Sekolah Berbasis Korupsi


Sekolah Berbasis Korupsi
Oleh : Fadil Abidin

            Rasanya sangat mustahil korupsi bisa diberantas di negeri ini. Mengapa? Lihatlah kenyataan sehari-hari. Sejak dini anak-anak bangsa ini telah dipaksa mempelajari dan mempraktikkan korupsi, baik oleh orang tua, guru dan lingkungannya.

Sekolah menjadi basis pencetak koruptor di masa depan bukanlah ilusi. "Korupsi secara masif telah terjadi di semua tingkatan dari Kemendiknas, Dinas Pendidikan, hingga sekolah-sekolah. Dinas pendidikan telah menjadi institusi paling korup dan menjadi institusi penyumbang koruptor pendidikan terbesar dibanding dengan institusi lainnya." (ICW: Analisis 5 Tahun Pemberantasan Korupsi Pendidikan 2004-2009).
            Sekolah yang selama ini dianggap institusi “suci” yang steril dari praktik korupsi, justru menjadi institusi pencetak calon-calon koruptor yang andal di masa depan. Penerimaan siswa baru (PSB) yang dilaksanakan tiap tahun di sekolah-sekolah negeri bisa menjadi gambaran, bahwa korupsi, pungli dan manipulasi telah perkenalkan sejak dini oleh anak-anak Indonesia di semua level pendidikan.
            PSB di sekolah-sekolah negeri sejatinya gratis, tapi dalam kenyataannya untuk formulir pendaftaran saja ada sekolah yang membandrol antara Rp10 ribu sampai Rp 100 ribu. Jika tidak memberi uang, maka pihak sekolah selalu menyatakan alasan klise, formulir pendaftaran telah habis atau belum difotokopi!
            Ada saja alasan sekolah (terutama sekolah negeri favorit) yang menetapkan syarat-syarat tertentu yang memberatkan orang tua murid. Ada uang pendaftaran, uang seragam, uang buku, dana partisipasi pengembangan pendidikan, uang ekstra kurikuler, uang sumbangan sukarela dan sebagainya, sehingga total dananya bisa jutaan bahkan puluhan juta.
Seolah-olah sekolah tersebut milik guru dan kepala sekolah. Mereka tidak sadar bahwa mereka digaji oleh negara yang uangnya berasal dari perasan keringat rakyat. Pemerinah telah memngeluarkan anggaran pendidikan yang sudah teramat besar, memakan porsi lebih dari 20% APBN, pemerintah telah mengeluarkan dana BOS, Dana Alokasi Khusus bidang pendidikan, dan lain sebagainya. Tapi mengapa masuk sekolah negeri harus membayar lebih mahal ketimbang sekolah swasta? Jawabannya, sekolah saat ini telah berubah menjadi sarang pungli!
Ditemukannya siswa sisipan yang masuk lewat "pintu belakang" di beberapa SMA negeri favorit  di Kota Medan beberapa waktu lalu, sebenarnya bukanlah hal yang luar biasa. Praktik ini sudah berjalan bertahun-tahun yang lalu. Jika anggota DPRD Kota Medan bereaksi dan kemudian pers memblow up-nya sekarang ini merupakan berita basi yang biasa.
            Para siswa itu bukanlah masuk lewat “pintu belakang” (yang berkonotasi ilegal). Mereka justru masuk lewat “pintu depan” yang dihiasai gapura yang gemerlap. Karena apa? Karena untuk masuk ke gapura itu mereka telah mengeluarkan uang yang tidak sedikit, puluhan hingga dua puluhan juta. Mereka datang secara resmi, diketahui oleh kepala sekolah dan direstui oleh kepala dinas. Jadi tidak ada alasan menyatakan bahwa mereka datang lewat “pintu belakang”.
