Ada Kolusi di Balik Parsel

Ada Kolusi di Balik Parsel
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat di Haria Analisa Medan, 26 Agustus 2011

Setiap menjelang Idul Fitri, selalu muncul kontroversi seputar pemberian dan penerimaan parsel Lebaran bagi para pejabat negara. Sejak pertama kali dilarang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2004, bagi yang pro, larangan tersebut memiliki nilai positif dalam upaya mencegah terjadinya praktik kolusi yang mengarah kepada korupsi.
Tapi bagi yang kontra, larangan tersebut justru dianggap tidak efektif dalam mencegah tindakan korupsi dengan alasan harga parsel tidaklah mahal. Larangan menerima parsel bagi pejabat negara juga dianggap akan mematikan usaha kecil menengah yang membuat parsel. Masalah parsel terlalu kecil dikaitkan dengan tindakan korupsi. Bahkan mereka berdalih, korupsi tak hanya dilakukan saat Lebaran.
Apapun alasannya, pemberian parsel kepada pejabat negara yang notabene orang kaya, berkuasa dan berpunya sebenarnya tak ubahnya sebuah kamuflase untuk tujuan dan maksud tertentu. Pemberian parsel kepada pejabat negara saat ini begitu membudaya di kalangan pengusaha atau pihak yang berkepentingan, baik untuk menggolkan tender proyek atau untuk mencari perhatian atasan agar dipromosikan di “tempat basah”. Tak mengherankan jika kemudian pemberian parsel ditafsirkan identik dengan sebuah sogokan atau pelicin untuk melakukan kolusi.
Dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi, gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, meliputi pemberian uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan lain-lain (Pasal 12 A). Ancaman pidana dalam ketentuan tersebut ditujukan kepada pemberi maupun kepada penerima.
Pasal 12 B dalam UU tersebut, tidak memberikan batas minimal terhadap barang atau uang yang boleh diterima oleh seorang pejabat negara. KPK kemudian memberikan aturan bahwa pejabat negara yang menerima parsel diharuskan untuk melaporkan gratifikasinya selambat-lambatnya 30 hari setelah parsel diterima.
Hadiah untuk si Kaya
Memberi sumbangan, sedekah atau hadiah lazimnya dari orang kaya ke yang lebih miskin atau dari atasan ke bawahan, bukan sebaliknya. Sehingga tidaklah heran jika kemudian pemberian parsel kepada para pejabat negara pasti mempunyai tendensi tertentu, bukan sebuah keikhlasan untuk membantu.  
Padahal setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, anggota dewan, kepala daerah dan direksi BUMN sebenarnya sudah cukup sangat kaya untuk “menerima” sedekah yang bernama parsel. Sebelum menjabat, mereka telah bersumpah dan berjanji, “demi kehormatan diri di hadapan Tuhan Yang Maha Esa bersedia untuk tidak menerima sesuatu apapun yang bukan merupakan hak dan kewajiban dari jabatan yang dipangku”.
Memberikan parsel atau hadiah mestinya merupakan budaya yang baik. Namun hal yang baik itu, dalam banyak kasus tidak selalu berdampak baik. Selalu ada celah untuk melakukan penyelewengan dan penyalahgunaan. Dalam perkembangannya, pemberian parsel memang mengarah pada praktek yang kurang baik (negatif). Selama ini sejumlah instansi, perusahaan,  pengusaha atau pejabat selalu mengeluarkan  anggaran untuk biaya parsel kepada para pejabat yang lebih tinggi. Pengiriman parsel pun berubah menjadi sebuah keniscayaan. Mereka yang tidak mengirimkan parsel seperti akan mendapat sanksi sosial atau bahkan sanksi struktural.
Sejak sekian tahun lalu, gejala ini sudah terasa. Budaya parsel yang semula berjalan alamiah berubah menjadi sesuatu yang terstruktur bahkan menjadi semacam kolusi sebagai pembuka pintu korupsi. Mereka yang ingin dinilai baik dipaksa keadaan untuk ikut-ikutan mengirimkan parsel, baik kepada atasannya maupun instansi lain, seperti DPR, yang menjadi partner kerjanya.
