Antara Pemodal dan Penjagal
Oleh : Fadil Abidin
Iwan Fals dalam lagu Bento menyindir secara sarkastik bagaimana keserakahan seorang “Bento” yang merupakan tokoh papan atas, punya banyak simpanan dengan bisnis menjagal, menjagal apa saja yang penting ia menang. Dalam dunia nyata sosok Bento ini benar-benar ada bahkan lebih kejam dari tokoh rekaan dalam lirik lagu.
Kita pun tampaknya tidak terlalu terkejut ketika ada kekerasan di Mesuji, sebuah kecamatan di perbatasan provinsi Sumatera Selatan dan Lampung. Di sana rakyat juga “dijagal” secara keji oleh pemodal (yang berasal dari Malaysia). Rakyat diintimidasi, diprovokasi dan akhirnya dieliminasi dari kampung dan tanah adatnya agar tanah tersebut dapat dijadikan perkebunan kelapa sawit.
Rekaman video yang telah beredar luas di dunia maya tentang kasus di Mesuji ini seakaan telah menunjukkan bahwa para pemodal itu telah menemukan legimitasi untuk menjadi penjagal. Adegan-adegan penggorokan leher dan pemegalan kepala, ironisnya di sana ada aparat yang menunjukkan seakan aparat lebih berpihak kepada pemodal (warga asing) yang memberi mereka uang, ketimbang melindungi rakyatnya sendiri.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Berry Nahdian Forkan mendesak Kepala Kepolisian RI Jenderal Timur Pradopo agar segera menarik seluruh pasukanya dari area perkebunan sawit di beberapa daerah Indonesia, khususnya untuk wilayah Mesuji, Lampung dan Sumatera Selatan.
Ia menilai, kehadiran aparat di perkebunan justru menjadi pemicu konflik antara pihak perusahaan dan warga sekitar. "Keterlibatan aparat polisi dalam semua kasus justru bukan untuk meredam konflik melainkan melindungi perusahaan. Maka jangan heran jika masyarakat kemudian mengkategorikan mereka sebagai centeng perusahaan," kata Berry saat menggelar keterangan pers di Sekertariat Walhi, Jakarta, Jumat (16/12/2011).
Dalam kasus Mesuji lanjut Bery, pemicu konflik karena pihak perusahaan perkebunan sawit telah merampas dan menguasai tanah warga sejak lama. Lalu, dengan memanfaatkan polisi, perusahaan meminta aparat tersebut menjaga dan mengamankan wilayah tanah perusahaan dari serangan warga yang biasanya melawan karena merasa tanahnya dirampas.
Ditambahkan Berry, dalam catatan Walhi pada periode Januari hingga November 2011, kurang lebih 102 kasus tentang pengelolaan sumber daya alam, temasuk sawit, tambang, dan hutan. Dari 102 kasus tersebut, 123 warga dikriminalkan, 62 orang luka tembak, 26 orang dianiaya, dan sembilan orang meninggal dunia. "Ini semua dilakukan oleh aparat kepolisian khususnya brimob yang bertugas untuk menjaga lahan perkebunan dan pertambangan. Dan kalau ini tidak segera dihentikan oleh negara, ke depan, potensi konflik akan semakin besar, ribuan orang akan menjadi korban," katanya.
Konflik Tanah
Konflik tanah bukanlah hal baru di negeri ini. Sejak Orde Baru, telah terjadi ribuan kasus konflik tanah antara rakyat dan pemerintah. Kekerasan ini adalah buah dari kebijakan pemerintah yang menegasikan UU Pokok Agraria Tahun 1960 yang berpihak kepada kaum tani, dan mengalihkannya dengan kebijakan-kebijakan sektoral tanah yang bertentangan dengan kedaulatan kaum tani, seperti UU Penanaman Modal Asing, UU Kehutanan, UU Pertambangan, dan lain-lain, yang berpihak kepada modal asing.
Kebijakan-kebijakan tersebut sejatinya mencerminkan orientasi keberpihakan pemerintah terhadap tanah yang tidak lagi “diperuntukkan bagi siapa yang membutuhkan dan siapa yang mengerjakan tanah”, melainkan bagi investasi demi kepentingan kaum pemodal berikut demi upeti dan devisa negara yang terus-menerus bisa dikorupsi.
