif dan berjangka pendek. Bahkan yang mampu dan tidak berhak menerima berpura-pura miskin agar mendapat juga.
Perlu diberikan penyadaran terhadap bahaya riya’ kepada para dermawan yang membagikan langsung sedekah atau zakatnya. Islam mengajarkan, jika tangan kanan memberi maka tangan kiri tak boleh tahu. Maksudnya, jika kita bersedekah maka cukuplah kita dan Allah yang tahu, bahkan orang yang diberi kalau bisa tidak tahu kalau kita yang memberi. Hal ini untuk menghindari sedekah yang sia-sia bahkan menjadi dosa akibat riya’.
Ke depan kegiatan ibadah ini harus berorientasi produktif. Seluruh dana yang diperoleh baik dari aset zakat, infaq, sedekah, dan wakaf harus mampu dikelola dan disalurkan dengan baik sehingga tidak habis begitu saja.
Pemberian kredit modal kerja bagi para pedagang kaki lima, usaha kecil dan mikro misalnya dapat dijadikan contoh terbaik penggunaan dana-dana dari umat muslim ini. Semua itu dilakukan demi menciptakan kemandirian, wiraswasta, dan membuka lapangan-lapangan pekerjaan baru sehingga ke depan angka pengangguran dapat ditekan dan akhirnya mampu mengurangi angka kemiskinan itu sendiri.
Lemahnya sinergi antara lembaga-lembaga penghimpun yang ada seperti Lembaga Amil Zakat (LAZ), Badan Amil Zakat, Infaq dan Sedekah (BAZIS), Dompet Dhuafa (DD), Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU), Rumah Zakat, Tabung Wakaf, dan sebagainya, berjalan sendiri-sendiri tanpa koordinasi sedikit pun. Kita bisa bayangkan jika seluruh lembaga di tanah air ini bersatu dan bersinergi dalam bentuk program pengumpulan dan penyaluran dengan menetapkan skala prioritas bersama. Sungguh akan prestisius dan menakjubkan dampak yang akan diterima masyarakat.
Semoga para dermawan Islam ini secara perlahan namun pasti terus hadir dan bergerak menuju konsep kedermawanan yang benar-benar membebaskan kemiskinan demi pencapaian keadilan sosial. Jika beberapa poin di atas dapat direalisasikan dengan baik, diyakini bahwa ibadah sosial seperti zakat,infaq, sedekah dan wakaf yang dilaksanakan umat Islam dapat dijadikan alternatif lain dalam rangka menanggulangi masalah kemiskinan untuk mewujudkan keadilan sosial. ***