Moralitas Hart, Clinton dan Zumi Zola

Moralitas Hart, Clinton dan Zumi Zola
Oleh : Fadil Abidin

            Di negara paling liberal sekalipun seperti Amerika Serikat, moralitas tetap menjadi ukuran bagi para pemimpinnya. Bahkan ada pandangan bagi kaum konservatif, bahwa seorang pria yang tidak setia kepada istrinya, maka ia tidak bisa dipercaya untuk setia kepada negaranya.

            Sehingga tidaklah heran jika publik Amerika, walaupun mereka sangat liberal bahkan sangat bebas dalam urusan seks. Tapi jika soal pemilihan calon pemimpin (walikota, gubernur hingga presiden) maka mereka sangat kritis. Pers Amerika akan menelanjangi calon pemimpinnya secara transparan, baik soal karir, prestasi, skandal, kehidupan keluarga hingga penelusuran masa remaja dan anak-anak. Jika ada skandal atau sikap tercela yang menerpa, maka tamatlah riwayat sang kandidat.
            Berbeda dengan di Indonesia, menjadi pemimpin di sini begitu sangat mudah, kebanyakan hanya bermodalkan uang. Tidak ada ekspose pers kepada publik terhadap track record, prestasi, pendidikan, dan kehidupan keluarga sang calon pemimpin. Sehingga tidaklah heran jika banyak kepala daerah di Indonesia terlihat “aneh-aneh”.
            Bayangkan, jika seorang mantan narapidana dalam kasus pembunuhan bisa terpilih menjadi bupati. Pengedar narkoba, pecandu narkoba, penyelundup, pembalak hutan, pengganggu istri orang, pezina, pemabuk, penjudi, pemalsu ijazah, mafia, hingga koruptor pun bisa terpilih menjadi bupati atau walikota dalam Pilkada.    
            Panggung politik di Indonesia kembali dipertontonkan, bagaimana seseorang yang tidak punya moralitas bisa terpilih menjadi kepala daerah. Tuduhan kasus perzinaan antara Zumi Zola dengan Peny Farnita, istri dari Bernaldi Kadir Djemat (Aldi), merupakan gambaran bahwa para pemimpin di negeri ini sangat miskin moralitas.
            Zumi Zola pada awalnya adalah aktor yang telah membintangi beberapa film layar lebar dan sinteron. Ia adalah putra mantan Gubernur Jambi periode 1999-2004 dan 2005-2010. Dengan mewarisi nama besar ayahnya, ia pun terpilih menjadi Bupati Tanjung Jabung Timur, Jambi untuk periode 2011-2016. Ketika dilantik pada 12 April 2011, umurnya baru 31 tahun, sebuah rekor baru untuk bupati termuda di Indonesia. 
Bukan prestasi kerja yang membuat nama Zumi Zola mencuat di pentas nasional, tapi justru laporan perzinaannya dengan istri Aldi. Zumi Zola diancam dengan Pasal 284 KUHP tentang Perzinaan. Aldi membeberkan bukti-bukti berupa SMS, pesan Blackberry dan rekaman telepon seks.
Zumi Zola kemudian membalas laporan perzinaan tersebut dengan melakukan berbagai cara, termasuk konon mengutus ayahnya ke Jakarta melalui Polres Jakarta Selatan, agar menjadikan Aldi sebagai tersangka kasus penganiayaan yang terjadi Oktober 2011 lalu. Emosi dijadikan tersangka, Aldi kemudian menyebar foto-foto telanjang Farnita dan Zumi Zola ke publik, jumlahnya ada 30 foto dari 170 foto. Foto-foto itu pun beredar di dunia maya.
Mengundurkan Diri
            Indonesia adalah negara paradoks, mengaku sebagai negara religius tapi dalam kenyataannya adalah sebuah negara tanpa moralitas. Ada puluhan foto bahkan ratusan foto yang menunjukkan adegan perzinaan, tapi hal tersebut tidak membuat sang kepala daerah bergeming dari tampuk kekuasaannya.
            Di Amerika satu foto dugaan perselingkuhan menjungkalkan kandidat presiden dari Partai Demokrat, Gary Hart pada 1987. Ambisi mantan senator negara bagian Colorado tersebut untuk masuk Gedung Putih pupus. Padahal Hart berpeluang besar memenangkan kursi presiden AS pada pemilu 1988.
            Hanya satu foto, yaitu foto Gary Hart yang sedang memangku Donna Rice, selingkuhannya, di depan kapal pesiar mewah Monkey Bussiness. Akibat skandal tersebut dan direcoki terus oleh media, maka Hart menyatakan mengundurkan diri dari pencalonan presiden AS. Skandal Gary Hart dan pengunduran dirinya, menjadi rujukan moralitas publik terhadap para calon presiden AS hingga kini.   
            Di Amerika ada sistem nilai, perzinaan (hubungan seks) antara dua orang yang tidak terikat perkawinan sebagai hal yang dianggap wajar. Tapi jika menyangkut perselingkuhan (hubungan dengan seseorang yang salah satunya atau keduanya terikat perkawinan), maka hal tersebut dianggap sebagai pengkhianatan, dan seorang pengkhianat tak layak dijadikan pemimpin.
