Kapitalisme Tak Ada Matinya?
Oleh : Fadil Abidin
"Ganti negara dengan pasar, maka semua orang akan bahagia." Ucap ekonom Amerika pendukung utama pasar besar Milton Friedman. Tapi beberapa tahun terakhir ini, realita memperlihatkan sebaliknya. Pasar justru membuat sengsara banyak orang di dunia. Pada saat yang sama, justru negaralah yang menjadi penolong saat pasar tak mampu menolong dirinya sendiri. Apa yang terjadi di Amerika dan beberapa negara di Eropa belakangan ini menjadi contoh nyata. Ketika krisis keuangan terjadi, pemerintahlah yang menolong perusahaan keluar dari krisis. Pasar yang diagung-agungkan itu malah membuat rakyat dirugikan.
Sebagian orang Amerika pun mengekspresikan kekecewaannya itu lewat demo yang amat provokatif : Duduki Wall Street atau Occupy Wall Street (OWS). Wall Street merupakan kawasan finansial di New York dimana bursa saham terbesar di dunia New York Stock Exchange dan sejumlah lembaga keuangan raksasa seperti Goldman Sachs Group dan Morgan Stanley berkantor. Beberapa perusahaan keuangan raksasa seperti JP Morgan dan Citigroup meski tidak lagi berkantor di kawasan tersebut masih dikategorikan sebagai perusahaan-perusaahaan Wall Street. Wall Street kemudian menjadi simbol kejayaan kapitalisme.
Demonstrasi OWS yang dimulai pada 17/9/2011 dan selama beberapa pekan kemudian meluas ke berbagai penjuru dunia, menandakan bertumbuhnya kesadaran dan aspirasi kolektif bahwa globalisasi, pasar bebas dan sistem ekonomi kapitalisme di dunia saat ini dibangun di atas pelembagaan kerakusan atau ketamakan.
Tapi para pendukung OWS tampaknya lupa, bahwa semiskin-miskinnya mereka masih jauh lebih kaya daripada sebagian besar penduduk dunia di belahan lainnya. Bukankah mereka mencapai kemakmuran sosial-ekonomi akibat sistem kapitalisme yang mereka anut? Sehingga walaupun dikecam, tapi kapitalisme tetap dianggap sebagai ideologi yang terbaik saat ini. Dan orang Amerika tidak akan sudi menggantikannya dengan sistem yang lain. Tidak ada ideologi lain selain kapitalisme.
Ketimpangan
Keunggulan kapitalisme, mengutip Obama (20/2/2009), adalah ”It’s power to generate wealth and expand freedom is unmatched.” Kebebasan luar biasa untuk mengakumulasi kekayaan material ini telah melahirkan abad keserakahan (Martin Jacques, 2004), sehingga melahirkan kultur baru seolah-olah keserakahan adalah anugerah (selfishness as a virtue).
Benar, bahwa kebebasan, individualisme dan keserakahan adalah paradigma utama dari kapitalisme. Keserakahan dan individualisme merupakan antitesis bagi etika berbagi (ethics of share and care) yang menjadi landasan kokoh terhadap ikatan sosial suatu masyarakat. Globalisasi keuangan telah menimbulkan fenomena yang sangat kontras berlawanan, yaitu pasar finansial yang superaktif di satu pihak (di pasar bursa) dengan sektor ekonomi riil yang cenderung stagnan di pihak lain.
Ketimpangan dan ketidakadilan tersebut terjadi baik pada tingkat global maupun tingkat nasional. Pergerakan harga komoditas, surat berharga, nilai mata uang, dan pasar properti ditentukan oleh permainan para spekulan di pusat-pusat keuangan dunia. Ada mafia, oligarki, atau gurita kekuatan yang mengatur fluktuasi harga dan arus investasi global. Kekayaan di tingkat dunia maupun tingkat nasional terakumulasi pada segelintir kaum elite.
Kapitalisme memang seakan tidak ada matinya, walaupun telah berkali-kali dilanda krisis. Krisis ekonomi kapitalis ini sejak awal sampai sekarang telah terjadi, katakanlah, misalnya krisis ekonomi 1930, 1960, 1980, 1999, 2001 dan terakhir 2008 dengan berbagai pemicu, besaran dan dampaknya.
