Kementerian Menjadi “Mesin ATM” Parpol?
Oleh : Fadil Abidin
Ada dua kementerian yang akhir-akhir ini menjadi sorotan karena kasus korupsi, yakni Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans). Sebagai kepala pemerintahan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berencana akan mengadakan evaluasi guna mencegah hal yang sama terulang di kementerian lain.
Namun banyak kalangan menganggap evaluasi ini dinilai tidak akan berujung pada tindakan nyata, apalagi sampai ada reshuflle kabinet. Jangan berharap evaluasi ini akan sesuai dengan keinginan publik yang menginginkan ada 'bersih-bersih' di kementerian dan lembaga negara.
Sulit berharap ada perubahan yang fundamental di era SBY. Filosofi pemerintahan SBY selalu berusaha menjaga keseimbangan membagi-bagi “kue kekuasaan” antara partai politik (parpol) dalam koalisi. Sehingga akan sulit bagi SBY untuk mencopot menteri yang berasal dari parpol, karena takut nanti malah berbalik melawan dia. SBY mungkin berpikir tidak ada gunanya mencari-cari lawan di akhir masa jabatannya. SBY sepertinya tersandera oleh komposisi parpol dalam koalisi, di mana masing-masing parpol menempatkan kadernya sebagai menteri.
Mengapa parpol begitu ngotot mempertahankan kadernya sebagai menteri di kabinet? Menteri selain sebagai jabatan politik untuk menaikkan citra parpol di mata publik, ternyata juga bisa menjadi jabatan yang banyak menghasilkan atau menghimpun dana untuk kepentingan parpol. Soal kementerian menjadi "mesin ATM" atau mesin penghasil uang bagi parpol bukanlah hal yang baru. Praktik ini sudah ada sejak Orde Baru yang hingga saat ini belum bisa dirubah.
Peneliti LSI (Lingkar Survei Indonesia), Burhanuddin Muhtadi pernah menyatakan, diperkirakan terdapat sembilan kementerian di Indonesia yang seharusnya diisi oleh kaum profesional tapi malah dijabat oleh kader parpol sehingga patut diduga akan menjadi mesin ATM atau sapi perah pengumpul dana bagi parpol yang bersangkutan. Sembilan kementerian tersebut antara lain, Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), Kementerian Pendayaan Aparatur Negara (Kemenpan), Kementerian Agama (Kemenag), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian BUMN, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), Kementerian Bappenas dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
“Kementerian tersebut menjadi lahan basah pendapatan bagi parpol,” ujar Burhanuddin. Tarik ulur negosiasi politik adalah bagian dari usaha untuk mendapatkan kedudukan di kementerian basah tersebut. Burhanudin melanjutkan, kementerian tersebut dijadikan sapi perah parpol karena terdapat masalah mendasar dalam UU Partai Politik No. 2 tahun 2011. UU tersebut tidak mengakomodasi transparansi keuangan parpol. Sehingga parpol bisa sesuka mereka mengambil dana dari sumber dana yang tidak jelas (Suara Pembaharuan, 18/3/2011).
Korupsi di Kementerian
Kementerian yang mempunyai porsi anggaran terbesar di APBN juga patut diduga akan menjadi mesin ATM parpol. Tiga teratas kementerian yang memperoleh porsi anggaran terbesar dalam APBN yaitu Kemendiknas, Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Pertahanan. Selain itu Kementerian BUMN selalu menjadi isu sentral karena kerap menjadi sapi perahan parpol sejak dulu kala. Nilai aset seluruh diperkirakan BUMN mencapai Rp 2.500 triliun, sedangkan keuntungannya sekitar Rp 97 triliun per tahun.
Presiden SBY seharusnya sejak awal tidak menempatkan menteri dari parpol pada pos-pos kementerian pada bidang ekonomi dan kementerian strategis yang mempunyai porsi anggaran terbesar dalam APBN. Pos-pos itu harus dipegang orang profesional murni agar tidak menjadi 'sapi perahan' untuk kepentingan parpol tertentu.
Jika pos-pos kementerian ekonomi dan kementerian yang punya alokasi budget besar APBN seperti Kemendiknas dan Kementerian Pekerjaan Umum diberikan ke parpol, maka bisa rentan jadi ATM bagi parpol. Tapi jangan salah, karena kenyataannya di lapangan saat ini, kementerian di “bidang-bidang kering” misalnya Kemenpora dan Kemenakertrans juga tidak luput dari aroma korupsi yang dananya mengalir ke sejumlah petinggi parpol.
Modus operandi para menteri untuk menghimpun dana misalnya lewat “staf-staf khusus” atau “sekretaris pribadi” yang lebih berfungsi sebagai perpanjangan tangan, calo atau makelar proyek-proyek APBN di wilayah kementeriannya. Mereka biasanya membuat PT (Perseroan Terbatas) atau berkolaborasi dengan PT yang sudah ada untuk mengikuti tender proyek. Tender proyek APBN selama ini diduga hanya bersifat formalitas belaka karena pihak pemenangnya sudah ditentukan lebih dahulu, yaitu perusahaan yang menjadi titipan sang menteri.
Saat ini parpol masih menjadikan anggaran kementerian sebagai sumber dana operasional partai. Melalui pengaturan tender yang tidak transparan, sehingga dapat diatur sedemikian rupa agar memenangkan perusahaan 'titipan' sang menteri atau oknum Banggar (Badan Anggaran) DPR. Seperti diberitakan, berbagai kasus korupsi yang mengemuka saat ini memiliki kecenderungan yang sama yaitu adanya aliran dana ke menteri dan Banggar DPR.
