Perilaku Birokrasi dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Perilaku Birokrasi dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Oleh : Fadil Abidin

            Manusia modern menghabiskan hidupnya dalam organisasi. Organisasi ini kemudian dikendalikan oleh sejumlah orang. Organisasi inilah yang tanpa kita disadari disebut sebagai negara yang selama ini kita huni. Sementara orang yang mengendalikannya kita sebut sebagai pemerintah dengan aparat yang disebut sebagai birokrat termasuk dalam hal ini adalah para PNS (Pegawai Negeri Sipil). Dalam konteks kenegaraan, kehidupan pengorganisasian masyarakat dalam wilayah negara disebut birokrasi pemerintahan.

Kondisi birokrasi di Tanah Air selama ini dianggap masih banyak kekurangan. Birokrasi di negara ini dipandang sebagai sesuatu yang boros, tidak efektif, lambat, tidak kreatif, kurang responsif dan sensitif terhadap publik. Hal inilah penyebab terjadinya krisis kepercayaan terhadap pemeritah yang akut di Indonesia. Oleh sebab itu, pembangunan ke depan harus diletakkan dalam bingkai penguatan politik birokrasi yang terarah pada reformasi birokrasi. Birokrasi harus dibangun dalam konteks pembangunan, sebab birokrasi harus bisa menjadi instrumen pembangunan yang andal.
Persepsi masyarakat terhadap birokrasi sering kali kurang simpatik dan berkonotasi negatif. Apa pasal? Rasanya diakui atau tidak, perilaku birokrasi dewasa ini dipandang kurang berpihak pada masyarakat.
Birokrasi lalu mendapatkan tantangan berat dalam menampilkan model birokrasi yang ideal. Terjadinya politisasi birokrasi akan menyebabkan tidak netralnya birokrasi dalam pemerintahan (terutama menjelang pilkada atau pilpres). Ada beberapa faktor yang dapat diidentifikasi sebagai tantangan birokrasi saat ini. Pertama, rendahnya pengetahuan dan keterampilan aparat birokrasi. Kedua, birokrasi yang terlalu ‘gemuk’ sehingga membebani keuangan negara. Ketiga, perilaku dan gaya birokrasi yang jauh dari jati diri masyarakatnya.
Aparat birokrasi telah terkooptasi sikap dan perilakunya oleh kepentingan-kepentingan pribadi dan politik sang patron (pimpinan) yang cenderung vested interest. Profil aparat birokrasi telah dibentuk sedemikian rupa sehingga tidak lagi menjadi alat rakyat, tetapi telah menjadi alat penguasa dan bahkan mereka seringkali menampakkan dirinya sebagai penguasa itu sendiri. Mereka menjadi sangat arogan, ingin menang sendiri, merasa benar sendiri dan menafikan kepentingan rakyat (Kuntjorodjakti, 1980).
Lemahnya proses rekruitmen, seleksi serta pengembangan sumberdaya manusia (SDM) yang tidak terprogram dengan baik. Kita lihat banyak birokrasi publik yang diisi oleh tenaga-tenaga yang tidak profesional (the wrong man in the right place). Tidak diterapkannya merit sistem, tetapi atas dasar rasa like and dislike. Adanya tenaga profesional, tetapi seringkali karena berbeda ideologi politik dengan pimpinannya ditempatkan pada tempat atau posisi yang tidak semestinya (the right man in the wrong place). Dalam hal tertentu, tenaga profesional ini juga seringkali tidak dapat didayagunakan secara optimal karena alasan kepangkatan posisi dan sebagainya.
Evaluasi program kepegawaian sangat jarang dilakukan dan walaupun ada hasilnya, biasanya sangat diragukan obyektivitasnya, karena selain bernuansa ‘asal bapak senang’ juga dilakukan hanya untuk memenuhi formalitas belaka. Masih kaburnya kode etik bagi aparat birokrasi publik (code of conduct), sehingga tidak mampu menciptakan adanya budaya birokrasi yang sehat, seperti kerja keras, keinginan untuk berprestasi, kejujuran, rasa tanggung jawab, bersih dan bebas dari KKN, dan sebagainya.
