Diskriminasi dalam Ruang Publik di Kota Medan
Oleh : Fadil Abidin
Tragedi beruntun di Tugu Tani, Jakarta dan Cisarua di jalur Puncak Bogor yang menelan puluhan korban jiwa, sekali lagi membuktikan bahwa ada diskriminasi bahkan perampasan dalam pemakaian ruang publik kita. Trotoar atau ruang terbuka yang seharusnya menjadi hak pejalan kaki, telah dirampas oleh kendaraan bermotor menjadi “jalan alternatif” jika ada kemacetan.
Para pedagang kaki lima (PKL) dan pemilik usaha menjadi pihak yang sering dituding merampas hak publik. Mereka memakai badan trotoar untuk menggelar barang dagangannya. Di kota Medan misalnya, nyaris semua trotoar di sentra-sentra perdagangan menjadi tempat berdagang. Akibatnya, bukan hanya pejalan kaki, tapi pengguna jalan raya juga dirampas haknya.
Di Medan ada istilah yang menggambarkan bagaimana ruang publik ini bisa berganti makna. Di sini kata “jalan” bisa berarti pula “pasar”. Hal ini menggambarkan bahwa “jalan” bisa pula dijadikan “pasar” sebagai tempat jual-beli. Kekacauan seperti ini dapat kita dapati di Pasar Sukaramai yang sering penulis lalui.
Mari telusuri keberadaan ruang-ruang publik di kota ini, baik di tengah kota maupun pinggiran kota. Kita bisa memulai dari ruang publik di sekitar rumah. Kompleks perumahan telah mendesak kampung yang dulunya egaliter tanpa pagar atau sekat. Bahkan kini muncul konsep kluster, perumahan di dalam perumahan. Artinya penyekatan semakin mengecil.
Bahkan, sekalipun tinggal di dalam kluster, banyak orang tua yang tak mengizinkan anak-anak mereka keluar rumah. Menyebabkan anak menjadi tahanan rumah. Dunia anak dan mungkin juga orangtuanya menjadi hanya sebatas pagar rumah masing-masing. Satu-satunya kesempatan mengenal masyarakat dari kelas sosial berbeda adalah melalui interaksi dengan pembantu di rumahnya. Interaksi yang tak setara karena berdasar logika tuan dan emban.
Struktur bangunan dan perumahan di kota Medan juga menggambarkan tingkat diskriminasi yang sangat parah. Medan adalah kota ruko atau rumah toko berjeruji. Deretan ruko membentuk rangkaian “benteng” yang memanjang ibarat penjara berjeruji di sepanjang jalan kota.
Jika ruang publik adalah gambaran dari jiwa warga kota, maka gambaran yang ada di kota Medan adalah keterasingan dan diskriminasi. Jelajahilah ruang-ruang publik di kota ini dan rasakanlah sekat-sekat yang akan memerangkap kita dalam kelas-kelas sosial. Sekat yang akan mengasingkan diri dengan kemanusiaan kita sendiri, sehingga menjadi manusia yang egois, individualis, keras, dan tidak ramah.
Ruang Terbuka
Rumah berjeruji membuktikan bahwa ada sikap mengasingkan diri dari lingkungan sekitar. Logika awalnya mungkin untuk menghindari pencurian dan memberikan rasa aman. Tapi dalam kenyataannya, pemasangan jeruji justru merugikan. Berapa banyak korban yang terperangkap dalam jeruji-jeruji itu ketika kebakaran terjadi.
Dari rumah yang mirip penjara, mari kita tengok ke sekolah. Ruang tempat tumbuh anak-anak kita itu jelas semakin elitis dan mengkotak-kotakkan. Munculnya sekolah mahal jelas hanya bisa menampung anak-anak yang berpunya (the have) dan menyisihkan anak-anak miskin (the have not) dalam ruang sekolahnya sendiri: sekolah favorit yang biaya masuknya selangit atau sekolah murahan dengan kualitas rendahan.
Lalu, mari kita tengok pusat perbelanjaan atau mal yang telah menjadi ruang publik baru bagi masyarakat kota. Datanglah ke mal atau plaza termewah kota ini. Sebutlah, Sun Plaza atau Medan Fair Plaza, maka kita tak akan menemukan manusia dari the have not. Kalaupun ada di sana, mereka menjelma dengan tampilan yang berbeda karena telah memoloes diri agar tampak serupa dengan kalangan the have.
Anda tidak perlu merasa rendah diri, tidak modern, dan tidak usah takut disebut kampungan karena belum pernah menginjakkan kaki di sana. Percayalah, masih banyak warga Medan yang belum pernah ke kedua plaza tersebut. Plaza atau mal pun jelas mengkotakkan kelas sosial, sebagaimana pasar tradisional yang identik dengan kumuh, jorok, dan tempat belanja untuk kalangan tak berpunya.
Sekarang mari kita turun ke jalanan. Di ruang publik ini, pemisahan kelas semakin kentara, mulai dari kelas pengguna sepeda motor dan mobil pribadi dengan berbagai kelas harga dan merek, hingga pengguna bus angkutan kota. Sedikit anomali adalah munculnya B2W (bike to work), yang menarik kalangan berpunya untuk mengayuh sepeda ke kantor. Namun, kelas sosial tetap saja terlihat, misalnya dengan harga sepeda dan aksesoris yang berbeda dengan penjual sayur bersepeda.
