Menyoal Peran Otoritas Jasa Keuangan


Menyoal Peran Otoritas Jasa Keuangan
Oleh : Fadil Abidin

            Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada akhir Oktober lalu akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Otoritas Jasa Keuangan (OJK). RUU ini bila dilaksanakan akan mengakhiri beberapa peran penting Bank Indonesia (BI), Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), bahkan Departemen Keuangan dalam mengawasi lembaga keuangan nasional.

Pembentukan OJK berperan untuk menjaga perlindungan konsumen dan stabilitas sistem keuangan. Pembentukan OJK, tidak terlepas dari pelaksanaan Pasal 34 UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia (BI). Pasal tersebut mengamanatkan pembetukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan selambat-lambatnya tanggal 30 Desember 2010.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah sebuah lembaga pengawasan jasa keuangan seperti industri perbankan, pasar modal, reksadana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan asuransi. OJK akan menjadi otoritas yang memiliki kekuasaan penuh, dari mulai pengawasan, pengaturan, hingga penyelidikan terhadap korupsi baru yang menerpa sebuah lembaga keuangan.
Tidak bisa dipungkiri, akan banyak kekuataan yang terberangus karena pendirian OJK. Bank Indonesia (BI), nantinya setelah kewenangannya beralih (paling lambat akhir 2013), BI hanya akan mengawasi aspek prudential makro perbankan. Sementara aspek mikronya, berupa kehati-hatian perbankan dan lain-lain akan ada di tangan OJK. Bahkan sebelumnya kekuasaan OJK akan sampai pada tahap penuntutan, namun hal itu akhirnya dibatalkan. OJK hanya akan melaporkan hasil penyelidikannya ke kejaksaan, di mana setelah sembilan puluh hari OJK akan menerima hasilnya, apakah kasusnya diterima atau ditolak.
Sudah bisa dibayangkan, bagaimana nantinya kekuasaan OJK. RUU OJK sendiri akhirnya disetujui DPR dengan alasan besarnya tantangan sektor keuangan saat ini. Banyak sektor keuangan yang saling berkait, yang melibatkan banyak dana masyarakat. Sehingga, kemungkinan moral hazzard di lembaga-lembaga keuangan itu semakin besar. Untuk itulah diperlukan adanya sebuah instasi yang independen dan cukup memiliki wewenang untuk mengatasi berbagai permasalahan itu.
Adanya pro dan kontra itu wajar. Tidak bisa disalahkan juga jika mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah sampai mengatakan, OJK tak cocok untuk sistem keuangan global saat ini. Bahkan banyak negara yang sudah meninggalkannya.
Bagi BI, Bapepam atau yang lainnya, mungkin harus berbesar hati melepaskan kekuasaan yang selama ini di tangannya. Kita tunggu saja bagaimana kiprah lembaga keuangan setelah keberadaan OJK. Apakah membaik atau bertambah amburadul. Banyak PR yang harus dituntaskan OJK. Yang jelas, jangan sampai moral hazzard perbankan dan lembaga keuangan lain yang seringkali menghilangkan dana nasabah tanpa pertanggungjawaban terjadi lagi. Kita tidak ingin penyelewengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), kasus bail out Bank Century, dan sebagainya terulang kembali.
Jalan Panjang OJK
Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan diharapkan menjadi bagian dari kerangka peraturan dan pengawasan sektor jasa keuangan. UU ini diharapkan akan mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil serta melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat Indonesia.
Secara umum OJK merupakan sebuah lembaga yang dirancang untuk melakukan pengawasan secara ketat lembaga keuangan seperti perbankan, pasar modal, reksadana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan asuransi. Adapun tujuan utama pendirian OJK    adalah: Pertama, meningkatkan dan memelihara kepercayaan publik di bidang jasa keuangan.  Kedua, menegakkan peraturan perundang-undangan di bidang jasa keuangan. Ketiga, meningkatkan pemahaman publik mengenai bidang jasa keuangan. Keempat, melindungi kepentingan konsumen jasa keuangan. Adapun sasaran akhirnya adalah agar krisis keuangan seperti yang terjadi pada tahun 1997-1998 yang lalu tidak terulang kembali.
Sebagaimana telah diketahui bahwa krisis yang melanda di tahun 1998 telah membuat sistem keuangan Indonesia porak poranda. Sejak itu maka lahirlah kesepakatan membentuk OJK pada tahun 2002, tapi nyatanya sampai akhir 2002 draf pembentukan OJK belum ada. Hingga akhirnya UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia (BI) direvisi menjadi UU No. 24/2004 yang menyatakan tugas BI adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