Baik dalam kasus wisma atlet SEA Games Kemenpora maupun proyek transmigrasi Kemenakertrans. Untuk mendapatkan proyek, para tersangka mengaku memberikan suap tidak hanya kepada pejabat kementerian, tapi juga anggota Banggar DPR. Padahal jika ditelaah lebih jauh, ini bukanlah uang suap tapi merupakan “fee”, karena yang menyuap patut diduga adalah “staf khusus” dari menteri yang bersangkutan. Kosa kata “suap” atau “percobaan suap” sengaja dilemparkan ke publik untuk menutupi praktik korupsi pejabat menteri sehingga terkesan menjadi pihak yang pasif. Sementara yang aktif adalah para penyuap sendiri, yang tak lain adalah orang-orang terdekat dari pejabat yang bersangkutan.
Penghasil Uang
Mengapa kementerian sering dijadikan mesin ATM atau penghasil uang bagi parpol? Penyebabnya antara lain kondisi ekonomi ketua umum partai politik sangat mempengaruhi peluang terjadinya praktik korupsi dan kolusi dengan Banggar DPR. Menurut anggota Komisi III DPR, Bambang Soesatyo, jika kondisi ekonomi sang menteri 'pas-pasan' semakin membuka peluang penyelewengan jabatan dalam rangka mencari dana partai politik. Sang menteri akan memerintahkan kader-kadernya untuk bergerilya mencari dana dari proyek APBN.
"Partai di Indonesia saat ini masih sangat tergantung pada kekuatan ekonomi ketua umumnya. Jadi, kalau kondisi ekonomi ketua umum partainya pas-pasan, ya yang repot anggotanya. Terutama yang duduk di eksekutif maupun di legislatif di setiap tingkatan. Karena mengelola partai tidak mudah dan murah," ujar Bambang (INILAH.COM, 4/9/2011).
Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta kepada DPR untuk melakukan revisi terhadap UU No. 10/2008 tentang Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Salah satu poin yang harus direvisi yaitu mengenai keberadaan Badan Anggaran (Banggar) DPR yang memiliki kewenangan untuk menyetujui anggaran dalam pemerintah. Jadi posisi Banggar itu tidak lagi permanen," ujar peneliti Divisi Korupsi Politik ICW, Abdullah Dahlan (4/9/2011).
Menurutnya, langkah ini dilakukan karena dalam kenyataannya Banggar DPR selama ini sudah menjadi tempat praktik mafia anggaran. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya kasus korupsi tentang proyek di kementerian yang melibatkan Banggar DPR. Ke depannya kewenangan anggaran itu dilimpahkan kepada masing-masing komisi yang membidangi di DPR. Sehingga dengan begitu bisa memangkas birokrasi yang nantinya akan meminimalisasi terjadinya praktik percaloan di DPR.
Banggar DPR juga sebaiknya tidak dipermanenkan, jadi Banggar dijadikan sebagai lembaga Adhoc saja supaya fungsi pengawasan anggaran dalam pembahasan komisi. Jika Banggar menjadi lembaga adhoc, maka tugasnya hanya untuk melakukan pengawasan dan berkoordinasi dengan DPR mengenai anggaran yang disampaikan oleh masing-masing komisi.
Banyak kalangan berharap, Presiden SBY melakukan reshuffle terbatas. Presiden harus memperhatikan hal ini. Jika tidak, kesan kementerian tersebut menjadi sapi perah atau mesin ATM bagi parpol semakin nyata. Carilah menteri, yaitu mereka yang sudah selesai dengan persoalan pribadinya sehingga niat menjadi menteri adalah mengabdi kepada bangsa, bukan untuk mencari uang, popularitas, atau kedudukan. Untuk itu, para menteri dari partai yang nanti ditunjuk Presiden SBY diharapkan bisa mengubah kebiasaan buruk tersebut.
Menteri dari parpol memang tidak bisa ditiadakan karena presiden harus menghadapi realitas politik. Kalau SBY tidak merekrut orang-orang partai, dukungan terhadap kabinet di parlemen akan berkurang. Oleh sebab itu harus ada keseimbangan antara orang parpol dan profesional, karena tidak bisa juga kalau orang-orang parpol diabaikan. Hanya saja yang kita inginkan dari parpol dalam menempatkan kader-kadernya di kabinet adalah mereka harus orang-orang yang memiliki kapasitas dan integritas yang baik.
Partai politik diharapkan untuk mendukung dan mengontrol secara penuh kader mereka yang ada di kabinet. Rendahnya kinerja menteri dari parpol tidak hanya akan membuat buruknya performa pemerintah, tetapi juga menurunkan kredibilitas partai itu sendiri. Partai jangan justru menjadikan kader mereka yang menjadi menteri sebagai ATM demi keuangan partai.
Jika hal ini tidak ada perubahan bahkan dikhawatirkan akan diwariskan ke pemerintahan selanjutnya, Indonesia akan jadi bangsa lumpuh yang makin tertinggal bangsa lain. Pejabat masih tetap berpesta pora melakukan aneka kolusi dan korupsi. Sementara rakyat tetap tak terdidik dan miskin. Reformasi dan proses demokratisasi yang selama ini dibanggakan tidak akan berguna karena tidak berjalan seiring dengan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Kegagalan peningkatan kesejahteraan rakyat juga akan mengakibatkan makin merajalelanya budaya materialisme, pragmatisme, hancurnya ikatan sosial, dan meningkatnya aksi kekerasan. Radikalisme dan fanatisme atas nama agama, suku dan kedaerahan juga akan menguat. Semoga hal tersebut tidak terjadi. ***