            Banyak politisi maupun calon gubernur atau presiden dari Amerika yang mengundurkan diri akibat perselingkuhan. John Edwards, mengundurkan diri dari bursa pencalonan presiden AS tahun 2008 lalu karena terlibat perselingkuhan dengan  Rielle Hunter.
Eliot Spitzer mengundurkan diri sebagai Gubernur New York karena ketahuan berkencan dengan gadis bayaran Ashley Alexandra Dupre pada 10 Maret 2008. Surat kabar  New York Times yang mengabarkan skandal tersebut, dan Spitzer mengundurkan diri dua hari kemudian.
Skandal perselingkuhan kembali menghangat di Amerika menjelag pemilu presiden 2012. Herman Cain, Kandidat Partai Republik untuk Presiden AS 2012 terhambat karir politiknya karena skandal seks dengan Ginger White.
Perselingkuhan yang menghebohkan dunia tentu saja perselingkuhan Presiden AS, Bill Clinton dengan Monica Lewinsky yang dilakukan selama 18 bulan sejak tahun 1995. Setelah menjadi bulan-bulanan media, Clinton akhirnya mengakui perselingkuhan tersebut. Ia meminta maaf pada istri dan keluarganya, juga kepada rakyat Amerika. Clinton tidak mengundurkan diri dari jabatan presiden AS, tapi ia menyerahkan nasibnya berdasarkan konstitusi melalui proses impeachment di parlemen.  Beruntung, Bill Clinton bebas dari impeachment. Tapi sejarah tetap mengenangnya sebagai presiden yang terang-terangan mengaku berselingkuh.
Cacat Moral
            Di Indonesia yang mengaku sebagai negara Pancasila, beragama dan berketuhanan yang Maha Esa, justru para pemimpinnya bermental bobrok. Tidak ada budaya malu, tidak ada budaya mengakui kesalahan, budaya berterus terang, transparansi dan terutama budaya mengundurkan diri jika bersalah atau diduga bersalah.
            Di negeri ini menjadi pemimpin adalah bak menjadi manusia setengah dewa, yang bisa berbuat apa saja, menikmati apa saja terutama harta, tahta dan wanita (walaupun itu istri orang lain). Maka kecenderungannya adalah, para pemimpin di negeri ini tak terlepas dari mental korup. Sinyalemen bahwa para pejabat dan pemimpin di negeri ini banyak yang mempunyai “simpanan” (wanita maksudnya) menjadi rahasia umum.  
            Undang-undang kita memang tidak banyak mengatur soal moral, karena soal moralitas adalah urusan pribadi. Moralitas tidak dapat dipaksakan tapi harus dicontohkan. Ketika para pemimpin tidak dapat memberikan contoh, maka pers sebagai mata, telinga dan suara dari rakyat harus tetap kritis menyampaikannya. Jangan pernah merasa takut atau lelah memperjuangkan hal ini.  
            Kepala daerah yang berzina atau berselingkuh, secara UU memang tidak ada mekanisme untuk memecatnya. Karena tidak ada dalam UU, maka yang diperlukan justru kearifan dari sang pemimpin tersebut. Layakkah menjadi pemimpin jika ia berbuat tak pantas dengan istri orang lain?
            Walaupun tidak ada UU yang mengatur, kepala daerah yang cacat secara moral sebenarnya bisa diberhentikan. Mosi tidak percaya dari masyarakat yang meluas dan disepakati DPRD bisa menjadi modal untuk pemberhentian itu. Hal ini disampaikan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi (Republika.co.id, 27/1/2012), menanggapi pengaduan masyarakat terkait perselingkuhan yang dilakukan oleh Bupati Tanjung Jabung Timur, Zumi Zola.
"Bila di wilayahnya terjadi kehilangan kepercayaan publik yang luar biasa, DPRD bisa meminta pemberhentian kepala daerah itu melalui gubernur kepada Mendagri. Mendagri bisa memberhentikan, tetapi melalui verifikasi yang hati-hati dan mengingat asas praduga tidak bersalah," tutur Gamawan.
Sesungguhnya para pemimpin di negeri ini harus mencontoh moralitas para pemimpin di Amerika. Gary Hart mengundurkan diri dari bursa calon presiden AS setelah foto dirinya yang memangku Donna Rice beredar ke tengah publik. Bill Clinton secara gentleman meminta maaf kepada rakyat Amerika akibat hubungannya Monica Lewinsky.
Kita tunggu pernyataan Zumi Zola, apakah sebagai anak muda punya kapasitas dan kapabilitas sebagai pemimpin yang patut diteladani. Ataukah hanya sebagai “anak papa” yang menyandar nama besar sang ayah kemudian berlindung di balik jubah pengacara untuk menutupi semua perbuatannya? Kita tunggu saja. ***