Setelah lebih dari tiga tahun akhirnya sidang paripurna DPR pada tanggal 19 Desember 2003 menyelesaikan amandemen Undang-Undang Bank Indonesia. Usulan amendemen ini semula diajukan semasa pemerintahan Presiden Gus Dur. Undang-undang hasil amendemen ini disebut oleh Menteri Keuangan Boediono kala itu sebagai undang-undang bank sentral modern.
Salah satu masalah krusial yang memperlambat proses amendemen ini adalah menentukan siapa yang berwenang mengawasi industri perbankan nasional. Terjadi tarik ulur yang alot antara Bank Indonesia dan pemerintah yang dalam kaitan ini diwakili oleh Departemen Keuangan. Kompromi yang dicapai akhirnya menetapkan bahwa OJK akan dibentuk paling lambat tahun 2010. Sebelum diamandemen bunyi ketentuannya adalah Lembaga Pengawas Jasa Keuangan/LPJK (yang kemudian menjadi OJK) paling lambat sudah harus dibentuk pada 31  Desember 2010.
Secara historis, ide pembentukan OJK sebenarnya adalah hasil kompromi untuk menghindari jalan buntu pembahasan undang-undang tentang Bank Indonesia oleh DPR. Pada awal pemerintahan Presiden Habibie, pemerintah mengajukan RUU tentang Bank Indonesia yang memberikan independensi kepada bank sentral. RUU ini disamping memberikan independensi tetapi juga mengeluarkan fungsi pengawasan perbankan dari Bank Indonesia. Ide pemisahan fungsi pengawasan dari bank sentral ini datang dari Helmut Schlesinger, mantan Gubernur Bundesbank (bank sentral Jerman) yang pada waktu penyusunan RUU (kemudian menjadi Undang-Undang No. 23 Tahun 1999) bertindak sebagai konsultan. Mengambil pola bank sentral Jerman yang tidak mengawasi perbankan.
Peran yang Meragukan
            Kini OJK sudah mendapatkan dasar hukum setelah undang-undangnya disahkan DPR RI. Banyak pihak pesimis, OJK dikhawatirkan tidak independen pada saat melaksanakan tugas-tugasnya. Itu muncul dari komposisi anggota Dewan Komisioner, yang kemungkinan besar akan  ditempati oleh orang-orang yang lama berkecimpung di lembaga keuangan tertentu.
"Mereka terlibat secara batin, karena lama bekerja di satu lembaga keuangan. Hal yang sama terjadi di Amerika Serikat sebelum krisis keuangan global terjadi tahun 2008," ujar pengamat ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Gajah Mada, Rimawan Pradiptyo, di Jakarta (2/11/2011), dalam sebuah diskusi terbatas yang digelar Indonesia Corruption Watch (ICW).
Menurut Rimawan, di Amerika Serikat, lembaga sejenis OJK dihuni oleh anggota dewan komisioner yang sebelumnya bekerja di Goldman Sach. Akibatnya, ketika Goldman Sach terpuruk pada saat krisis keuangan terjadi tahun 2008, merekalah yang mendorong pemerintah untuk segera menyuntikan modal atau dana talangan  agar Goldman Sach diselamatkan.
"Ada sembilan anggota Dewan Komisioner, hanya dua yang ex-officio (dari pihak pemerintah), dari Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia. Tujuh lainnya dipilih di DPR. Syaratnya adalah tidak terkait dengan partai politik dan memiliki pengalaman di lembaga keuangan. Siapa yang akan mengisinya dengan syarat seperti itu? Tentu orang yang dibesarkan di lembaga keuangan tertentu. Saya tidak yakin mereka bisa obyektif," ujarnya.
Jalan keluarnya adalah, upayakan agar komposisi dewan komisioner merata, tidak terkonsolidasi pada alumni-alumni lembaga keuangan yang sama. "Saya sendiri menyarankan kepada pemerintah, sebaiknya seluruh anggota dewan komisioner berasal dari pejabat ex-officio," tutur Rimawan.
Prahara keuangan yang terjadi di AS tahun 2008 lalu secara cepat mengalir dan menyebar pada sistem keuangan global. Krisis ini ditengarai diakibatkan oleh tidak mampunya otoritas jasa keuangan AS dalam mengidentifikasi potensi macetnya subprime mortgage (kredit perumahan). Secara umum krisis keuangan global ini belum usai karena memberi efek negatif. Krisis finansial di Yunani dan di beberapa negara Eroapa lainnya masih berpotensi mengancam.
Sementara demonstrasi anti-Wall Street yang dimulai pertengahan September 2011 lalu melanda Amerika Serikat dan selama beberapa pekan kemudian meluas ke berbagai penjuru dunia. Hal ini menandakan bertumbuhnya kesadaran dan aspirasi kolektif bahwa globalisasi dan sistem ekonomi dunia tidak dapat dibangun di atas pelembagaan kerakusan atau ketamakan.
Pemikiran pembentukan OJK utamanya dilandasi oleh sektor jasa keuangan yang semakin kompleks dan dinamis. Tapi, harus diingat bahwa OJK bukanlah mantra sakti yang dengan sekejap bisa merubah sektor keuangan dan perbankan nasional menjadi lebih baik. Diperlukan sosok yang jujur, punya prinsip, komitmen dan berintegritas untuk mewujudkan OJK sebagai lembaga yang benar-benar ideal. ***