Keharusan  itu tentu membawa konsekuensi cukup besar. Ketika masa Lebaran tiba, para pejabat, khususnya yang posisinya terancam harus rela menyediakan parsel. Bisa dipastikan, untuk keperluan itu, dana yang harus dialokasikan pun tidak sedikit. Dan rasanya sangat sulit dipercaya kalau dana yang digunakan untuk membeli parsel itu merupakan hasil usaha pribadi atau tabungan yang disisihkan dari gaji bulanan yang diterima.
Dugaan terbesar tetaplah mengarah kepada praktik-praktik kolusi dan korupsi yang sudah puluhan tahun menjadi budaya akut di negeri ini. Maka kekhawatiran KPK bahwa budaya parsel mengarah kepada gratifikasi yang bertendensi kepada praktik korupsi menemukan konteksnya. Paling tidak, kekhawatiran KPK itu bisa diterima nalar sehat kita.
Ada Udang di Balik Batu
Fenomena parsel, hadiah, bingkisan, atau apa pun namanya jika ditelusuri memang menunjukkan satu ciri khas. Bahwa di balik setiap pemberian parsel sekecil apa pun pasti terkandung motif-motif tertentu di dalamnya. Sangat jarang, misalnya, seseorang mengirim parsel tanpa motif  apa pun. Bisa saja motifnya sederhana, yaitu agar persahabatan bisa langgeng, agar relasi bisnis tidak putus di tengah jalan, atau alasan-alasan lainnya.
Sangat jarang terjadi, pengiriman parsel tidak dilandasi dengan tendensi tertentu di antara para pihak yang terlibat. Baik si pengirim parsel maupun si penerima parsel biasanya sudah memiliki hubungan tertentu sebagai pihak yang menerima maupun memberi sebuah aktivitas/kegiatan/proyek tertentu. Oleh sebab itu, parsel merupakan refleksi dari hubungan yang baik di antara pihak-pihak yang terlibat dan dengan parsel hubungan itu dapat kian ditingkatkan.
Kalau kemudian, ranah parsel ini berkembang menyeruak di kalangan para pejabat negara, adalah fenomena yang mendukung premis di atas, bahwa pasti ada udang di balik batu di balik pemberian parsel. Tanpa ada hubungan dan motivasi semacam itu, rasa-rasanya parsel tidak akan muncul ke permukaan sebagai suatu masalah. Oleh sebab itu, tidak terlalu mengherankan bahwa masalah parsel ini kembali diingatkan oleh KPK untuk mengantisipasi maraknya budaya suap atau sogok.
Terlebih belakangan ini, bingkisan parsel sudah berubah wujud. Parsel tak hanya berisi paket makanan dan minuman ringan, tetapi sudah berubah bentuk, mulai dari barang elektronik,  lampu kristal, telepon seluler, perhiasan, pakaian, dan barang mahal lainnya yang nilainya bisa mencapai Rp 10 juta-Rp 20 juta.
Maklum, seperti diungkapkan di atas, setiap pemberian parsel pasti dilandasi motif-motif (bisa positif maupun negatif) tertentu. Pemberian parsel yang dilakukan dengan motif agar si penerima parsel akan merasa utang budi dan kemudian memberi semacam proyek setidaknya dapat dikategorikan sebagai bentuk suap.
Inilah sulitnya membedakan fenomena parsel sebagai bentuk pemberian yang tulus ikhlas dibandingkan dengan zakat, infaq, sedekah, derma, hibah, atau pemberian karitas lainnya. Bisakah parsel disamakan dengan zakat, sedekah dan sejenisnya? Rasa-rasanya sulit karena parsel selama ini senantiasa berkorelasi dengan pemberian dari bawahan ke atasan, atau dari si pencari proyek ke pemberi proyek, dari pejabat BUMN ke pejabat departemen yang membawahi, atau dari pihak yang membutuhkan ke pihak yang bakal mencukupi kebutuhan.
Sangat jarang kita jumpai parsel dikirim dari menteri tertentu ke bawahannya setingkat dirjen atau pejabat BUMN, atau dari atasan ke bawahan, atau dari pemilik/pemberi proyek ke penerima proyek. Atau parsel dikirim dari orang-orang kaya ke orang-orang miskin di sekitarnya. Fenomena semacam itu sangat langka terjadi.
Oleh sebab itu, jangan disalahkan kalau ada yang memahami parsel sangat dekat dengan fenomena suap dan sogok untuk melakukan sebuah kolusi dalam bentuk yang sangat halus. Ia berkorelasi dengan pemberian dengan motif untuk menerima sesuatu kelak di kemudian hari. Ada udang di balik batu, ada pamrih di balik setiap pengiriman parsel. ***


* Penulis adalah pemerhati masalah sosial-kemasyarakatan, guru dan mahasiswa
               FIP-PSKGJ Unimed