Apa yang Telah Diberikan Anggota DPR Kepada Rakyat?
Oleh : Fadil Abidin
Untuk mengatasi kemalasan dan perilaku menipu dengan menitip absen saat sidang, pimpinan DPR akan mengadakan alat absensi elektronik untuk memantau kehadiran anggota DPR secara nyata di dalam ruang sidang. Dengan alat tersebut siapa-siapa yang hadir dan tidak akan bisa terdeteksi lewat sidik jari tangannya.
Penggunaan alat tersebut menunjukan bahwa sedemikian parahnya perilaku anggota DPR sehingga harus menggunakan alat paksa untuk menyuruh mereka datang. Minimnya kehadiran anggota DPR dalam sidang telah mempengaruhi produktivitas dan fungsi DPR sebagai lembaga legislasi, pengawasan, dan anggaran.
Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, mengatakan sejak tahun 2003, lembaga yang dipimpinnya telah menerima sebanyak 247 permohonan uji materi UU. Alasan yang dikemukakan Mahfud MD, hal demikian bisa terjadi karena banyak anggota DPR itu yang bukan orang hukum. Adanya ratusan uji materi UU di MK menunjukan bahwa produk DPR tidak bermutu.
Dari data terungkap, DPR Periode 2004 - 2009 hanya berhasil menyelesaikan 186 RUU dari 335 RUU yang direncanakan dalam prolegnas 2005-2009 atau sekitar 56% selama lima tahun. Menurut Mahfud MD, selain rendah, produk itu juga tidak berkualitas. Data lain menyebutkan, tahun 2010 ada 72 produk RUU yang diajukan pemerintah atau yang diinisiasi oleh DPR. Namun, ternyata hanya 16 yang bisa dibahas, ditetapkan, dan disahkan menjadi UU.
Mengapa kehadiran anggota DPR dalam sidang sangat rendah sehingga mereka melakukan kebohongan? Mempertegas apa yang dikatakan oleh Mahfud MD bahwa banyak anggota DPR adalah orang-orang yang tidak profesional atau tidak memahami masalah. Mereka tidak bisa mengikuti pembahasan dan menguasai materi sehingga mereka merasa tidak enjoy berada di dalam ruang sidang. Daripada kelihatan diam, mengantuk dan terlihat bodoh di ruang sidang, maka mereka lebih memilih bolos atau sekadar menitip tanda tangan kehadiran saja.
Di luar sidang mereka lebih menemukan sesuatu yang lebih enjoy. Yakni memilih ngobyek, mencari kerja sambilan di luar, menjadi makelar anggaran, broker proyek atau calo politik yang keuntungannya lebih besar daripada mengikuti sidang. Mereka ke daerah-daerah menemui kepala daerah untuk menjadi broker atau penghubung ke pemerintah pusat untuk pencairan suatu anggaran atau dana proyek. Hal-hal itulah yang menyebabkan mengapa banyak anggota DPR sering bolos dan merajalelanya mafia anggaran di DPR. Seiring dengan itu, maka gaya mereka pun lebih mirip pengusaha atau sosialita kalangan atas daripada wakil rakyat.
Hedonis
Sehingga tidaklah heran jika Busyro Muqoddas, pernah menuding bahwa anggota DPR lebih mementingkan gaya parlente dan hedonis, dengan gaya hidup, mobil mewah, rumah megah yang mereka miliki. Akibat kritik tersebut, Busyro Muqoddas terpental dari kursi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Jika di negara-negara Eropa yang kaya seperti Swiss, Belanda, Swedia, Denmark dan sebagainya, anggota parlemen terkadang naik trem atau sepeda untuk mendidik rakyat supaya hidup sederhana, hemat energi dan menghormati lingkungan. Maka lapangan parkir gedung DPR kita, kerap disindir sebagai showroom mobil mewah.
Mereka ke gedung dewan mennggunakan mobil Bentley seharga Rp 5 miliar, mobil Jeep Wrangler dengan harga Rp 900 jutaan, Toyota Vell Fire dengan bandrol Rp 950 jutaan, Lexus IS F seharga Rp 1,5 miliar, mobil Hummer, Alphard, BMW, Mercedez Benz terbaru dan sebagainya.
Hal itu diamini oleh Ketua MK, Mahfud Md, menilai banyak pejabat yang minta dihormati secara berlebihan dan suka pamer kekayaan. ‘Gila hormat’ dan suka bergaya hidup mewah inilah yangmenjadi bibit korupsi.
Ironisnya ketika disindir seperti ini mereka justru marah dan tidak terima. Mereka menyerang balik, dengan dalih bahwa seharusnya antar lembaga tinggi negara tidak boleh saling mengkritik (?). Busyro Muqoddas pun terpental dari kursi ketua KPK, dan ada suara dari DPR bahwa mereka telah menyesal memilihnya telah menjadi anggota KPK.
Anggota DPR juga sepertinya tidak punya malu. Ketika dituding hedonis mereka justru berkilah bahwa segala kekayaan tersebut tidak diperoleh melalui korupsi. Tapi merupakan hasil dagang, usaha, dan keuntungan lainnya. Hal ini justru mempertegas bahwa mereka menyambi menjadi pengusaha selain menjadi anggota DPR. Selain itu sangat kentara bahwa mereka juga menjadi calo anggaran, sehingga mendapat “fee” dari pihak-pihak tertentu yang telah digolkan proyeknya.