Perilaku Birokrasi
Desentralisasi atau otonomi daerah sebenarnya merupakan solusi yang sangat tepat.Terjadi pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah. Hanya saja, kadang ditanggapi berlebihan oleh pemda setempat. Sejak otonomi daerah digulirkan, faktanya kerap terjadi penempatan seseorang pegawai pada posisi yang sesuai dengan kompetensinya semakin langka ditemukan. Bahkan yang terjadi pada posisi seseorang pejabat sangat tergantung pada selera penguasa daerah tanpa mempertimbangkan sistem dan mekanisme yang telah ada. Dan yang lebih parah lagi, penempatan jabatan di birokrasi kerap dipengaruhi oleh faktor KKN. 
Upaya memperbaiki birokrasi sebenarnya sudah dilakukan sejak dulu ketika dibentuknya panitia Retooling Aparatur Negara tahun 1962 hingga yang sekarang dengan dibentuknya KPK dan Tim Reformasi Birokrasi Pusat. Akan tetapi, perubahan yang  dirasakan belum signifikan. Birokrasi di Indonesia masih jauh dari gambaran sebuah birokrasi modern yang efisien,
akuntabel, tidak berbelit-belit, berorientasi pada hasil dengan gaya pengelolaan menyerupai kerja korporasi bisnis.
Beberapa studi dan penelitian juga menunjukkan ciri yang kontras: boros, berbelit-belit,  tidak terkoordinasi, suka menjilat atasan, merasa gaji kecil (padahal gaji cukup besar jika dibandingkan pendapatan per kapita penduduk Indonesia), orientasi jangka pendek dengan motif mencari proyek, kepemimpinan lemah, dan sistem perekrutan  yang tidak transparan.
Setiap sikap dan perilaku muncul berdasarkan norma atau pertimbangan nilai dalam diri individu. Nilai dan keyakinan dalam diri individu terbentuk sebagai hasil pengalaman dengan lingkungan. Sebagai organisasi sosial, instansi pemerintah memiliki nilai yang diafirmasi bersama (shared value) dan diinternaliasi oleh aparat birokrasi sehingga menjadi nilai kelompok.
Jika pulang lebih awal sebelum jam kantor usai, membolos, output kerja tak berkualitas, tidak melayani pelanggan dengan optimal dan menerima uang pelicin, dianggap tidak patut dalam lingkungan korporasi swasta. Sementara pada birokrasi pemerintah perilaku tersebut justru dilakukan oleh banyak individu tanpa rasa bersalah dan dianggap wajar, karena memang ada perbedaan norma di antara keduanya.
Ketika kemudian nilai tersebut dipraktikkan menjadi perilaku bersama secara terus-menerus, maka ia menjadi budaya dalam organisasi. Budaya Timur yang lebih menekankan keselarasan dengan kelompok dan sinis pada penonjolan diri  individu menyulitkan bagi seorang pegawai negeri baru untuk mempertahankan nilai-nilai ideal di dalam dirinya. Jika tidak  dicemooh oleh rekan sejawat kemungkinan ia akan ditekan oleh atasannya. Budaya birokrasi yang korup juga semakin dimapankan ketika institusi lain memaklumi bahwa memang demikianlah ”aturan main” dengan birokrasi pemerintah.
Lain lubuk lain ikannya, lain padang lain ilalang. Boleh saja sebuah perusahaan multinasional mengagungkan good coorporate governance dalam dirinya, tetapi ia ”terpaksa” memberi uang suap atau komisi agar tender proyeknya lancar. Tidak heran jika kemudian korupsi terus berlangsung di berbagai lini pemerintahan. Bagi birokrat tidak ada yang salah dalam kebiasaan ini. Korupsi di Indonesia mencapai titik optimum karena ia menjadi pelumas yang menggerakkan mesin birokrasi dan roda pembangunan.
