Meneguhkan Kembali Pancasila sebagai Ideologi Bangsa


Meneguhkan Kembali Pancasila sebagai Ideologi Bangsa
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat Di Harian Analisa Medan, 1 Oktober 2011

            Menjadikan Pancasila sebagai dasar berbangsa dan bernegara memang merupakan jalan terbaik yang ditawarkan oleh Soekarno saat ideologi ini mulai diperkenalkan pada 1 Juni 1945. Kemajemukan yang dimiliki Indonesia merupakan suatu nikmat terbaik yang diberikan Tuhan kepada kita selaku bangsa. Akan tetapi, kemajemukan itu bisa pula melahirkan konflik dan  permusuhan, bahkan kehancuran bangsa ini bila tidak mampu dijaga dan dirawat dengan baik.

Banyaknya problematika yang melilit bangsa ini tak lepas dari kurang membuminya Pancasila dalam hati dan sanubari. Pancasila hanya dijadikan sebagai sebuah teks yang hanya sekadar dihafal. Keberadaannya ibarat berada di atas menara gading. Tidak membumi dalam tindakan nyata para aparat penyelenggara negara ini. Nilai-nilai Pancasila telah terkikis, tererosi oleh tindakan petinggi negeri ini yang lebih mengedepankan pragmatisme dalam mengejar harta dan kekuasaan.
Hari Kesaktian Pancasila seharusnya menjadi momentum untuk membangkitkan rasa nasionalisme yang kini telah memudar. Meneguhkan kembali Pancasila sebagai ideologi bangsa yang telah final dan tidak memberi peluang untuk merubahnya. Pancasila harus dijadikan sebagai kontrak yang mengikat semua rakyat Indonesia yang majemuk agar tetap bersatu meraih cita-cita bersama sebagai bangsa.
Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara memang selalu menghadapi tantangan dan gugatan dari dulu hingga sekarang. Peringatan Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober terkait erat peristiwa Gerakan 30 September 1965/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) yang bagi bangsa Indonesia mungkin tidak akan terlupakan. Peristiwa tersebut menewaskan 7 perwira Angkatan Darat yang dibunuh secara keji oleh PKI.
Peristiwa itu juga menjadi sejarah paling kelam bagi bangsa Indonesia karena diikuti dengan pembantaian ratusan ribu simpatisan yang disangka terlibat PKI, bahkan sumber-sumber dari luar negeri menyebutkan mendekati angka dua jutaan. Pembasmian orang-orang PKI memang bersifat masif, masal dan ‘tumpas kelor’ sampai ke akar-akar. Tidak hanya anggota PKI dan onderbouwnya yang ditumpas, tapi orang-orang terdekat dan keluarga mereka juga dikucilkan. Hak-hak sipil sebagai warga negara juga dicabut, KTP ditandai, tidak berhak menjadi anggota TNI/Polri dan sebagainya.
Yang paling menderita tentu saja etnis Tionghoa. Dugaan keterlibatan pemerintah RRC dalam G30s/PKI menyebabkan etnis Tionghoa di Indonesia terkena getahnya. Ada yang melarikan diri, dideportasi, dipenjara, diasingkan, dan dieksekusi secara massal. Orang Tionghoa nyaris dihilangkan identitas dan kebudayaannya, bahkan memakai nama Tionghoa juga ditabukan.  
Pengkhianat Bangsa
Selama puluhan tahun, Hari Kesaktian Pancasila diperingati untuk mengenang pembunuhan para jenderal sekaligus sebagai legitimasi lahirnya Orde Baru. Hari Kesaktian Pancasila selalu dirayakan oleh rezim militer Orde Baru dengan penuh nuansa anti-Bung Karno dan anti-PKI. Selama lebih dari 32 tahun tiap tanggal 1 Oktober rakyat Indonesia wajib memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Malam harinya sejak tahun 80-an, televisi nasional menayangkan film Pengkhianatan G30S/PKI garapan Arifin C. Noer hingga larut malam. Kejadian ini selalu berulang di setiap tahun dan menjadi propaganda yang cukup efektif untuk mewaspadai bahaya laten komunis.
Sejarah selalu ditulis oleh sang pemenang, dan sang pecundang dicap sebagai pengkhianat, sehingga wajar jika kemudian Pemerintah Orde Baru melakukan hal tersebut. Namun setelah Orde Baru tumbang, kewibawaan peringatan Hari Kesaktian Pancasila cenderung memudar. Hal ini tidak terlepas dari keyakinan bahwa kesaktian Pancasila selama Orde Baru adalah rekayasa rezim untuk memperkuat legitimasi pemerintah. Dengan menempatkan Pancasila secara berlebihan, rezim militer Orde Baru mendapat alasan kuat untuk menghabisi dan menyingkirkan siapa saja yang berani melawan pemerintah.