Sitem kapitalis itu sendiri sepertinya akan mengulangi kesalahan-kesalahan lama dan terus berulang jika sifat dasar, filosofinya tidak diperbaiki. Sifat dasar kapitalisme memang dari awalnya sudah tidak “seimbang”, tidak adil. Karena visi dan misinya hanya mengutamakan “pemiliki modal”. Pemilik modal sebagai motor penggerak, inisiator, leader, dan otomatis juga sebagai penerima terbanyak dari suatu kegiataan ekonomi. Pihak lain seperti tenaga kerja dan profesional harus di bawah naungannya.
Wall Street dan pasar-pasar bursa di dunia lainnya merupakan cermin bagaimana sistem finansial kapitalisme hanya menguntungkan segelintir orang dan merugikan rakyat dan pemerintah. Keuntungan yang didapat dari sektor finansial memang amat menggiurkan. Berbekal analisa dan spekulasi, para investor dapat melipatgandakan keuntungan tanpa perlu banyak ‘berkeringat’.
Akibatnya, terjadi petambahan kapital hingga ke tingkatan hampir tak terukur (sebutlah data misalnya, yang mengatakan akumulasi modal dari elit kapitalis dunia yang nilainya lebih dari 10 kali PDB dunia, 60 kali PDB Amerika, 1.000 kali PDB Indonesia), menciptakan sebuah kebutuhan absurd dimana nilai kekayaan tidak lagi didasarkan pada nilai riilnya, namun dengan persepsi abstrak yang dikenakan padanya. Inilah yang bekerja di berbagai bursa dan pasar derivatif, yang jika ia sedikit saja terguncangan maka akan berdampak pula terhadap puluhan atau ratusan juta penduduk di suatu negara.
Membaca Sejarah
Kapitalisme memang telah berkali-kali mengalami krisis, dan berkali-kali pula mampu mencari jalan keluarnya. Sebagaimana dinyatakan para filsuf kapitalisme seperti Von Hayek dan Milton Friedman, keunggulan kapitalisme terletak pada kebebasan yang memungkinkan ekspansi talenta dan kapasitas untuk menemukan pengalaman dan jalan keluar baru.
Sejumlah varian baru sistem ekonomi pasar yang belakangan populer, seperti sistem ekonomi pasar sosial, neososialisme, sistem ekonomi pasar terencana, akan memperkaya evolusi kelembagaan sistem kapitalisme. Di negara-negara Eropa Barat dan Skandinavia yang merupakan negara makumur, sistem kapitalisme justru dijalankan mirip dengan sosialisme, dimana setiap warga negara mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan bersama, kepedulian terhadap pelestarian lingkungan dan kesinambungan sumber daya alam.
Walaupun kapitalisme banyak dikecam sebagai sistem dan ideologi yang liberal dan individualis, tapi ideologi ini terus berkembang dan dianggap sebagai pemenang dalam kancah perang dingin selepas sosialisme-komunisme gagal total. Saat ini sistem kapitalisme nyaris dianut seluruh negara di dunia dalam perdagangan global.
Sebagai ideologi yang tak tergantikan, maka sebagian para pihak pengusungnya menganggap kapitalisme sebagai “tuhan” baru. Jika ia mati maka yang lainnya akan mati. Jika ia tumbang maka akan terjadi efek domino yang menyebabkan tumbangnya juga perekonomian dunia secara global. Kapitalisme adalah puncak dunia dan sebagai ruh penggerak perekonomian global.
Dan pada tingkat ini terjadi kesombongan yang amat mencemaskan. Yaitu adalah ketika kemampuan material manusia sudah sampai pada tingkatan dimana ia dapat menentukan apapun yang ingin ia dapat. Ia ingin juga menentukan nasib, takdir, masa depan, bahkan menaklukan waktu: menjadi tuhan bagi manusia lain. Pada saat itu, sebenarnya, godaan iblis bekerja dengan baik. Ketika kapitalisme dianggap tak ada matinya, di saat ini pula Tuhan “telah mati” tak lagi secara filosofis, tapi defintif. Di puncak kejayaan manusia, di puncak kapitalisme.
Tapi mereka lupa membaca sejarah. Bahwa peradaban yang paling superior di bumi sekalipun akan berlalu dihempas waktu. Esok lusa kapitalisme pun akan berlalu, digantikan oleh ideologi yang baru. Kapan? Hanya Tuhan yang tahu.***