            Jika selama ini kita mengenal KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), maka kemudian diplesetkan menjadi “Kurikulum Berbasis Korupsi”. Karena untuk menjadi siswa baru pun harus menjalankan praktik-praktik korupsi agar diterima.          Istilah KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) pun berubah maknanya menjadi “Korupsi Tingkat Sekolah (lebih) Parah”. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) kemudian berubah menjadi “Manajemen Berbasis Korupsi” karena manajemen sekolah dijalankan dengan praktik-praktik manipulasi, pungli dan korupsi. 
Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) kemudian bermetamorfosis menjadi “Rintisan Sekolah (mental) Bobrok Indonesia”. Dianggap bobrok karena sekolah ini dianggap sebagai sekolah “kasta tinggi” eksklusif untuk anak-anak orang kaya. Padahal RSBI kebanyakan adalah sekolah negeri, di mana gaji guru dan pegawai dibayar oleh negara. Pemerintah setiap tahun rata-rata menggelontorkan dana Rp 300 juta untuk setiap RSBI. Dana itu murni digunakan untuk pengembangan kualitas akademis siswa, sehingga menyalahi UUD 1945 jika sekolah ini hanya untuk orang kaya. Banyak pihak meminta keberadaan RSBI dievaluasi lagi.
Tak Layak Ditiru
            Guru-guru yang mengajar di sekolah-sekolah negeri favorit pun sebagian berubah karakternya menjadi serakah. Menyadari bahwa siswanya berasal dari keluarga kaya, di antara mereka berubah profesi dari pendidik menjadi pemeras. Ada pula sebagian guru yang memposisikan dirinya agar “siap disuap”. Sehingga ketika bagi rapor atau kelulusan tiba, maka berdatanglah amplop masuk ke dalam kantungnya.
            Orang tua murid yang khawatir anaknya tinggal kelas atau mendapat angka jelek di rapor, biasanya rajin mengirim “uang pulsa”, THR atau parsel Lebaran kepada guru wali kelas. Sebut sajanya NN, seorang guru PNS yang mengajar di sebuah SMA favorit di kota Medan. Ketika berkunjung ke rumahnya Lebaran kemarin, ruang tamunya lebih mirip toko parsel. Ketika ditanya dari mana parsel-parsel tersebut, NN menjawab dengan bangga bahwa parsel yang jumlahnya lebih dari 20-an itu berasal dari murid-muridnya di sekolah. Bahkan dengan bangga pula ia menyebut bahwa ada muridnya yang menyumbang sepeda motor matic, dan orang tua murid yang akan memberinya hadiah Umrah tahun depan.
            Tradisi memberi sesuatu hadiah kepada guru sebagai tanda terima kasih memanglah baik, tapi hal ini jika terus dilestarikan dengan suatu maksud tertentu menjadi suatu mata rantai kolusi dalam bidang pendidikan. Pemberian dari orang tua murid, jelas akan menyebabkan objektivitas guru dalam memberikan nilai dan perhatian yang adil kepada semua murid-murudnya akan terdistorsi dan mengalami diskriminasi.
            Bahkan yang lebih parah, saat ini menjadi praktik yang wajar dan biasa, jika menjelang pembagian rapor guru memanggil orang tua murid dan “mengajak saling pengertian” karena sang murid terancam tinggal kelas. Maka dengan membayar “uang pengertian” ini sang murid pun tidak jadi tinggal kelas. Mungkin karena dianggap kurang banyak, maka sang guru pun memanggil lebih banyak lagi orang tua murid (bisa lewat telepon selular), sambil menjelaskan bahwa anak yang bersangkutan “begini-begitu” sehingga ujung-ujungnya minta “uang pengertian”. Bayangkan, untuk kenaikan kelas saja ada kolusi dan korupsi yang dipraktikkan antara guru dan orang tua murid (juga diketahui kepala sekolah), konon pula untuk kelulusan siswa. 
Koruptor Recehan
            Jika ingin tahu tentang seluk beluk korupsi yang dipraktikkan oleh guru dan pihak sekolah, tak salahnya membaca buku yang dilansir oleh ICW (Indonesian Corruption Watch). Buku berjudul “Sekolah Harapan, Sekolah Bebas Korupsi” ditulis oleh Bambang Wisudo, Ade Irawan, dan Fasli Djalal (2011).
