Menggagas Etika Berkomunikasi di Media Massa
Oleh : Fadil Abidin
Pemberitaan media massa, terutama televisi, mengenai kasus korupsi yang melibatkan mantan bendahara umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin sepertinya telah overdosis. Nazaruddin pun kemudian diperlakukan bak selebriti yang selalu ditunggu “nyanyiannya”. Semua media berlomba untuk mengekspos dan mendapatkan berita eksklusif, MetroTV dan TVOne terlibat perlombaan yang sengit. Mereka kemudian seperti “kalah” ketika seorang jurnalis independen, Iwan Piliang, berhasil mewawancarai Nazaruddin secara langsung melalui teknologi Skype.
Bombastis media terhadap pemberitaan Nazaruddin sepertinya hanya mengetengahkan bahwa persoalan Indonesia saat in hanyalah Nazaruddin semata. Ruang pubik di media telah tersita dan teralihkan oleh sosok Nazaruddin. Padahal masih banyak masalah lain yang perlu diberitakan media elektronik kepada masyarakat.
Dalam dunia pers memang ada adagium “bad news is good news”, dan ini tampaknya telah menjadi gejala universal. Pemberitaan yang berulang-ulang tentang seorang tokoh atau suatu kasus adalah ibarat request song yang sering terjadi stasiun radio. Semakin sering suatu lagu direquest, semakin populerlah lagu tersebut, demikian juga pemberitaan tentang suatu kasus atau tokoh. Maka kita mengenal istilah kasus terpopuler atau tokoh terpopuler hari ini atau minggu ini, di dunia maya disebut trending topic.
Kegusaran kita adalah teralihkannya masalah-masalah lain, karena kasus yang tengah terpopuer menyita ruang berita kita. Saat ini “nyanyian” dari Nazaruddin apakah termasuk kebenaran, fakta, ilusi, kebohongan atau pembelaan diri. Pertanyaan ini tidak dapat diverifikasi secara langsung karena yang bersangkutan tidak atau belum diketahui keberadaannya. Komunikasi yang terjadi adalah satu arah, tidak ada proses check and rechek serta cover both stories. Tokoh atau pejabat yang dituding telah lelah menggunakan hak jawab dan bantahan. Pers kemudian menjadi medium bahkan senjata untuk memutarbalikkan fakta sebenarnya.
Ini bukan hal yang baru. Apa yang kita rasakan sebenarnya sudah dirasakan pula oleh beberapa pakar komunikasi. McLuhann, seorang filsuf komunikasi, menyengat dengan adagiumnya, “medium adalah pesan itu sendiri!”
Nazaruddin misalnya, awalnya hanya menggunakan media Blackberry Mesengger (BBM) yang berisi hanya tulisan. Tuduhan Nazaruddin ini efektif, terbukti Presiden SBY menanggapi tuduhan tersebut dengan kegeraman yang luar biasa dengan menyebut penyebar SMS tersebut sebagai pengecut, yang hanya berani melempar dari kegelapan.
Tahap komunikasi selanjutnya adalah melalui via telepon secara langsung (audio). Nazaruddin bahkan mengadakan acara “live by telephone” di MetroTV dan TVOne yang disiarkan secara langsung kepada pemirsa. Publik langsung disuguhi sebuah informasi yang “dahsyat” tentang kebobrokan perilaku para penguasa dan petinggi partai yang berkuasa. Dan mau tidak mau sebagian besar publik menerima bahwa apa yang disampaikan Nazaruddin merupakan suatu kebenaran. Maka kemudian terbentuklah opini publik.
Tahap selanjutnya komunikasi yang dijalankan oleh Nazaruddin adalah menggunakan teknologi via Skype, sehingga bisa disaksikan secara audio (suara) dan video (gambar). Nazaruddin lagi-lagi mengeluarkan “nyanyian” sumbang tentang keterlibatan orang-orang KPK. Bahkan ia mengaku mempunyai rekaman CCTV orang yang bersangkutan ketika datang ke rumahnya. Akibat dari pemberitaan ini, akhirnya kita tahu bahwa KPK kemudian membentuk Komite Etik untuk memeriksa anggotanya.
Potret Komunikasi
Dari tahapan ini kita telah mengetahui bahwa media massa telah menjadi alat komunikasi massa efektif bagi seorang Nazaruddin untuk menuduh orang lain, membela diri sendiri sekaligus untuk mengindentifikasi diri sebagai pihak yang berjasa membongkar semua tindak korupsi yang ada.
Komunikasi sekarang bukan lagi berkutat pada kebenaran, melainkan praktik-praktik persuasi demi kuasa ekonomi dan politik. Kita tahu bahwa TVOne misalnya adalah milik Abu Rizal Bakrie, Ketua Umum Parai Golkar. MetroTV milik Surya Paloh, pendiri Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Kedua stasiun televisi ini begitu getol memberitakan hal-hal yang buruk tentang lawan-lawan politiknya. Agak sedikit bias jika suatu media telah terkooptasi oleh kepentingan pemiliknya yang terafiliasi oleh partai politik tertentu. Sehingga nyaris tidak pernah misalnya, TVOne menyorot penderitaan masyarakat akibat Lumpur Lapindo, di Sidoarjo. MetroTV misalnya, hanya memberitakan hal-hal yang baik saja tentang Partai Nasdem.
