Krisis Air Mengancam Indonesia

Krisis Air Mengancam Indonesia
Oleh : Fadil Abidin

Jangan pernah memandang remeh air. Kelebihan membuat banjir, kekurangan pun membuat hidup sengsara. Musim kemarau berkepanjangan dan kekeringan mengancam sejumlah daerah di Indonesia. Sungai, sawah, saluran irigasi, tanggul, dan sumber-sumber air kering, rakyat terpaksa memakai air kotor bekas kubangan kerbau.

Akhir-akhir ini di televisi kita disuguhi berita tentang kemarau panjang yang terjadi di sejumlah daerah di Indonesia. Beberapa kecamatan dan kabupaten di perbatasan provinisi Jawa Tengah dan Jawa Timur saat ini mengalami krisis air. Mata air dan belasan sungai yang menjadi kantong air telah mengering sejak sebulan terakhir, sudah lebih dari dua bulan di wilayah tersebut tidak pernah turun hujan. Sebagian warga di Kabupaten Bangkalan, Madura, malah harus membeli air ke daerah lain yang berjarak sekitar 15 km.
Di Bengkulu beberapa kecamatan juga mengalami kekeringan. Warga saat ini mengonsumsi air setengah asin, sehingga dikhawatirkan kesehatan masyarakat terganggu. Kekeringan juga melanda beberapa kecamatan di Riau, Lampung dan Sumatera Selatan. Kalimantan yang selama ini nyaris tidak pernah mengalami kekeringan, tahun ini menderita kemarau panjang yang cukup parah.   
Pemerintah melalui BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) akhirnya membuat hujan buatan untuk mengatasi kekeringan serta kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Wilayah yang mendapat hujan buatan adalah Palangkaraya di Kalimantan Tengah dan Banjarmasin di  Kalimantan Selatan, sedangkan di Sumatera meliputi Palembang dan Riau. Hujan buatan telah berhasil turun pada (11/9) kemarin. Total dana yang digelontorkan pemerintah untuk hujan buatan di empat daerah itu mencapai Rp 10,5 miliar.
Krisis air juga melanda ibukota negara Indonesia, Jakarta. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) memastikan Jakarta sedang mengalami krisis air. Jebolnya Pintu Air Buaran (31/8/2011) mengakibatkan pasokan air yang berasal dari Kalimalang menjadi terganggu. Hal ini menyebabkan pasokan air bersih untuk lima wilayah Jakarta dipastikan mengalami gangguan. Ada 60.000 pelanggan perusahaan air minum Aetra dan 95.000 pelanggan Palyja yang tidak mendapat pasokan air.
Jakarta mengalami krisis air bersih yang kronis. Selain karena jebolnya pintu air, hal ini juga karena topografi kota Jakarta yang sangat terbatas, sehingga Jakarta tak memiliki ketahanan air yang baik sebagai ibukota negara. Jakarta sangat tergantung Jawa Barat dan Banten, untuk ketersediaan air bersih.
Jakarta juga kekurangan sumber daya alam (SDA) yang sangat parah sekali, sehingga tidak memiliki cadangan air baku sendiri. Untuk desalinisasi atau pengolahan air laut menjadi air tawar sangat mahal. Sementara memanfaatkan 13 aliran sungai yang melintas kota Jakarta juga tidak memungkinkan karena kualitasnya sangat buruk. Padahal kebutuhan air bersih orang di Jakarta setiap hari diperkirakan 175 liter air per orang. Dan untuk 9 juta penduduk, diperlukan 1,5 juta meter kubik per hari. Perusahaan air minum baru bisa memenuhi kebutuhan 52 persen, itu pun kalau tidak ada masalah. Perusahaan air hanya mengejar dan menambah pelanggan tanpa memperhatikan kualitas.
Air Bersih
Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto mengakui, saat ini baru 50 persen penduduk Indonesia yang bisa mengakses air bersih. Di Indonesia, 119 juta rakyat belum memiliki akses terhadap air bersih. Baru 20 persen yang bisa mengakes air bersih, itu pun kebanyakan di daerah perkotaan, sedangkan 82 persen rakyat Indonesia mengkonsumsi air yang tak layak untuk kesehatan. Menurut badan dunia yang mengatur soal air, World Water Assessment Programme, krisis air memberi dampak yang mengenaskan, membangkitkan epidemi penyakit.
Enam puluh persen sungai di Indonesia tercemar, mulai bahan organik, bahan kimia, sampai bakteri coliform dan Fecal coli penyebab diare. Jakarta dialiri 13 sungai, sayangnya menurut Badan Pengendalian Lingkungan Hidup DKI Jakarta 13 sungai di Jakarta itu sudah tercemar bakteri Escherichia coli, bakteri dari sampah organik dan tinja manusia.
Sungai Ciliwung termasuk yang paling besar tercemar bakteri E. coli, kadar pencemaran mencapai 1,6 - 3 juta individu per 100 cc, padahal standar baku mutunya 2.000 individu per 100 cc. Dari situ ada 20-30 jenis penyakit yang bisa timbul akibat mikroorganisme di dalam air yang tidak bersih. Bakteri yang sama juga mencemari 70 persen tanah di Jakarta yang juga berpotensi mencemari sumber air tanah.
