Kreativitas Kaum Marjinal
Oleh : Fadil Abidin
Masih ingat jingle (musik tema) iklan produk roti yang melatar belakangi suara Nazaruddin di persembunyiannya ketika melakukan wawancara melalui telepon dengan sebuah stasiun televisi?
Jingle tersebut kini sering terdengar di sekitar lingkungan kami. Penjual biasanya anak muda yang berkeliling mengendarai gerobak sepeda roda tiga dari gang ke gang menawarkan roti dengan tetap membunyikan jingle tersebut. Anak-anak pun sangat hapal dengan bunyinya. Sebelumnya ada juga jingle yang sangat dihapal anak-anak yaitu jingle produk es krim yang sudah sangat terkenal.
Jauh sebelum para pengusaha besar itu membuat jingle untuk promosi barang dagangannya, ternyata para pedagang keliling telah membuat “jingle”-nya sendiri-sendiri sebagai ciri khas untuk menarik minat calon pembeli.
Pedagang keliling ini biasanya hanya menjajakan satu dagangan saja, baik makanan ataupun minuman. Yang dijual antara lain es, es krim, es lilin, bakso, mi, mi ayam, pangsit, sate, bubur, bandrek hingga sosis goreng. Mereka berkeliling dari gang ke gang yang padat penduduk, ada yang menggunakan sepeda, sepeda roda tiga, sepeda motor, gerobak dorong, hingga becak bermotor yang telah dimodifikasi. Mereka masing-masing punya ciri khas tersendiri untuk memanggil para calon pembeli.
Saya rasa sudah dua puluh tahun lebih penjual es krim keliling di sekitar lingkungan kami tidak merubah jinglenya yaitu dengan menggunakan lonceng kecil yang biasanya digantungkan di leher kerbau sewaktu membajak di sawah, bunyinya, “kleting…kleting!” Penjualnya mengenakan caping (topi kerucut yang biasanya digunakan para petani di sawah). Mereka menggunakan sepeda onthel dengan tabung es krim dibawa di bagian belakang, sementara roti dan cone es krimnya ditaruh di depan. Kebanyakan penjualnya adalah perantauan dari Pulau Jawa, sehingga barangkali “jiwa” agrarisnya masih terbawa dengan lonceng kerbau dan topi capingnya.
Setelah itu ada pula penjual es lilin keliling dengan menggunakan gerobak dorong beroda dua, lagi-lagi penjualnya dari Jawa. Untuk menarik minat calon pembeli, mereka menggunakan gong kecil yang berbunyi “tung…tung!” Sehingga es lilin ini kemudian disebut anak-anak dengan es tung-tung.
Penjual bakso, mi rebus, mi ayam atau pangsit biasanya menggunakan bunyi-bunyian yang seragam, yaitu dengan suara mangkuk yang dibenturkan dengan sendok sehingga menimbulkan bunyi, “ting…ting!” Sementara para penjual sate memukul setang gerobaknya dengan kayu kecil sehingga terdengar, “trek…tek..tek!”
Kemudian muncul penjual bandrek (minuman yang terbuat dari jahe dicampur dengan aneka rempah-rempah lainnya dan dicampur susu). Mereka biasanya terdiri dari dua orang anak muda. Mereka menggunakan betor yang telah dimodifikasi sehingga lajunya sangat kencang. Di depan gang mereka sudah membunyikan ciri khas suaranya dengan memukul sebatang bambu besar sehingga terdengar, “tok…tok!”
Ketika pagi, muncullah penjual roti dengan gerobak sepeda roda tiganya. Mereka memecahkan keheningan pagi dengan terompet kecil yang dibunyikan dengan cara meremas pada bagian belakangnya, “toet…toet!” Sehingga kemudian roti tersebut dikenal anak-anak dengan roti toet-toet.
Kemudian ada juga penjual keliling yang mengikuti perkembangan zaman. Mereka tidak lagi menggunakan jingle “alam” yang dibunyikan secara manual. Barangkali mereka terinspirasi oleh jingle produk es krim dan roti bermerek nasional seperti yang tersebut di atas. Maka muncullah penjual es krim yang menggunakan jingle yang berasal dari suara elektronik menggunakan tenaga baterai. Jinglenya juga unik, diawali dari penggalan irama musik waltz kemudian disusul dengan suara,”es krim…es krim…seribu rupiah!”
Setelah itu muncul lagi “pendatang baru” yaitu penjual serabi, apem dan getuk (makanan dari ubi kayu yang direbus, ditumbuk dengan gula merah lalu dicetak dan dicampur parutan kelapa). Penjualnya juga dari Jawa, mereka menggunakan sepeda dan untuk menarik minat pembeli mereka menggunakan jingle rekaman suara elektronik, “serabi…apem…getuk!” dengan intonasi suara yang sangat khas.
Kreativitas mereka dalam menjajakan barang dagangannya patut kita acungi jempol. Tak jarang suara-suara itu seakan menjadi sebuah panggilan dan penanda. Jika terdengar suatu bunyi, tanpa perlu keluar rumah untuk melihatnya, maka kita sudah tahu pedagang atau penjual apa yang sedang lewat di depan rumah. Dan seketika itu pula kita bisa langsung memutuskan untuk membeli atau tidak.
Setelah saya perhatikan dengan menanyakan secara langsung kepada mereka, kebanyakan para penjual keliling itu adalah perantauan. Ada yang dari Jawa Tengah, Jawa Timur dan Madura. Ada pula yang dari Aceh dan Padang. Medan ternyata telah menjadi kota besar yang menarik magnet kaum pendatang untuk mencari rezeki. Bahkan di antara mereka ada yang berpendapat bahwa mencari “makan” di Medan lebih mudah ketimbang di Jakarta.
Maka tidaklah heran jika Medan kemudian dipenuhi oleh serbuan aneka kuliner, masakan, makanan atau minuman dari luar. Lihatlah ada ayam bakar, ayam penyet, pecel lele, masakan seafood khas Lamongan, mi aceh, sate padang atau madura, dawet (cendol) dan sebagainya. Dan ini ternyata sudah menjadi ciri khas suatu kota besar, dan konon ada pameo jangan mengaku menjadi kota metropolitan jika tidak ada aneka jenis kuliner.
Kembali kepada para penjual keliling yang berasal dari perantauan. Kita harus memandang positif, bahwa mereka tidak menjadi sumber masalah ketika merantau ke kota Medan, bahka bisa menciptakan lapangan kerja bagi penduduk sekitar. Tak sedikit dari mereka yang sukses lalu mengembangkan usahanya dan merekrut penduduk sekitar untuk menjadi karyawan atau penjual keliling. Bukankah ini lebih baik ketimbang menganggur?
Jadi jangan remehkan kreativitas kaum marjinal ini. Walaupun sering dipandang sebelah mata sebagai orang pinggiran, tapi mereka sesungguhnya wirausaha yang tangguh, pengusaha dan entrepreneur sejati. Dari merekalah kemudian kita akan mengenal calon-calon pengusaha yang sukses.
Dan berkat mereka pula, jalan-jalan di lingkungan kami tak pernah sepi dari aneka bunyi-bunyian, “kleting…kleting, tung…tung, ting…ting, trek…tek..tek, tok…tok, toet…toet, es krim…es krim…seribu rupiah, serabi…apem…getuk!” ***