Penebangan Hutan, Bencana dan Keserakahan Manusia
Oleh : Fadil Abidin
Erisychthon merupakan simbol keserakahan dalam mitologi Yunani. Ada sebuah pohon istimewa yang dicintai para dewa tumbuh di ladang milik Erisychthon. Pohon itu tumbuh dengan daun yang rindang, ranting dan cabang pohon yang sangat banyak. Burung, jenis hewan, dan manusia pun senang sekali bermain dan berteduh di bawah pohon tersebut.
Tapi Erisychthon sama sekali tidak peduli dengan keistimewaan pohon itu. Kecenderungan Erisychthon hanya menaksir seberapa banyak kayu yang bisa dihasilkan. Pohon itu pun ditebang dengan kapak. Ia melawan semua protes yang ditujukan padanya. Semua kehidupan yang bersemayam di pohon itu pun sirna. Dewa mengutuk keserakahan Erisychthon. Saudagar kaya raya itu didera rasa lapar tiada berkesudahan. Seluruh harta bendanya ludes untuk membeli persediaan makanan. Ia bahkan memakan istri dan anak sebelum akhirnya memangsa tubuhnya sendiri.
Legenda Erisychthon, jika ditempatkan pada situasi di Indonesia memiliki banyak persamaan. Bahkan sosok Erisychthon di Indonesia bukan cuma satu, tapi bisa beribu-ribu. Hal ini menunjukkan kebudayaan kita telah bercorak hedonistik, semua bisa diatur dengan uang. Para pejabat mengumbar ketamakan, berlagak seolah-olah menyelamatkan rakyat. Kampanye menanam sejuta pohon hanyalah kampanye ritual-formal, tanpa memperhatikan apakah pohon yang ditanam itu hidup dan dilestarikan. Bukit dibuldoser, hutan digunduli, laut direklamasi, terumbu karang dibongkar, rawa-rawa ditimbun. Inilah akar masalah mengapa bangsa Indonesia selalu tak berdaya menghadapi bencana. Kita bagaikan menahan air bah dengan sehelai jerami yang patah.
Jika sosok Erisychthon hanya menebang satu pohon, maka sosok Erisychthon di Indonesia menebang berjuta-juta pohon. Mereka adalah pemegang hak penguasaan hutan (HPH) atau pemodal yang memegang hak guna usaha (HGU) pertambangan atau perkebunan. Pohon-pohon mereka tebang, satwa-satwa liar mereka buru, orangutan dibantai, bahkan penduduk asli sekitar hutan mereka usir, yang melawan mereka bunuh.
Kasus Mesuji, kerusuhan di Bima NTB, aksi jahit mulut di depan gedung DPR beberapa waktu lalu, dan ratusan sengketa lahan di hampir seluruh wilayah Indonesia, tak terlepas dari keserakahan pemodal dalam mengeksploitasi lingkungan yang mendapat perlawanan warga sekitar. Dan ironisnya, pemerintah justru lebih berpihak kepada para pemodal (di antaranya pemodal asing) ketimbang rakyatnya sendiri.
Negeri Bencana
Indonesia memang negeri yang tak putus dirundung bencana, baik berupa banjir, tanah longsor, kekeringan, gempa bumi, tsunami, dan angin puting beliung. Predikat Indonesia telah bergeser, dari negeri kaya sumber daya alam menjadi negeri berlumuran bencana alam. Ketidakberdayaan mengantisipasi dan menangani anomali cuaca membuat bangsa Indonesia setiap tahun harus menjalani ritus bencana yang selalu menelan korban harta dan jiwa yang tidak sedikit.
Mari bercermin dari pengalaman India menghadapi bencana. Ketangguhan rakyat India bertahan dalam kesulitan akibat bencana dilaporkan Dominique Lapierre, dalam The City of Joy (1992). India, setali tiga uang Indonesia, merupakan negeri langganan banjir, angin ribut, dan bencana kekeringan. Jika terjadi bencana, masalah pertolongan dan bantuan untuk korban selalu menimbulkan sengkarut perselisihan. Penguasa di sana biasanya akan saling melempar tanggung jawab. Bahkan diperlukan waktu tiga hari hanya untuk bersepakat tentang operasi penyelamatan awal. Beratus-ratus kali negeri tersebut dilanda banjir dahsyat, tetapi pemerintah tampaknya tidak mampu memberikan solusi yang tepat.
Gambaran di India, nyaris sama di Indonesia. Bencana alam memang tidak bisa dicegah, tapi dampaknya destruksinya seharusnya bisa diminimalkan. Di sini dampak bencana alam justru di perparah oleh segelintir orang yang serakah. Dana bantuan bencana kerap dikorup oleh pejabat pusat atau daerah. Keserakahan itu melanda nyaris ke seluruh pejabat pemerintahan. Hutan ditebang, sungai diciutkan, rawa-rawa ditimbun dan areal terbuka yang berfungsi sebagai tempat peresapan air dibangun perumahan. Keserakahan penguasa dan pengusaha di negeri ini mirip Erisychthon.
