Hasil Tambang untuk Siapa ?


Hasil Tambang untuk Siapa ?
Oleh : Fadil Abidin

Merebaknya semangat separatisme, penembakan, teror, kerusuhan, pemogokan dan pemblokiran jalan menuju tambang PT Freeport Indonesia di Papua, sebenarnya berawal dari kesenjangan ekonomi. Orang-orang Papua bak ayam mati kelaparan di lumbung padi. Mereka hanya menjadi penonton ketika kekayaan alam di daerahnya dikeruk oleh orang asing. Mereka hanya kebagian polusi dan limbah, sungai-sungai tercemar, jalan rusak dan tanah berlubang-lubang.

Kisruh di Papua yang berawal dari kekisruhan di Freeport kembali membuka mata kita tentang bagaimana kekayaan alam kita dikelola dan siapa sebenarnya yang menikmati. Pemerintah Indonesia yang seharusnya mengelola penuh tambang-tambang di berbagai pelosok tanah air, dan mengembalikannya semaksimal mungkin kepada rakyat, terutama rakyat sekitar tambang.
Tapi, kita pun harus maklum jika dibutuhkan investor untuk mengelola sebuah tambang yang memang memerlukan biaya sangat besar, teknologi tinggi dan sumber daya manusia yang handal. Maka kita mengenal apa yang disebut kontrak karya.
Kontrak karya semakin menegaskan bahwa bangsa kita bermutu rendah, tidak punya modal finansial, tidak punya sumber daya manusia maupun teknologi untuk mengelola sumber daya alam sendiri secara mandiri. Bangsa kita hanya mampu menjadi penonton, bangsa yang hanya bisa menjadi konsumen. Otak kita tak mau berpikir, raga kita tak mau berpeluh, kita tak mau menanggung risiko dan hanya mau menerima bersih. Akhirnya, kita hanya mengharap royalti dari investor asing dalam mengelola tambang di Indonesia. 
Mentalitas korupsi terus dikembangkan di segenap jajaran pemilik kekuasaan. Kontrak karya justru banyak diselewengkan. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan Freeport berutang royalti pada pemerintah sekitar Rp 1,59 triliun. Herannya, pemerintah tak berani menagih, sebab selama ini Freeport sudah mengeluarkan dana cukup besar untuk “uang keamanan” yang jumlahnya mencapai 79 juta dolar AS. Hal itu diketahui dari laporan keuangan Freeport dalam sepuluh tahun terakhir.
Setelah berpuluh-puluh tahun PT Freeport beroperasi, nyaris tidak ada kemajuan yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat di Papua. Budaya korupsi telah membuat negara ini sulit maju dan sulit makmur. Padahal, Indonesia adalah negara yang kaya hasil tambang.
Kekayaan Alam
Kekayaan alam di negeri ini justru bukan menjadi berkah tapi justru menjadi bencana dan kutukan. Daerah-daerah kaya akan hasil tambang di Indonesia, justru menjadi daerah penuh konflik berdarah, penduduknya miskin dan pembangunan justru terabaikan. Tapi yang kaya dan makmur justru para pejabat daerahnya, korupsi pun menggila. Freeport merupakan salah satu pertambangan emas terbesar di dunia. Pemerintah harus berani melakukan renegosiasi kontrak karya dengan Freeport, bahkan jika perlu menempuh langkah nasionalisasi terhadap Freeport. Itu dapat dilakukan, sebab Pasal 33 UUD 45 menyebutkan, sumber daya alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat.
Saat ini ada pelanggaran yang nyata terhadap UU No. 45 Tahun 2003 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Ada ketentuan tentang royalti yang harus diberikan kepada negara. Royalti emas sebesasr 3,75 persen, tembaga 4 persen, dan perak 3,25 persen. Namun saat ini, royalti yang diterima pemerintah dari Freeport hanya di kisaran 1 persen untuk emas, 1,5 - 3,5 persen untuk tembaga dan 1,25 persen untuk perak. Tapi pemerintah terkesan diam saja dengan pelanggaran atas undang-undang yang berlaku di republik ini.
Kisruh soal pemberian royalti PT Freeport ke pemerintah terus melebar. Tidak hanya akan mengedepankan evaluasi pada kerjasama Freeport dan pemerintah. Komisi XI DPR RI juga berencana meminta penjelasan soal berapa besaran dana CSR (Corporate Social Responsibility) yang sudah digelontorkan Freeport ke warga Papua dan sekitar. “Dalam evaluasi kami akan mempertanyakan berapa besar dana CSR yang diberikan PT Freeport,” kata Achsanul Qosasi, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI (27/10/2011).
