Guru Bukan
Lagi ‘Oemar Bakri’
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat di OPINI Harian Analisa Medan,
28 Juni 2013
Menjadi guru bagi saya mungkin suatu
‘kecelakaan’ sejarah. Dulu saya ingin menjadi pengacara, gara-gara kebanyakan menonton
kiprah pengacara di televisi yang banyak membela koruptor (yang bayarannya
pasti ratusan juta rupiah setiap membela klien), makanya saya kuliah di
Fakultas Hukum USU. Tapi setelah tiga semester kuliah, rasanya saya ‘tidak
cocok’ kuliah di fakultas hukum, drop out pun jadi pilihan.
Tidak kuliah lagi mau berbuat apa?
Karena malu sama tetangga, saya pun mengungsi ke pinggiran kota. Ada tawaran
menjadi tata usaha sekolah di sebuah SD negeri yang memerlukan keterampilan
dalam mengoperasikan komputer. Setahun menjadi tata usaha sekolah, tahun
berikutnya menjadi guru honor.
Menjadi guru honor juga karena ‘kecelakaan’. Di sekolah tersebut ada
guru yang terkena stroke, ia tidak mau pensiun dini, sebagai gantinya gaji
dipotong Rp 500.000 untuk membayar guru honor (sebagai guru pengganti). Guru
tersebut walaupun tidak masuk mengajar tetap menerima gaji sebagai PNS. Apakah
guru tersebut sudah makan gaji buta?
Kita tidak perlu mempersoalkannya,
karena praktik tersebut konon sudah umum
terjadi. Banyak guru PNS yang membayar orang lain sebagai penggantinya untuk
mengajar di sekolah negeri, apalagi jika sekolah tersebut di pelosok desa. Dengan
berkorban membayar Rp 500.000 kepada guru pengganti, guru yang bersangkutan tak
perlu repot datang mengajar ke sekolah yang jauh. Biasanya setelah mendapat
modal cukup, guru tersebut akan minta mutasi ke sekolah negeri di kota.
Tapi bagi saya ada hikmahnya, sebagai guru ‘bayaran’ ternyata saya
mendapat kesempatan juga mendapatkan bea siswa kuliah di Unimed. Berbeda kuliah
di USU yang drop out, di Unimed justru saya lulus dengan predikat cum laude.
Barangkali saya menikmati profesi ‘kecelakaan’ ini sehingga bisa lulus dengan prestasi
tersebut.
Jika dipikir jadi guru itu sangat
menyenangkan. Coba hitung, beban kerja seorang guru SD hanya 24 jam pelajaran
per minggu (1 jam pelajaran 35 menit), jadi rata-rata 2-3 jam per hari.
Berangkat mengajar jam tujuh pagi, jam satu siang sudah pulang ke rumah. Selain
itu menjadi guru itu banyak hari liburnya. Berdasarkan kalender pendidikan
tahun pelajaran 2012/2013 hari belajar efektif semester I sebanyak 106 hari,
dan semester II sebanyak 139 hari. Jadi total selama 1 tahun, guru punya hari
libur 57 hari (belum termasuk 13 hari
libur nasional dan 50 hari minggu).
Menyambut tahun ajaran baru, sekolah
kami sudah libur sejak tanggal 15 Juni dan masuk kembali tanggal 15 Juli, dan
nanti akan disambung dengan liburan awal puasa dan menyambut Idul Fitri. Jadi
selama sebulan para guru tidak mengajar, tapi gaji terus tetap berjalan.
Silakan menilai ini makan gaji buta atau tidak.
Selain itu kenikmatan menjadi guru
terus bertambah. Rekan guru PNS yang usianya baru memasuki 30 tahun sudah golongan III C dengan gaji pokok
sekitar Rp 2.500.000, jika ditambah aneka
tunjangan, take home pay-nya bisa mencapai Rp 3 juta. Guru tersebut juga
mendapat tunjangan sertifikasi guru sebesar 1 bulan gaji pokok, yang diterima 3
bulan sekali sebesar Rp 7,5 juta.
Coba
hitung sendiri, kerja 24 jam pelajaran per minggu atau 14 jam per minggu,
dengan hari kerja (belajar) efektif sekitar 245 hari per tahun. Tapi
penghasilannya bisa mencapai lebih Rp 5 juta per bulan. Barangkali tidak ada
profesi lain yang mendapat tunjangan profesi dari pemerintah, selain guru. Siapa
yang tidak berminat jadi guru?
Sebelah Mata
Sehingga
tidaklah heran jika saat ini, profesi guru tidak lagi dipandang sebelah mata. Reputasi
masyarakat terhadap Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK) semakin
meningkat. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya calon mahasiswa yang memilih
Universitas Negeri Medan (Unimed) sebagai tempat menimba ilmu.
Jika
dulu kuliah di IKIP Medan (sebelum menjadi Unimed), dianggap remeh dan tidak
bergengsi. Bahkan ada anekdot IKIP itu sekolah ‘institut perempuan’ karena
mahasiswanya saat itu memang lebih banyak perempuan. Tapi kini Unimed menjelma
menjadi universitas favorit yang sangat diminati generasi muda.
Meningkatnya
peminat calon mahasiswa baru menjadi
calon guru ini, tidak terlepas dari perhatian pemerintah terhadap
kesejahteraan guru. Salah satu
perhatian tersebut adalah pelaksanaan sertifikasi guru, sehingga guru mendapat
tunjangan profesi dari pemerintah. Ini membuat para calon mahasiswa dan generasi muda beramai-ramai
ingin menjadi seorang tenaga pendidik.
Jika dulu guru sering diidentikkan
dengan ‘Oemar Bakri’ yang berangkat mengajar ke sekolah dengan bersepeda
kumbang. Jika dulu, seorang guru akan sulit mencari jodoh dan pendamping hidup.
Kini guru telah dianggap sejahtera, tidak sedikit yang mengendarai mobil. Guru
telah menjadi profesi yang nyaris setaraf dengan dokter. Guru perempuan
(apalagi yang sudah PNS dan bersertifikasi ) saat ini dianggap sebagai isteri
idaman. Bagaimana tidak, gaji lumayan besar, waktu kerja sedikit, hari libur
banyak, sehingga bisa mengatur rumah tangga. Demikian juga guru yang laki-laki,
banyak waktu luang untuk menambah penghasilan. Mulai dari wirausaha, mengajar
les, bimbingan studi, atau menjadi penulis. Siapa yang tidak mau?
Tapi hendaknya, segala kenikmatan
ini harus disyukuri dengan meningkatkan kualitas diri sebagai guru yang
benar-benar profesional. Pemerintah telah menggelontorkan 20% anggaran dalam
APBN untuk bidang pendidikan. Kemdiknas telah menggulirkan tunjangan profesi
guru dan aneka tunjangan lainnya agar guru sejahtera. Semua itu menguras
pendapatan negara yang diambil dari pembayaran pajak seluruh rakyat Indonesia.
Untuk itu guru harus membuktikan
dengan meningkatkan kualitas pendidikan dan sumber daya manusia Indonesia.
Acuannya cukup jelas, HDI (Human Development Index) Indonesia selama ini di
rangking bawah. Nah, dengan anggaran pendidikan yang demikian besar, dan
didukung dengan guru-guru yang telah mendapat penghasilan yang besar pula,
dapatkah indeks pembangunan manusia Indonesia meningkat? Ini adalah PR bagi
semua guru. Penghasilan yang sudah besar tentu diikuti dengan tanggung jawab
yang besar pula. ***