Negara Perusak Hutan
Indonesia menduduki peringat ke-8 sebagai negara dengan hutan terluas di dunia. Tapi dalam hal perusakan hutan, Indonesia menduduki peringkat 1. Buku Rekor Dunia Guinness (World Guiness Book’s of Records) tahun 2010 lalu telah memasukkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat kehancuran hutan tercepat di antara negara-negara yang memiliki 90 persen dari sisa hutan di dunia.
Indonesia menghancurkan luas hutan yang setara dengan 300 lapangan sepakbola setiap jamnya. Sebanyak 72 persen dari hutan asli Indonesia telah musnah dan setengah dari yang masih ada terancam keberadaannya oleh penebangan komersil, kebakaran hutan dan pembukaan hutan untuk kebun kelapa sawit .
Pencantuman rekor dalam buku Guinness tercatat sebagai berikut: "Dari 44 negara yang secara kolektif memiliki 90% hutan di dunia, negara yang meraih tingkat laju deforestasi tahunan tercepat di dunia adalah Indonesia, dengan 1,8 juta hektar hutan dihancurkan per tahun antara tahun 2000 hingga 2005, sebuah tingkat kehancuran hutan sebesar 2% setiap tahunnya atau 51 km2 per hari" .
Sangatlah menyedihkan dan tragis bahwa di antara negara-negara dengan tutupan hutan tersisa yang masih luas, Indonesia menjadi yang tercepat dalam kehancuran hutannya. Dalam waktu tiap 30 menit saja, kawasan hutan seluas Taman Monas di Jakarta telah dihancurkan. Menyandang gelar terbaik dalam buku rekor ini sebenarnya sangat membanggakan. Tapi menyandang gelar sebagai negara perusak hutan pada buku rekor ini justru adalah hal yang memalukan bagi Indonesia.
Organisasi internasional penyelamat lingkungan hidup, Greenpeace, menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk menahan laju kehancuran hutan tersebut dengan melakukan penghentian penebangan sementara (moratorium) terhadap seluruh operasi penebangan hutan skala komersial di seluruh kawasan hutan alam di Indonesia.
Organisasi ini juga menekankan bahwa moratorium merupakan langkah awal yang diperlukan untuk menghentikan laju deforestasi yang tak terkendali dan memberikan kesempatan kepada hutan untuk memulihkan dirinya. Moratorium juga harus digunakan untuk mengkaji ulang dan mengubah arah kebijakan terkait dengan hutan yang masih tersisa di Indonesia, yang selama ini hanya mendorong kepentingan-kepentingan yang mendukung terjadinya kehancuran dibandingkan perlindungan.
Sektor kehutanan di Indonesia telah dan masih dirusak oleh ketidakpastian hukum, korupsi dan penjarahan hutan yang semuanya masih belum berhasil dikontrol oleh pemerintah Indonesia. Tingginya permintaan dunia internasional atas produk-produk kayu dan kertas, serta komoditas lain seperti minyak kelapa sawit, juga mendorong lajunya kehancuran hutan.
Indonesia dianggap tidak bisa melindungi hutannya dan penduduk yang hidupnya bergantung pada hutan. Greenpeace juga menuding negara-negara Uni Eropa, Amerika Utara, China, Jepang, Malaysia, dan Singapura sebagai negara tempat pencucian gelap dan penampung produk-produk hasil dari kehancuran hutan Indonesia. Seharusnya, rekor memalukan yang disandang Indonesia ini juga mejadi milik mereka.
Rekor Indonesia sebagai penghancur hutan tercepat juga menyebabkan negara kita dianggap menjadi pencemar efek gas rumah kaca ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan China. Hingga sebesar 25% dari emisi gas rumah kaca disebabkan oleh pembukaan lahan hutan di Indonesia.
Bencana alam seperti tanah longsor, banjir, banjir bandang, kekeringan, kehilangan kesuburan tanah, kehilangan sumber-sumber mata air, sungai yang mengering, meningkatnya suhu udara, punahnya spesies hewan dan tumbuhan yang berguna bagi manusia, sebagai akibat hilangnya hutan, ternyata tidak membuat masyarakat kita segera sadar akan arti pentingnya menjaga kelestarian hutan.
Tampaknya himbauan agar pemerintah Indonesia segera menerapkan moratorium penebangan hutan tidak akan pernah terlaksana. Banyak pihak yang berkepentingan terlibat. Penguasa yang berkolaborasi dengan pengusaha, baik pusat maupun daerah. Mereka tidak mau keuntungan finansial yang mereka peroleh lewat hutan lenyap. Ilegal logging adalah praktik yang biasa di Indonesia, tidak ada yang dihukum oleh praktik ini. Kolusi, korupsi, dan suap-menyuap telah biasa dalam hal penebangan liar di Indonesia. Jika praktik ini terus berlanjut, diperkirakan dalam jangka 20-30 tahun lagi, hutan Indonesia diperkirakan akan lenyap. ***