Banyak kalangan yang kerap mengatakan bahwa kontrak karya itu merugikan pihak Indonesia karena pembagiannya tidak adil yaitu 80 persen keuntungan diambil pengelola sedangkan pemerintah hanya mendapatkan 20 persen, itu pun dari hasil royalti dan pembayaran pajak.
 Melakukan renegoisasi apalagi melakukan nasionalisasi PT Freeport memang tidaklah mudah. Pemerintah harus berhadapan dengan berbagai tekanan politik Amerika, karena banyak politisi dan orang-orang berpengaruh di Amerika yang memiliki saham di PT Freeport. Akibatnya, pemerintah kita tak berdaya jika harus mempersoalkan kembali tentang bagi hasil dari tambang PT Freeport. Apalagi ada dugaan kuat bahwa PT Freeport telah menjadi “mesin ATM” sehingga keuntungannya hanya mengalir ke segelintir elit di pusaran kekuasaan.
Untuk Siapa?
Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945, menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pengertian “dikuasai negara” ternyata telah ditafsirkan berbeda-beda dari waktu ke waktu.  Pertama, pada masa Demokrasi Terpimpin, pengertian “dikuasai negara” diartikan sebagai negara memiliki wewenang untuk menguasai dan mengusahakan langsung semua sumber daya alam  melalui perusahaan-perusahaan milik negara. Berdasarkan  UU No.19 Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara, pemerintah menyeragamkan bentuk badan usaha milik negara menjadi perusahaan negara yang pada masa itu berjumlah sekitar 822 perusahaan negara.
Kedua, pada masa Orde Baru, pengertian “dikuasai negara” telah bergeser dari “pemilikan dan penguasaan secara langsung” menjadi ”penguasaan secara tidak langsung” melalui kepemilikan seluruh saham di BUMN. Hal ini terjadi karena pemerintah menyadari sepenuhnya bahwa mengelola sumber daya alam  secara langsung memerlukan sumber daya manusia yang terampil (skill), modal yang sangat besar (high capital), teknologi tinggi (high technology), dan berisiko tinggi (high risk).
Ketiga, pada masa era reformasi, pengertian ”dikuasai negara” bergeser ke arah yang lebih praktis dan terbuka. Pemerintah memberikan peluang sebesar-besarnya kepada investor swasta atau asing untuk terlibat langsung dalam pengusahaan sumber daya alam melalui pemberian izin langsung (license) atau kontrak kerja sama operasi (KSO). Bahkan, sebagian saham milik milik negara di BUMN telah dijual kepada investor-investor swasta melalui penawaran umum di bursa-bursa efek, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, seperti yang dilakukan PT Telkom, PT Indosat dan PT Gas Negara.
Kebijakan pemerintah Orde Baru dan pemerintahan era reformasi dalam konteks pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945 tampaknya sejalan dengan pemikiran Mohammad Hatta. Bung Hatta berpandapat bahwa kata dikuasai negara dalam Pasal 33 UUD 1945 tidak harus diartikan negara sendiri sebagai pelaku usaha. Kekuasaan negara terletak pada kewenangan membuat peraturan untuk melancarkan jalan ekonomi dan melarang terjadinya penghisapan orang lemah oleh orang lain yang bermodal.
Makna “dikuasai negara” juga diperdebatkan banyak orang, baik yang dikemukakan dalam literatur maupun seminar atau diskusi. Perdebatan berkisar pada kata kunci “dikuasai negara” versus ekonomi pasar bebas yang mendominasi perekonomian dunia. Tetapi, secara garis besar, kesimpulan akhirnya tidak bergeser dari pemikiran Bung Hatta. Putusan MK dalam perkara judicial review atas UU Migas 2001 terhadap UUD 1945 juga sejalan dengan pemikiran dan pendapat Bung Hatta. Mengenai makna ”dikuasai negara”, MK berpendapat antara lain sebagai berikut (tertuang dalam Putusan MK No. 002/PUU-I/2003, dimuat dalam Berita Negara RI No. 01 Tahun 2005)
Yang harus dikuasai oleh negara adalah jika: (i) cabang-cabang produksi itu penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak; atau (ii) penting bagi negara, tetapi tidak menguasai hajat hidup orang banyak; atau (iii) tidak penting bagi negara, tetapi menguasai hajat hidup orang banyak. Ketiganya harus dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. ***