Memaknai Mudik di Hari Idul Fitri
Oleh : Fadil Abidin
Lebaran atau Idul Fitri merupakan siklus tahunan yang senantiasa datang dan pergi, berputar secara kontinyu menjelajahi waktu. Karena sifatnya yang demikian inilah ia disebut dengan ‘Id, yang secara etimologi berarti ulangan atau putaran. Istilah ini kemudian bersambung pada kata selanjutnya yaitu Al Fithr yang berarti suci.
Istilah Al Fithr pada dasarnya terkait erat dengan konsep kesucian pembawaan sejak kelahiran (Al Fithrah) dalam ajaran Islam. Sebagaimana dijelaskan dalam sabda Nabi Muhammad SAW, “Kullu mauludin yuuladu ‘alal fitrah” yang artinya setiap manusia yang dilahirkan dalam keadaan fitrah atau suci.
Jadi Idul Fitri memiliki arti kembali kepada kesucian atau kembali ke asal kejadian. Kelahiran seorang manusia, dalam ajaran Islam, tidak dibebani dosa apapun. Kelahiran seorang anak, diibaratkan secarik kertas putih. Kelak, orang tua dan lingkunganlah yang akan mengarahkan kertas putih itu membentuk dirinya.
Dalam perjalanan hidupnya, manusia senantiasa tidak bisa luput dari dosa. Karena itu, perlu upaya mengembalikan kembali pada kondisi sebagaimana asalnya. Itulah makna Idul Fitri yang diawali dengan ibadah puasa di bulan Ramadhan sebagai momen untuk membersihkan segala dosa. Dosa yang paling sering dilakukan manusia adalah melakukan kesalahan terhadap sesamanya. Seorang manusia dapat memiliki rasa permusuhan, pertikaian, iri dan saling menyakiti. Idul Fitri merupakan momen penting untuk saling memaafkan, baik secara individu maupun kelompok.
Jika kita berbuat dosa kepada Tuhan maka kita harus secara langsung memohon ampunan-Nya. Demikian juga ketika kita berbuat dosa dan kesalahan kepada sesama manusia, maka kita harus secara langsung pula meminta maaf kepada yang bersangkutan. Karena ada keharusan dan kebutuhan akan meminta maaf dan memberi maaf inilah lahir sebuah tradisi menyambung silaturahmi yang disebut mudik. Mudik juga mempunyai makna yang hampir sama dengan Idul Fitri, yaitu kembali ke asal kejadian.
Mudik menjadi fenomena khas dalam setiap menjelang Lebaran atau Idul Fitri. Khas karena fenomena ini menjadi semacam ritual tahunan dan menjadi kebiasaan kolektif bangsa Indonesia yang melekat dalam setiap momen Idul Fitri. Setahun sekali, orang dari perantauan berduyun-duyun pulang ke kampung halaman pada hari-hari terakhir Ramadhan.
Kebanyakan orang mengatakan bahwa mudik itu memang penting. Mudik dan berkumpul bersama keluarga di saat lebaran merupakan suatu kebutuhan yang harus dipenuhi. Mudik itu adalah pelunasan kerinduan akan nilai-nilai primodialisme yang ada pada diri kita. Makna itu, akan sangat terasa jika seseorang berada dirantau. Saat terpisah dari kampung halaman, kita selalu disibukkan dengan segala aktivitas. Untuk itu perlu sekali saat-saat untuk mengembalikan kenangan kita akan masa lalu.
Mudik
Primodialisme, tidak selalu bersifat negatif. Ada kalanya primodialisme juga bermanfaat. Itu bisa terjadi saat seseorang tengah berada di daerah bukan asalnya di mana semua terasa asing dan tidak pasti. Lalu saat itu kita bertemu dengan unsur-unsur primodialisme. Pasti akan cepat melekat, bahkan merasa tentram. Contohnya ada orang Medan yang merantau di Jakarta. Saat dia melihat ada kendaraan berplat BK pasti dia akan merasakan kepuasan tersendiri. Bahwa di daerah barunya masih ada kawan sedaerah.