Pemerintah tampaknya mempunyai paradigma tentang politik okupasi tanah yang mutlak, bahwa semua tanah yang ada di wilayah Indonesia adalah tanah milik negara. Sehingga pemerintah dengan mudah mengklaim tanah-tanah yang telah susah-payah dibuka dan dikelola rakyat bertahun-tahun, lalu mengokupasinya menjadi sebagai “tanah negara” lewat Badan Pertanahan Nasional (BPN). Hanya karena tidak memiliki bukti kepemilikan yang sah versi BPN, rakyat yang telah membuka lahan kemudian tidak dapat lagi mengakses tanah untuk mencukupi hidupnya. Hal ini tidak lain dimaksudkan agar tanah yang sudah diklaim sebagai “tanah negara” ini dapat mempermudah masuknya investasi lewat pemberian Hak Guna Usaha (HGU) maupun Hak Pengusahaan Hutan (HPH) kepada perusahaan-perusahaan yang berkepentingan terhadap tanah dan potensinya.
Sejak itu, tanah merupakan sumber daya yang penting, bahkan menjadi bagian utama bagi pemerintah untuk dieksploitasi demi kepentingan segelintir pemodal, atau yang lebih besar lagi, demi menunjukkan ketertundukan negara kepada pemodal. Wajar kemudian, dalam negara yang seperti ini, jika polisi bahkan tentara dikerahkan untuk “mengamankan tanah”. Penundukan demi penundukan yang militeristik terhadap kaum tani, penggarap dan pemilik tanah adat pun berlangsung massif.
Terjadinya reformasi yang menggulingkan rezim Orde Baru ternyata tidak serta-merta menghentikan tindakan kekerasan aparat dalam menyelesaikan konflik tanah. Pendudukan kembali tanah (reclaiming) oleh rakyat, khususnya terhadap tanah-tanah yang masa HGU dan HPH-nya telah habis setelah era reformasi, tetap saja ditangani aparat dengan kekerasan. Hal ini merupakan refleksi mendalam bagi perjuangan kaum tani di era reformasi, bahwa reformasi sejatinya tidak membuka demokrasi secara hakikat/esensial, yang memungkinkan tegaknya kembali kedaulatan kaum tani atas tanah dan terjadinya distribusi tanah secara merata, berkeadilan dan mensejahterakan oleh negara, namun justru memassifkan kekuasaan kaum modal itu sendiri lewat pemberian jalan lapang bagi masuknya modal asing.
Pemodal sebagai Penjagal
Ternyata bukan orang saja yang kerap dijagal oleh pemodal, tapi juga orang utan. Washington Post pada Senin 14 November 2011 memberitakan tentang pembantaian orangutan (Pongo pygmeus) di Kalimantan Timur yang dilakukan oleh para karyawan sebuah perkebunan kelapa sawit milik pemodal berkebangsaan Malaysia.
Pembantaian orangutan Kalimantan terjadi sejak tahun 2008-2010 lalu telah menewaskan sekitar seribuan orangutan, rangka yang ditemukan terkubur dalam tanah hanya sekitar 750 ekor. Kasus ini kemudian menjadi perhatian tidak hanya nasional melainkan dunia internasional. Beberapa selebritis dunia dan pemain sepakbola internasional mengecam pemerintah Indonesia yang dianggap membiarkan pembantaian orangutan tersebut.
Pembantaian orangutan dilakukan secara sistematis oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit. Aparat kepolisian serta Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kaltim telah melakukan penyelidikan dan penyidikan. Adapun sejumlah barang bukti yang disita polisi antara lain senapan angin, sebagian tulang rangka orang utan serta ribuan lembar dokumen pembayaran upah pembasmian hama, termasuk diantaranya orangutan juga sebagai hama bagi perkebunan sawit. Para tersangka pelaku pembantaian, mengaku mendapat upah Rp 200 ribu untuk keberhasilan membunuh hama monyet dan bekantan, serta Rp 1 juta untuk hama orang utan.
Tapi ironisnya, hanya para penduduk lokal yang merupakan pelaku langsung pembantai orangutan saja yang ditangkap polisi. Sementara pemilik modal dan pemberi instruksi pembantaian orangutan (yang merupakan warga asing) lepas dari jeratan hukum. Dan sampai kini mereka masih bebas tanpa upaya serius bagi aparat kepolisian untuk menangkap warga asing tersebut. Perkebunan kelapa sawit yang membantai orangutan itu pun belum dicabut izinnya dengan berbagai dalih.
Pembantaian orang di Mesuji (Lampung dan Sumatera Selatan) dan pembantaian orangutan di Kalimantan Timur yang dilakukan oleh pemodal asing menunjukkan bahwa mereka menganggap remeh bangsa Indonesia. Sebagai pemodal yang telah memberikan banyak upeti kepada aparat pemerintah dan aparat keamanan, membuat mereka merasa aman dan leluasa untuk menjagal dan membantai semua orang (termasuk orangutan) yang dianggap mengurangi keuntungan investasi mereka. Begitu murahkah martabat kita? ***
* Penulis adalah pemerhati masalah sosial-kemasyarakatan.