Di sini, transportasi umum didominasi dan dimonopoli oleh minibus dengan kondisi yang berdesakan. Tidak ada angkutan umum massal seperti trem atau busway. Akibatnya, warga kota lebih senang menggunakan kendaraan pribadi, baik sepeda motor atau mobil untuk pergi-pulang kerja. Kemacetan menjadi menu utama di kota Medan.
Di kota kita, bahkan di dalam ruang-ruang yang sedari awal didesain untuk publik pun ternyata tak benar-benar bebas sekat. Tengoklah taman-taman kota yang tak terawat dan tak terjamin keamanannya. Hampir-hampir warga kota tak menemukan ruang terbuka yang bebas pengemis, pengamen atau preman. Beberapa tahun lalu, penulis pernah mengalami dipalak oleh beberapa pengamen (atau preman?) ketika duduk-duduk di taman di depan Stadion Teladan. Padahal di dekat situ ada kantor polisi.
Tanpa Sekat
Konsep dasar ruang publik adalah ruang nirsekat. Ruang tanpa sekat, baik secara fisik maupun psikologis. Di sini, publik bisa berinteraksi dan bebas mengaktualisasikan diri sehingga memungkinkan terjadinya transformasi sosial dalam proses yang demokratis dan egaliter.
Ruang publik ideal seperti ini pertama kali digagas oleh Juergen Habermas, filosof dari Jerman. Dalam bukunya The Structural Transformation of the Public Sphere: an Inquiry into a Category of Bourgeois Society, juga dalam Civil Society and the Political Public Sphere. Habermas menyebutkan, ruang publik yang ideal adalah yang mampu menjadi jembatan interaksi antara penguasa dan masyarakat dari beragam kelas. Hanya melalui ruang publik inilah dapat terwujud masyarakat yang dewasa, bebas penindasan, dan mampu menanggulangi krisis secara mandiri.
Konsep Habermas ini muncul dari pengamatannya terhadap ruang publik di Inggris dan Perancis. Menurutnya, ruang publik di Inggris dan Perancis sudah tercipta sejak abad ke-18. Pada zaman tersebut di Inggris orang biasa dari berbagai kelas berkumpul untuk berdiskusi di warung-warung kopi. Mereka mendiskusikan segalanya, mulai dari soal seni hingga ekonomi dan politik. Sementara di Perancis, perdebatan-perdebatan seperti ini biasa terjadi di salon-salon (bar, tempat minum publik).
Sejarah Eropa sejak lama memang menganal ruang publik, seperti Agora – ruang terbuka yang juga berfungsi sebagai pasar pada Yunani kuno – yang merupakan cikal bakal tradisi ruang publik. Atau juga Basilica dan Forum di zaman Romawi kuno, yang biasa digunakan untuk menyampaikan pendapat secara terbuka oleh publik.
Sebenarnya, tata kota kerajaan di Jawa pun mengenal ruang publik semacam ini melalui apa yang disebut alun-alun, yang selalu menjadi pusat orientasi atau titik nol dari sebuah kota. Namun, ruang seperti alun-alun ini semakin kehilangan fungsi dan kini tak lebih dari tempat berjualan pedagang kaki lima. Dengan demikian, banyak alun-alun warisan masa lampau di beberapa kota di Jawa yang diberi pagar pembatas di sekelilingnya (Ahmad Arif, Kompas, 1/3/2010).
Di Medan, kita juga mengalami alih fungsi peruntukan ruang publik. Lapangan Merdeka yang semula sepenuhnya ruang publik terbuka kini sebagian telah berganti menjadi tempat usaha.
Tiadanya ruang publik yang menjembatani pertemuan antarkelas sosial menyebabkan masyarakat tumbuh dalam dunia yang menyempit. Mereka hanya bersinggungan dengan dunia dari kelas berbeda melalui dunia maya, seperti melalui sinetron atau melalui jendela kaca mobil saat menyaksikan anak-anak yang meminta-minta di lampu merah. Tentu saja, nuansa yang tertangkap akan sangat berbeda.
Namun, dunia layar kaca ini pun tak lepas dari diskriminasi dan hegemoni cara pandang dari kelas berpunya, yaitu melihat kemiskinan sebagai sesuatu yang jorok dan harus disikat habis. Tengoklah sinetron kita yang kebanyakan menampilkan kemiskinan dari perspektif itu. Yang miskin, bodoh tapi jujur selalu “disiksa” sepanjang serial sinetron untuk menimbulkan rasa kasihan. Apakah perlu ditampilkan adegan penyiksaan, penganiayaan, penghinaan dan caci maki untuk menimbulkan rasa iba para pemirsa?
Patut diduga juga, pelaku penggusuran terhadap kaum miskin kota adalah kolaborasi penguasa dan pengusaha, yang selama hidup mereka tak pernah bersinggungan secara langsung dan manusiawi dengan kalangan miskin. Mereka melihat kemiskinan dan kekumuhan hanya sebagai sesuatu yang patut dihilangkan karena dianggap sebagai pemandangan yang menjijikan.
Pemerintah kerap abai terhadap akar masalah kesenjangan, yaitu minimnya celah partisipasi dan kesempatan untuk melakukan transformasi ekonomi dan sosial secara vertikal. Semua ini, bisa jadi, bermuara pada tiadanya ruang publik untuk berinteraksi secara manusiawi dengan sesamanya sehingga menutup peluang menjalin relasi yang ada.***