Potret komunikasi yang memburuk ini mengundang pertanyaan, “Apakah etika komunikasi dimungkinkan dalam sistem komunikasi yang terkooptasi oleh kepentingan tertentu dengan menihilkan segala timbang nilai?”
Buku “Etika Komunikasi” yang disusun Haryatmoko, filsuf asal Yogyakarta, bertolak dari pertanyaan di atas. Haryatmoko terlebih dahulu membongkar bentuk-bentuk dominasi dalam komunikasi media. Bentuk-bentuk dominasi tersebut ditopang oleh logika industri yang mewujud dalam kekerasan simbolik, kekerasan yang menyiratkan persetujuan sang korban.
Sang korban, bagaimana pun juga kerap mendapat keuntungan publisitas sehingga menaikkan popularitas. Kita ingat bagaimana Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebelum menjadi presiden adalah “korban aniaya” dari Presiden Megawati Soekarnoputri. Pemberitaan yang berulang-ulang tentang SBY sebagai korban yang teraniaya secara politik, justru menaikkan popularitasnya yang kelak mengantarkannya menjadi presiden.
Demikian juga pemberitaan tentang Nazaruddin yang dilakukan secara berulang-ulang telah menaikkan “derajat” seorang Nazaruddin dari seorang penjahat yang buron menjadi seorang “whistle blower” atau orang yang membongkar sejumlah kasus korupsi. Publik yang pada awalnya memandang hitam-putih, akhirnya telah berubah menjadi abu-abu. Bahkan sebagian ada yang mendukung pernyataan Nazaruddin sebagai kebenaran.
Berita sebagai Komoditas
Berita sebagai komoditas dipasok tanpa henti karena naluri konsumsi yang ada dalam diri konsumen. Ilustrasi berikut bisa menerangkan pikiran itu. Konsumen kita adalah konsumen yang daya memorinya singkat sehingga media tak henti-hentinya mengulang dan memasok berita yang sama, berita yang kira-kira disukai konsumen.
Logika komunikasi adalah logika waktu pendek. Dalam musim teknologi informasi seperti saat ini, kecepatan sajian informasi menjadi sangat penting. Karena itu, prinsip pengorganisasian kerja semata mengutamakan tepat waktu, ringkas, luwes, sensasi, kenaikan rating pemirsa dan pemasukan iklan.
Momentum adalah segala-galanya, eksklusivitas atau monopoli berita menjadi hal yang didamba sehingga diharapkan tidak ada media lain yang mendapatkan berita yang sama. Media tidak diberi waktu untuk berpikir nilai dari suatu peristiwa. Logikanya mudah saja, ketika semua media meliput, maka itu pasti berita bagus. Maka, berlomba-lombalah jurnalis cetak maupun elektronik mengepung satu peristiwa saat diketahui teman-temannya juga meliput hal yang sama.
Dalam menyerap berita, masyarakat kita sepertinya mudah terpengaruh. Seperti mudahnya kita terayu oleh iklan televisi bukan karena pesan, “Ayo membeli rokok ini!”. Bukan rokoknya yang terbayang dalam benak atau bagaimana nikmatnya sebatang rokok. Tetapi teknik penggambaran yang mentransformasikan imajinasi kosumen. Iklan rokok, misalnya, tidak pernah memunculkan figur orang yang sedang merokok. Apa yang ditampilkannya adalah kombinasi tanda-tanda maskulinitas seperti gurun, jip, kuda berlari, dagu tak bercukur, kehidupan alam bebas, petualangan, dan persahabatan.
Demikian juga penikmat berita di televisi. Para pemirsa kemudian seakan-akan telah merasa peduli dan melek terhadap perkembangan sosial, ekonomi dan politik terkini dengan hanya menyaksikan berita di televisi, walaupun terkadang substansi yang diketahui ternyata kabur dan dangkal.
Media massa kita memang terus-menerus membombardir pemirsa dengan aneka sajian berita. Mulai dari gosip selebriti, kriminialitas, pornokasi, skandal, kasus korupsi, berita sosial, ekonomi dan politik terkini. Terkadang dalam penyampaiannya mengabaikan etika dalam berkomunikasi. Masyarakat bukan tercerahkan ketika menonton televisi, tapi justru menimbulkan kegeraman dan kemarahan yang tak kunjung tersalurkan. Dan situasi ini suatu saat akan meledak menjadi gerakan sosial yang destruktif di kemudian hari.
Memaksakan sebuah etika yang baku dalam sebuah regulasi memang bukan kata kesukaan para pelaku media. Mereka berpendapat bahwa semua upaya regulasi adalah pembunuhan perlahan terhadap kebebasan memperoleh dan menyiarkan informasi. Dilema itu menantang etika komunikasi untuk menemukan artikulasi yang tepat guna menyelesaikannya.
Dimensi sarana (regulasi) bertalian erat dengan dimensi tujuan.Tujuan etika komunikasi adalah mewujudkan hidup demokratis yang terbuka dan etis. Konsekuensinya, situasi komunikasi publik mesti mengambil bentuk, seperti apa yang dikatakan Habermas sebagai situasi ujaran ideal, sebuah situasi komunikasi yang minim dominasi. Ketika suatu media telah terkooptasi dan didominasi oleh kepentingan politik tertentu, maka kita patut mewaspadainya. ***