Keseluruhan buku ini seolah membuka “kotak pandora”. Mengutarakan praktik-praktik korupsi yang dilakukan orang-orang yang menyandang label mulia: yaitu guru, figur yang patut digugu dan ditiru. Kalaupun pelakunya bukan guru, ya tak jauh dari bidang itu. Semisal kepala sekolah, pengawas, atau mereka yang menempati kursi kepala cabang dinas pendidikan (kacabdis) atau kepala dinas pendidikan (kadis).
Kenyataan ini seharusnya mencemaskan kita, meskipun barisan korps “Oemar Bakri” itu bukanlah aktor korupsi besar (grand corruptions) dengan motivasi kemaruk akan harta (corruption by greed). Mereka hanya pelaku korupsi kecil (petty corruptions) atau koruptor recehan, dengan motivasi karena kebutuhan hidup (corruption by need).
Dalam banyak kasus, seperti ditulis oleh Teten Masduki, dalam Kata Pengantar buku ini, bahwa para guru ditekan oleh atasan, dan atasan mereka (kepala sekolah), dipaksa korup oleh kacabdis yang ditekan pula oleh kadis. Begitu pun kepala dinas, yang harus setor ke pejabat yang berada di atasnya. Inilah hierarki korupsi di sekolah. Muara hilir, para guru di lapis terbawah, secara kreatif mencari celah korupsi kecil-kecilan, melalui penjualan buku ke siswa, pungli, ataupun menyiasati berbagai dana yang tersedia, biasanya Dana BOS atau DAK pendidikan.
Apa boleh dikata, korupsi tetaplah korupsi. Meski tergolong “penggelapan uang receh”, namun dari perspektif gerakan anti korupsi, perilaku ini potensial menghambat. Lantaran menyuburkan budaya culas dan tak jujur. Apalagi pelakunya adalah guru dan pihak-pihak yang berkecimpung dalam bidang pendidikan. Ibarat pepatah “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Jika guru menjadi koruptor kelas teri maka murid-muridnya kelak akan menjadi koruptor kelas kakap.
Lagipula, kecil atau besar, tetapi saja korupsi di sekolah adalah merampok dana publik, menihilkan aneka peluang perubahan pendidikan ke arah lebih baik, menjatuhkan mutu kualitas layanan publik ke titik terendah, dan pada ujungnya, mengabadikan praktik dan budaya korup di negeri ini. Di titik paling mengerikan, sebenarnya fakta-fakta lapangan tentang korupsi pendidikan di Indonesia (di sana para guru terlibat), itu justru menjadi warning, sejenis sinyal buruk tentang gagalnya pendidikan di Indonesia dalam membangun karakter bangsa yang jujur, demokratis dan bertanggung jawab.
Mengapa? Seperti dinyatakan pengamat pendidikan nasional, Prof. DR. H.A.R. Tilaar, bahwa akar tunjang demokratisasi sebenarnya teletak pada sukses tidaknya pendidikan yang dikembangkan. Karena demokrasi membutuhkan masyarakat warga yang terdidik dengan baik (civilized). Demokrasi, pada akhirnya, adalah proses aksi, refleksi, dan belajar (inilah saripati ajaran Paolo Freire).
Idealnya dunia pendidikan dan para pegiat di bidang ini (para guru), menjadi aktor utama gerakan anti korupsi. Mereka, dibanding komponen masyarakat yang lain, jauh lebih terdidik, terorganisir, dan paling tidak lebih mapan di bidang ekonomi (dibanding tani, buruh, atau nelayan). Apalagi sekarang, guru telah disebut sebagai profesi sehingga pemerintah memberi dana uang sertifikasi, insentif dan kemudahan lainnya.   
Kita tidak bisa tutup mata, praktik-praktik manipulasi, kolusi, pungli, dan korupsi di sekolah membuka wacana besar. Bahwa di dunia pendidikan sekalipun, ternyata praktik-praktik keji itu  nyaris menjadi epidemi yang sulit dibasmi. ***