“Air Force One” untuk RI 1

“Air Force One” untuk RI 1
Oleh : Fadil Abdin

            Setelah tiga tahun menghadapi pro dan kontra, akhirnya pemerintah Indonesia dengan persetujuan DPR mengetok palu untuk membeli pesawat kepresidenan yang harganya sekitar Rp 500 miliar (6/2/2012). Apapun cerita, suara-suara kritik dan bernada protes, tampaknya tidak didengar lagi. Pemerintah telah berketetapan hati yang tak mungkin diubah lagi.

            Sebagai presiden dari sebuah negara besar, dengan wilayah luas dan penduduk terbanyak kelima di dunia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) wajar membayangkan diri sebagai kepala negara dari negara adikuasa. Jika menyangkut keinginan memiliki pesawat kepresidenan, tentu referensinya tak terlepas ingin memiliki pesawat seperti Air Force One milik Presiden AS.
 Tak jelas motivasi utama untuk memiliki pesawat kepresidenan, apakah untuk gagah-gagahan, bagian dari politik pencitraan, menjaga kewibawaan, atau demi kemudahan untuk tugas kepresidenan di berbagai negara atau daerah. Tapi yang pasti sebuah pesawat Boeing Business Jet atau BBJet 2 telah dipesan dan direncanakan akan mulai dioperasikan pada 2013.
Lantas, seperti apa interior pesawat itu nantinya? Situs web Boeing memberikan contoh pengaturan bagian dalam pesawa. Satu di antaranya dilengkapi bar dan banyak sofa empuk di sekeliling pesawat, ada ruang makan mewah di dalamnya. Interior pesawat tampak seperti rumah di udara, karena komplit dengan ruang rapat, ruang konferensi, kamar tidur dan kamar mandi mewah, serta dapur.
Pesawat jenis ini berkapasitas penumpang lebih sedikit ketimbang pesawat Boeing 737-500 milik Garuda Indonesia yang biasa disewa pemerintah untuk perjalanan dinas presiden di dalam negeri. Pemerintah memesan BBJet 2 berkapasitas 70 orang. Boeing 737-500 lazimnya bisa dimuati 146 orang penumpang. Sehingga presiden yang biasanya membawa rombongan yang sangat banyak, kini harus selektif seiring daya muat pesawat.
Alasan Penghematan
Dari segi dimensi, pesawat tersebut memang sedikit lebih besar daripada pesawat lama. Boeing 737-500 panjangnya 31 meter, tinggi 11 meter, dan rentang sayap 28,8 meter. Sedangkan panjang badan BBJet 2 sekitar 39,5 meter, dengan tinggi 12,5 meter dan lebar rentang sayap 35,8 meter.
Pesawat baru itu memang masih kalah jauh dibanding pesawat Airbus A330-300 Garuda Indonesia berkapasitas 440 orang yang biasa dipakai Presiden SBY untuk melawat ke luar negeri. Panjang pesawat Air Bus mencapai 63,6 meter, tinggi 16,83 meter, dan rentang sayapnya 60,3 meter.
BBJet 2 merupakan kerja sama 50%-50% antara Boeing Commercial Airplanes dan General Electric. Sesuai dengan namanya, pada awalnya adalah untuk kaum pebisnis superkaya. Sejak diperkenalkan pada tahun 1999, pesawat bisnis tersebut kemudian banyak dipesan secara khusus untuk pesawat kenegaraan. Jenis BBJet 2 tercatat sudah digunakan oleh 15 negara dengan jumlah total 21 pesawat.
Pertimbangan pemerintah RI untuk membeli pesawat kepresidenan disebabkan alasan penghematan. Anggaran sewa pesawat terbang untuk keperluan perjalanan dinas Presiden dan Wapres RI setiap tahunnya Rp180 miliar atau totalnya Rp 900 miliar untuk satu periode pemerintahan.
Ongkos operasional pesawat BBJet 2 seharga US$ 58 juta (nyaris Rp 500 miliar) sejatinya tak kecil, yakni US$ 3500 per jam atau setara Rp 30 juta per jam. Namun Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi dalam rapat dengar pendapat di Dewan Perwakilan Rakyat beberapa waktu lalu sangat yakin pemerintah bisa menghemat Rp 114,2 miliar per tahun jika membeli pesawat baru, jika dibandingkan biaya sewa pesawat milik Garuda Indonesia.
"Dan kita negara besar dan satu-satunya negara yang tidak mempunyai pesawat kepresidenan. Pesawat kepresidenan satu persen pun belum ada keuangan negara. Dan ide itu pun datangnya dari DPR bahwa membeli akan lebih murah dari pada menyewa," ujar Sudi Silalahi memberi alasan.
Tapi jangan lupa, ada sisi kekurangan dari pesawat kepresidenan tersebut. Beberapa kalangan meragukan bandara udara di seluruh Indonesia bisa didarati pesawat tersebut. Hanya bandara-bandara besar dan internasional saja yang bisa didarati. Untuk kunjungan ke kota-kota kecil, presiden masih harus menggunakan pesawat carter yang lebih kecil. Hal ini tentu mengeluarkan biaya lagi.  
Meningkatkan Kinerja
Alasan apapun yang dikemukakan oleh pemerintah sah-sah saja. Tapi sebagai rakyat kita mengharapkan, para pemimpin negeri ini jangan hanya memikirkan dirinya sendiri. Mereka tampaknya selalu sibuk meminta fasilitas yang mewah dan prima, sementara rakyat masih banyak yang menderita, miskin, pengangguran dan diterpa gizi buruk. Rakyat memohon agar aspirasinya dipahami, bukan sebaliknya, pemimpin yang meminta dipahami oleh rakyatnya.
Jika presiden memiliki pesawat kepresidenan yang wah, para anggota DPR juga memiliki mobil mewah. Maka rakyat selama ini menikmati infrastruktur yang buruk, jalan yang berlubang-lubang, jembatan yang reot, sarana transportasi umum yang rusak dan sesak, tak memenuhi syarat kenyamanan dan keamanan bahkan selalu “membahayakan” jiwa. Kecelakaan angkutan umum yang kerap terjadi, seperti bus, kereta api, kapal laut, feri dan pesawat udara menandakan, sistem transportasi publik di negeri ini adalah “senjata pemusnah massal” yang kerap mengorbankan para pemakainya.
Adaka secercah nurani, ketika pesawat kepresidenan yang wah melintas di atas rakyat yang tengah berhimpitan dan menantang maut ketika memakai transportasi publik yang tak kunjung aman dan nyaman?
Kita tunggu saja bagaimana pesawat kepresidenan RI ini bisa menaikkan kinerja nantinya. Kita semua berharap adanya pesawat kepresidenan akan lebih menunjang produktivitas kepala negara dan bukan malah menjadi pemborosan anggaran. Selamat menaiki pesawat baru, Pak Presiden! ***