Ketika nilai dari luar tunduk pada sistem nilai yang hidup dalam birokrasi, maka dapat diduga bahwa agen-agen dalam birokrasi kita hidup dalam dunianya sendiri, egois, serakah dan berpikiran sempit (mindless). Pola pikir sempit tidak mau melihat lebih jauh implikasi tindakan yang diperbuatnya. Ia mengabaikan bahwa jembatan bisa roboh, BBM menjadi mahal, pengobatan mahal, pendidikan tidak terjangkau, jalanan semakin macet, penduduk miskin semakin susah akibat perilaku korupnya.
Reformasi Birokrasi
Reformasi dan perubahan birokrasi tidak semata soal struktur organisasi dan remunerasi. Kenaikan gaji tidak menjamin hilangnya korupsi. Peningkatan remunerasi lebih sebagai prasyarat untuk menuntut performa yang lebih tinggi dan ketegasan menegakkan disiplin. Titik  penting reformasi birokrasi adalah mengubah sistem nilai dan keyakinan.
Reformasi birokrasi harus bisa menciptakan mekanisme perekrutan berdasarkan meritokrasi (kompetensi, kapabilitas dan prestasi), kestabilan karier, promosi internal yang terbuka, dan gaji yang kompetitif. Reformasi birokrasi adalah sebuah keharusan karena lewat birokrasi-lah negara hadir. Birokrasi merupakan representasi negara dalam melayani kebutuhan warganya. Pelayanan publik merupakan instrumen yang memfasilitasi warga negara
untuk meningkatkan kesejahteraan dirinya.
Performa ekonomi suatu negara juga sangat dipengaruhi oleh fungsi birokrasi
yang baik. Birokrasi yang korup, tidak efisien, dan tidak profesional membuat investor enggan menanamkan modalnya. Kita patut bertanya misalnya, mengapa banyak investor elektronik, alat komunikasi (seperti Blackberry) dan komputer terkemuka memilih Malaysia untuk mendirikan pabrik ketimbang di Indonesia? Padahal produk tersebut mayoritas dipasarkan di Indonesia.
Jangankan untuk mengurusi orang asing, mengurusi hajat hidup warganya sendiri pun aparat birokrat tega “memeras”. Kita pun lalu begitu menganggap wajar segala hal yang berurusan dengan aparat birokrasi di semua lini selalu membutuhkan “uang pelicin”, tidak pandang bulu apapun urusannya. Problematika pelayanan publik, pengurusan KTP,KK, Akte Kelahiran, surat nikah, surat tanah, SIMB, dan surat-surat keterangan lainnya, publik harus membayar lebih dari semestinya.
Padahal pemerintah setiap tahun menghabiskan banyak anggaran untuk meningkatkan pelayanan publik. Setiap tahun diadakan diklat (pendidikan latihan), seminar, kursus, dan pemberian bea siswa bagi para birokrat sebagai upaya peningkatan kinerja pelayanan publik yang berorientasi kepada kepuasan masyarakat diseluruh Indonesia. Tetapi mengapa belum berubah, yang mengalami perubahan adalah wajah teknis administratif yang kian rumit berbelit, sementara perilaku birokrasi tidak ada perubahan.
Reformasi dalam diri birokrasi mendesak dilakukan karena, sebagaimana penjelasan Peters dan Nicholas Henry (Arif dan Putra, 2001) bahwa birokrasi mempunyai kekuatan dalam pengambilan keputusan (power of decision) dan kekuasaan membuat kebijakan (policy-making power). Hal itu diperkuat dengan kenyataan bahwa kekuatan birokrasi adalah permanen, tetap bertahan hidup (staying power), dan birokrasi itu tak pernah mati selama negara tersebut masih ada dan berdiri.
Keberhasilan penyelenggaraan pelayanan publik ikut ditentukan oleh perilaku aparatnya dalam mengemban misi sebagai pelayan masyarakat. Namun dalam kenyataannya pelaksanaan pelayanan publik belum optimal karena tidak tersedianya aparat pelayanan yang profesional, berdedikasi, akuntabel dan responsif serta loyal terhadap tugas dan kewajibannya sebagai abdi negara dan pelayan masyarakat.  ***