Budayawan Umar Kayam (2002) menyebutkan bahwa mudik sebenarnya telah terjadi berabad-abad lalu yang awalnya merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa. Dahulu mudik menjadi kegiatan untuk membersihkan makam leluhur disertai upacara doa bersama untuk dewa-dewa dengan harapan agar para perantau diberi keselamatan dan keluarga yang ditinggalkan selalu dilindungi. Lambat laun akhirnya tradisi itu terkikis ketika Islam masuk ke tanah Jawa. Meski demikian, tradisi pulang kembali ke desa setahun sekali itu muncul kembali lewat momentum Idul Fitri.
Dalam konteks kekinian, mudik menjadi ajang melepas rindu yang merupakan nilai-nilai primordialisme yang bersifat positif atau dalam istilah Emha Ainun Najib (2005) mudik sebagai upaya memenuhi tuntutan rohani untuk bertemu dan berakrab-akrab dengan asal-usulnya. Namun, karena tradisi mudik tahunan ini selalu identik dengan hadirnya Idul Fitri, maka maknanya tidak hanya sekadar peristiwa biologis yakni pelepasan rindu kampung halaman, melainkan juga memiliki makna spiritual yang begitu dalam.
Setelah bergelut dengan hiruk pikuk kehidupan kota yang begitu keras maka bersua dengan keluarga, sungkem kepada orang tua, bertegur sapa, berbagi rasa dan saling bermaaf-maafan dengan tetangga menjadi sebuah kesempatan berharga untuk merestorasi spiritualitas yang terkikis seiring dengan makin ketatnya kompetisi di kota. Maka, dalam hal ini prosesi mudik menjadi semacam transformasi spiritual untuk mewujudkan solidaritas terhadap sesama yang dibelenggu kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan di tengah peradaban modern.
Hal di atas semakna dengan apa yang dilontarkan Jalaluddin Rakhmat (2004) yang menganggap bahwa mudik lebaran sebagai sebuah perjalanan melintasi waktu. Di saat manusia merasa menjadi modern yang dibarengi dengan kehilangan rasa kemanusiaannya, maka tak ada lagi ruang kasih sayang dan emosi manusiawi yang ditebarkan bagi manusia lainnya sehingga yang muncul adalah perangai kasar yang mementingkan diri sendiri dan agresif.
Beliau mensinyalir bahwa kita sedang mengembangkan struktur sosial ‘ayam besar’ yang berusaha mematuk yang lemah. Kita telah menjadi individualis egois yang materialistis, yang siap mengorbankan perasaan kemanusiaan untuk keuntungan materi. Semua orang seolah-olah menjadi sakit, termasuk para dokter dan pegawai rumah sakit. Untuk itu, diperlukan terapi yang sifatnya massal. Terapi yang diberikan haruslah menghilangkan semangat memiliki serba material ke semangat kekeluargaan yang spiritual.
Dalam hal ini, spiritualitas mudik setidaknya mengingatkan kita akan keluhuran manusia yang masih memiliki semangat asal. Karena melalui mudiklah, kita sebenarnya diingatkan kembali kepada awal kejadian kita, di mana untuk pertama kalinya kita melihat dunia. Menrenungi saat berada di kandungan ibu. Kandungan disebut pula sebagai rahim. Tuhan pun diseru dengan sebutan Yang Maha Rahim, Yang Maha Memberikan Kasih Sayang. Kasih sayang Tuhan mewujud pada kasih sayang (rahim) ibu.
Dengan demikian, mudik jangan dijadikan semacam ritual tahunan yang sangat konsumtif. Hal-hal seperti berbagi rezeki, menyambung tali silaturahmi, mengakhiri permusuhan, dan memohon maaf pada kedua orang tua, saudara dan jiran tetangga jauh lebih bermakna. Dalam bahasa yang lebih luas, mudik seharusnya mendorong kita mewujudkan nilai-nilai spiritual untuk kemudian sedikit demi sedikit meluruhkan belenggu hedonisme-materialisme yang tercipta di tengah peradaban modern.
Idul Fitri seharusnya tidak hanya dipahami sekadar berbaju baru, makan ketupat, budaya konsumerisme, pameran materi dan kemegahan dunia dan sebagainya, karena pemahaman yang demikian hanya menonjolkan unsur lahiriyah tanpa peresapan lebih jauh secara ruhaniyah dan juga akan semakin mempertajam kesenjangan dan sangat bertentangan dengan hakikat Idul Fitri, yaitu menciptakan solidaritas dan semangat kebersamaan serta cinta kasih. ***