Padahal di sisi lain, kemiskinan masih memeluk erat bangsa ini. Badan Pusat Statistik (BPS) melansir bahwa pada 2010 sekitar 31 juta jiwa penduduk masih dalam keadaan miskin (13,33%). Indikator miskin di Indonesia, yaitu pendapatan di bawah Rp 211.726 per kapita per bulan. Jika memakai indikator Bank Dunia dengan pendapatan per kapita 2 dolar sehari, maka penduduk miskin di negara ini mencapai 70 juta jiwa.
Ironisnya, kala masih banyaknya masyarakat yang tak bisa beli beras, menyekolahkan anak maupun berobat ketika sakit anggota DPR yang memiliki title ‘Wakil Rakyat’ sama sekali tak peduli dan berempati. Untuk “menghabiskan” anggaran tahun 2011 mereka mengadakan reses dan studi banding ke luar negeri yang menghabiskan dana puluhan miliar rupiah. Padahal siapapun tahu, studi banding itu hanya kedok pelesiran anggota dewan keluar negeri.
Rekrutmen Politik
Pertanyaan selanjutnya, mengapa orang-orang yang malas, tidak bermutu, tidak mempunyai kemampuan, mempunyai sifat koruptif, tidak paham tugas dan fungsinya itu bisa menjadi anggota DPR? Ini akibat dari sistem perekrutan caleg yang demikian mudahnya sehingga setiap orang bisa mengajukan diri menjadi calon wakil rakyat. Mereka diajak oleh parpol untuk menjadi caleg karena faktor ketokohan, kekayaan, kepopuleran, dan faktor-faktor lainnya.
Memang setiap orang berhak untuk menjadi anggota legeslatif. Setiap orang memiliki hak untuk memilih dan dipilih. Namun, masalahnya tidak berhenti di situ. Setiap calon sebenarnya harus memahami tugas dan fungsinya bila kelak dirinya terpilih menjadi anggota DPR. Namun karena sistem perekrutan sangat mudah, maka mereka pun menganggap semuanya akan berjalan dengan mudah. Barangkali dalam benak mereka menjadi anggota dewan, cuma datang, dengar dan duduk-duduk saja.
Problem yang dihadapi Dewan Perwakilan Rakyat saat ini bukan hanya soal moralitas atau kompetensi personal anggota DPR, melainkan lebih jauh sebagai buah dari struktur ekonomi-politik yang membingkainya. Dari sisi kapasitas personal, data yang disajikan Kompas (18/4/2010) menggambarkan profil anggota DPR periode 2009-2014 lebih ”menjanjikan” karena sebagian besar berpendidikan tinggi setingkat sarjana. Bahkan, 41,1 persen mengenyam pendidikan pascasarjana. Jadi, dengan modal dasar semacam itu, faktor kapasitas personal seharusnya bukanlah penyebab utama.
Demikian pula, kalau mau dilihat dari sisi daya dukung kelembagaan, fasilitas, gaji dan tunjangan dana yang diterima anggota DPR jauh lebih baik jika dibandingkan dengan apa yang diterima anggota DPR periode sebelumnya. Bahkan, hal itu bisa sangat kontras apabila dikomparasi dengan fasilitas anggota DPR pada era Orde Baru.
Sistem dan suasana kebatinan di DPR memang sudah busuk dan bobrok. Jadi ketika mereka terpilih menjadi anggota DPR, politisi tersebut tidak bisa tidak telah berada di tengah struktur yang sudah ada ini. Pilihannya, mengikuti arus dengan mengambil sedikit keuntungan berbentuk rente ekonomi atau mencoba tetap bertahan bersikap jujur walaupun dengan risiko dikucilkan.
Partai politik masih melihat politisi di DPR sebagai sumber pembiayaan partai. Ada beberapa cara yang digunakan partai untuk menggalang dana dari politisinya di DPR, mulai dari pemotongan gaji secara rutin sampai dengan mewajibkan kader partai di parlemen untuk membiayai acara yang diselenggarakan partai.
Selain harus ”dipotong” partai, politisi juga harus membiayai hubungan politiknya dengan konstituen. Pola pembiayaan konstituen ini kian membesar ketika politisi cenderung menggunakan pendekatan “uang tunai” dalam memelihara hubungan politik, misalnya dengan membagikan bantuan uang atau barang ke basis konstituennya untuk menjamin kemenangan kompetisi pada pemilu berikutnya.
Sistem pemilu Indonesia memang memerlukan biaya politik yang kian mahal. Pada Pemilu 2009 politisi harus bersaing sengit tak hanya untuk melawan kandidat dari partai lain, tetapi juga bertarung dengan calon dari dalam partainya. Liberalisasi dalam model seperti ini akhirnya harus ditanggung oleh politisi itu saat mereka duduk sebagai anggota DPR. Sampai di titik ini para politisi harus membayar utang berbagai biaya yang telah dikeluarkan dan selanjutnya menyiapkan diri mengumpulkan dana bagi proses pencalegan pada pemilu berikutnya.
Dengan kondisi ini, sehingga tidaklah mengherankan jika para anggota DPR, lebih banyak yang berjuang untuk kepentingan diri sendiri dibandingkan untuk kepentingan rakyat. Jabatan sebagai wakil rakyat tidak lebih dari sarana untuk menimbun kekayaan, dengan dalih mereka telah mengeluarkan modal besar ketika akan meraihnya.
Sebagai rakyat kita pun patut bertanya, apa yang telah diberikan anggota DPR kepada rakyat? Di samping itu, kita juga harus menggugat, apa manfaat keberadaan mereka terhadap bangsa ini. ***