Penduduk miskin perkotaan yang paling rentan dan menderita. Mereka tak memiliki pilihan kecuali membeli air dari pedagang tidak resmi dengan harga 20-100 persen lebih tinggi daripada tetangga mereka yang kaya, karena mereka tidak bisa mengakses air bersih. Sebagai gambaran, warga miskin di Jakarta membeli air bersih Rp 1.000-Rp 1.500 per jeriken isi 20 liter. Itu berarti Rp 50.000-Rp 75.000 per meter kubik. Padahal, harga air PDAM hanya Rp 5.000-Rp 6.000 per meter kubik.
Sungguh ironi jika krisis air bersih melanda Indonesia. Padahal Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber-sumber air. Indonesia memiliki 6% persediaan air dunia atau sekitar 21% dari persediaan air di Asia Pasifik, namun pada kenyataannya dari tahun ke tahun Indonesia mengalami krisis air bersih.
Potensi ketersediaan air bersih dari tahun ke tahun cenderung berkurang akibat rusaknya daerah tangkapan air dan pencemaran lingkungan yang diperkirakan sebesar 15–35% per kapita per tahun. Padahal di lain pihak kecenderungan konsumsi air bersih justru naik secara drastis mengikuti laju pertumbuhan penduduk. 
Kualitas air berkaitan dengan kelayakan pemanfaat air untuk untuk berbagai kebutuhan. Kualitas air juga berhubungan dengan volume dan daya pulih air (self purification) untuk menerima beban pencemaran dalam jumlah tertentu. Dan kelayakan air, terutama untuk minum, di Indonesia telah mencapai ambang yang sangat memprihatinkan.
Krisis Air
Potensi sebagai negara yang kaya air, ternyata tidak mampu menghindarkan Indonesia dari krisis air bersih. Setiap kali musim kemarau tiba berbagai daerah mengalami kekeringan air. Bahkan ketika musim penghujan pun krisis air bersih tetap mengintai lantaran surplus air yang kerap mengakibatkan banjir sehingga sumber air tidak dapat termanfaatkan.
Krisis air bersih membuat sebagian besar penduduk Indonesia mengkonsumsi air yang seharusnya tidak layak minum. United States Agency for International Development (USAID) dalam laporannya (2007) menyebutkan, penelitian di berbagai kota di Indonesia menunjukkan hampir 100 persen sumber air minum kita tercemar oleh bakteri  E Coli dan Coliform.
Sebenarnya berapa banyak air yang bisa dikonsumsi oleh manusia di seluruh dunia? Meskipun 70,8% komposisi permukaan planet bumi diliputi air, namun tidak keseluruhan air tersebut dapat dikonsumsi manusia. Dari seluruh air yang terdapat di muka bumi, 97,5 persen di antaranya merupakan air asin yang terdapat di lautan, dan hanya 2,5 persen saja yang berupa air tawar.
Dari jumlah 2,5 persen air tawar tersebut ternyata paling banyak masih berupa glasier (gletser; bongkahan es) di kutub utara dan selatan bumi yakni sebesar 68,7 %. Kandungan air tawar terbesar kedua tersimpan di dalam tanah dalam bentuk air tanah (groundwater) sebesar 30,1 % dan sebanyak 0,8% tersimpan dalam bentuk tanah beku (permafrost). Hanya 0,4 % terdapat di permukaan tanah yang mengalir melalui sungai dan danau air tawar, serta di atmosfir bumi sebagai air hujan. Tapi 0,4 % air tawar inilah yang sering diperebutkan dan dikonsumsi oleh lebih 7 milyar penduduk bumi (www.unep.org).
Kecilnya komposisi air tawar yang bisa kita konsumsi ditambah lagi dengan daya renewable (memperbaharui) air yang sangat lama seharusnya membuat kita lebih bijak.  Kecepatan renewable air adalah sepuluh pangkat minus dua cm per detik. Dengan kecepatan itu dibutuhkan waktu hingga beberapa generasi bagi air untuk ber-renewable.
Setelah mengetahui fakta air tawar yang kita konsumsi sehari-hari sedemikian terbatasnya dan mesti berbagi dengan milyaran penduduk bumi, masihkah kita tidak hemat air? Masihkah kita membuang sampah ke sungai? Masihkah kita mencemari sumber-sumber air yang ada?
Untuk mengatasi krisis air bersih, upaya penyelamatan lingkungan termasuk di antaranya  penyelamatan sumber-sumber air, harus dilakukan secara terintegrasi dan berkelanjutan. Upaya penyelamatan lingkungan demi mengatasi krisis air bersih dapat dilakukan melalui berbagai cara.
Menggalakkan gerakan hemat air, menggalakkan gerakan menanam pohon seperti one man one tree (selama daur hidupnya pohon mampu menghasilkan 250 galon air). Konservasi lahan, pelestarian hutan dan daerah aliran sungai (DAS). Pembangunan tempat penampungan air hujan seperti situ, embung, dan waduk sehingga airnya bisa dimanfaatkan saat musim kemarau. Mencegah seminimal mungkin air hujan terbuang ke laut dengan membuat sumur resapan air atau lubang resapan biopori. Mengurangi pencemaran air baik oleh limbah rumah tangga, industri, pertanian maupun pertambangan. Mencegah sungai atau danau menjadi tempat pembuangan sampah dan limbah. Pengembangan teknologi desalinasi untuk mengolah air asin (laut) menjadi air tawar.
Semua hal di atas harus dilakukan secara terintegrasi, berkelanjutan dan sesegera mungkin kecuali kalau kita memang bangga dengan krisis air bersih di negara yang kaya air seperti Indonesia. ***