Semasa Orde Baru indoktrinasi nilai-nilai Pancasila dilakukan secara terus-menerus dan diupayakan melalui berbagai cara di antaranya Penataran P4 yang wajib diikuti mulai dari pelajar SMP, SMA, mahasiswa, hingga pegawai negeri. Di Perguruan Tinggi juga terdapat mata kuliah Pancasila dan kewiraan yang tidak lebih untuk mengukuhkan keberadaan rezim pemenang.
Namun jatuhnya Orde Baru seakan menjadi titik awal dari keruntuhan Pancasila. Pancasila sepertinya tidak dihargai lagi. Korupsi yang merajalela mencerminkan tidak adanya penghayatan sebagai bangsa dan negara yang beragama. Mewabahnya virus korupsi dari pusat hingga ke daerah menambah beban yang harus dipikul oleh negeri ini. Korupsi yang merajalela menjadikan negara ini tersandera ibarat terjerat jaring laba-laba. Korupsi membuat rakyat mengalami kemiskinan struktural yang sengaja diciptakan penguasa. Jutaan rakyat merasa hampa dan kelaparan, tak mengalami kesejahteraan seperti yang diharapkan.
Ketuhanan Yang Maha Esa di benak koruptor berubah menjadi Keuangan Yang Maha Kuasa. Uang menjadi sebab dari lunturnya keimanan yang ada di hati. Sebab dengan iming-imingan uang, anggota dewan, hakim, jaksa bahkan siapa pun bisa bertekuk lutut bersimpuh di hadapannya. Uang kini seakan menjadi Tuhan dan berhala baru yang disembah para aparat-birokrat dan pejabat pemerintahan. Mereka berpesta pora di tengah rintihan  penderitaan rakyat. Suara rakyat kelaparan hanyalah irama orkestra yang menambah kesyahduan pesta korupsi yang semakin menjadi-jadi.
Bagi penulis, para koruptor adalah pengkhianat bangsa sesungguhnya yang lebih keji dari PKI. Koruptor dan konco-konconya adalah bentuk ‘penjajah baru’ yang mewujud dalam diri bangsa sendiri. Kalau dulu pada masa kemerdekaan, penjajah yang hadir di bumi pertiwi nyata dalam bentuk fisik. Namun kini, penjajah yang ada adalah saudara sendiri sebangsa dan setanah air. Sudah selayaknya para koruptor diperlakukan seperti anggota PKI di masa lalu, agar korupsi di negeri ini bisa dibasmi hingga ke akar-akarnya.
Semakin Pudar
Sungguh merupakan suatu kegamangan identitas kini mulai menghinggapi, bila nantinya Pancasila hanya berada dalam kotak pandora.  Eksistensi akan kesaktian Pancasila kini memang telah memudar. Kalangan pelajar, baik dari tingkat sekolah dasar hingga mahasiswa terkadang semakin asing dengan Pancasila. Tak tahu akan sejarah lahirnya ideologi bangsa yang mempersatukan seluruh keragaman yang ada. Baik dari perbedaan suku, bahasa dan agama. Sila-sila itu kini ibarat artefak-artefak kuno yang berada dalam museum peradaban bangsa bernama Indonesia.
Lihatlah anak-anak bangsa saat ini, mulai dari SMP, SMA hingga mahasiswa kerap terlibat tawuran massal hanya karena persoalan sepele. Perbedaan etnis dan agama mudah memicu perselisihan. Tawuran antar kelompok, suku dan agama mudah meledak menjadi kerusuhan massa.
Tak ada jalan lain yang harus dilakukan untuk mengembalikan kesaktian Pancasila, selain menanamkan kembali sejarah awal berdirinya Republik ini. Tentu dengan tanpa menghilangkan nalar kritis yang menyelimuti sejarah di masa lampau itu. Sebab sebagaimana yang dikatakan Ibn Khaldun, sejarah itu bukan hanya rekaman masa lalu saja, tapi sejarah perlu juga pada penalaran kritis untuk menemukan kebenaran peristiwa di masa lalu. Selain itu, perlu kiranya juga penanaman ideologi bangsa ini dimasifkan sejak sekolah dasar. Agar nantinya, kebanggaan menjadi bangsa Indonesia tertancap kuat di dalam dada.
 Pancasila saat ini semakin pudar atau tenggelam di tengah hiruk pikuk reformasi dan seolah hilang dari memori kolektif bangsa. Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan dibahas, baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan. Pancasila seperti terbujur di sebuah lorong sunyi, justru di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik yang cenderung mementingkan diri sendiri, kelompok dan partai politiknya.