Jalan Panjang Menuju Keadilan Iklim

Jalan Panjang Menuju Keadilan Iklim
Oleh : Fadil Abidin
Terhitung sejak Revolusi Industri 1750, kadar CO2 di atmosfer bumi kita semakin meningkat. Negara maju (Eropa dan Amerika Serikat) yang hanya mewakili 20% dari populasi dunia, tapi telah menghasilkan lebih dari 75% emisi karbon (zat pencemar) di bumi, jauh lebih banyak dari bagian mereka berdasarkan emisi per kapita yang seimbang.

Contoh konkrit adalah Amerika Serikat dengan penduduk hampir 5% dari populasi dunia, telah menyumbang 25% dari total emisi karbon dunia yang merupakan negara pengemisi karbon terbesar di dunia hingga kini belum menunjukkan komitmennya untuk mengurangi emisi mereka yang tinggi. Sebagai catatan, emisi yang dikeluarkan negara-negara maju atau negara industri, telah melemahkan kemampuan bumi untuk menyerap atau menetralisir gas-gas tersebut dan akhirnya menyebabkan krisis iklim global.
Hal ini bisa dibandingkan dengan rata-rata jejak ekologi tertinggi perkapita penduduk Amerika Serikat (9,5 gha/global hektare) dan Inggris (5,45 gha). Itu artinya Amerika seharusnya membutuhkan 9,5 planet yang setara dengan bumi, dan Inggris lima planet bumi agar industrinya berjalan dan tetap ramah lingkungan sementara rakyatnya tetap hidup sejahtera.
Jika diakumulasi sejak 1750 (revolusi industri) hingga 2006 saja maka tercatat bahwa Amerika ada di peringkat pertama sebagai emiter se-planet bumi dengan kontribusi emisi karbon atau CO2 29% dari total emisi dunia. Disusul Jerman (6,99%), Inggris (4,95%), Jepang (3,87%), dan Perancis (2,81%)  (Sumber : Climate Analys Indicators Tool 2010).
Betapa tidak adilnya mereka memperlakukan, mengeksploitasi dan mencemarkan  bumi kita yang hanya satu-satunya ini. Akibat ulah mereka, banyak negara belahan dunia lain, seperti halnya Indonesia, menjadi negara yang paling rentan terkena dampaknya. Masalah krisis pangan dan perubahan iklim, kerap terjadi karena fenomena global warming sebagai akibat keserakahan mereka. Beberapa di antaranya telah dirasakan dampaknya secara langsung oleh petani dan para nelayan kita, seperti kegagalan panen, kemarau panjang dan musim yang berubah, belum lagi menyebut soal bencana lainnya.
Oleh karena itu kita harus terus meyerukan untuk keadilan iklim ini kepada para negara emiter dunia untuk secara serius mengurangi emisi karbon mereka ke bumi kita secara drastis dan meminta mereka bertanggung jawab dalam membayar hutang iklim kepada negara-negara yang terkena dampak dari ulah mereka, seperti Indonesia yang rentan ini.
Hutang Iklim Negara Maju
Hutang iklim meliputi : (1) Hutang Emisi. Hutang negara maju akibat penggunaan ruang atomosfer bumi yang melebihi jatahnya, sehingga negara berkembang hampir tidak memiliki ruang atmosfer yang cukup untuk kepentingan pembangunannya. (2) Hutang Adaptasi. Hutang negara maju karena emisi historisnya yang mengakibatkan perubahan iklim yang dampaknya lebih berat ditanggung negara berkembang.
Untuk membayar hutang iklim, negara maju harus : (1) mengurangi emisi gas rumah kaca di negaranya secara drastis, (2) menyediakan dana dan teknologi yang cukup bagi negara berkembang yang memampukan mereka untuk berdaptasi terhadap perubahan iklim secara efektif dan melakukan pembangunan rendah emisi serta mengentaskan kemiskinan.
Ungkapan keadilan iklim muncul karena adanya historical responsibilities (tanggung jawab sejarah). Seperti tertuang dalam Kyoto Protocol "common but differentiated responsibilities" (senasib, tapi beda tanggung jawab). Dari sudut pandang tanggung jawab historis tentu tidak adil menyamaratakan tanggung jawab antara negara pencemar (yang nota bene adalah negara maju) dan negara berkembang.
Ratusan tahun lamanya negara berkembang, seperti Indonesia misalnya, berada dalam kolonialisasi negara maju. Naasnya, ketika negara berkembang memiliki peluang mengeksploitasi kekayaan alam untuk kemakmuran bangsanya muncul peraturan lingkungan international yang ketat. Misalnya negara berkembang dilarang menggunduli hutan yang merupakan paru-paru dunia sebagai penyerap karbon dan CO2. Mereka menerapkan peraturan ini karena di negara mereka sudah tidak ada hutan lagi yang sudah habis dibabat sejak revolusi industri. 

Jalan Panjang
Padahal global warming dan perubahan iklim terjadi akibat ulah mereka ratusan tahun lalu yang melakukan indutrialisasi secara besar-besaran. Sayangnya, wacana memposisikan "dosa iklim" dari runtutan sejarah tersebut tidak mudah diterima di negara maju. Pernyataan bahwa generasi dari negara maju saat ini wajib membayar kesalahan para pendahulu mereka seolah menjadi usang bila berhadapan dengan empat hal.  
Pertama, arus informasi media di negara industri akan dengan mudah menyeret negara berkembang seperti Cina, India, dan bahkan Indonesia harus juga ikut memikul tanggung jawab menurunkan emisi. Karena, terbukti negara-negara tersebut juga  penghasil emisi karbon yang tinggi disamping sebagai negara yang banyak melakukan pembukaan hutan untuk pertanian, pertambangan, perkebunan dan pemukiman.
Kedua, negara-negara Eropa merasa telah memberikan keuntungan finansial besar bagi negara berkembang sejak diberlakukannya mekanisme perdagangan karbon menurut Protokol Kyoto, yang jumlahnya bahkan mencapai 1,2 triliun US Dollar (Nicholas Stern, 2009). 
Ketiga, meskipun diakui industri besar akan menghasilkan emisi besar pula tetapi negara industri menganggap hal itu wajar karena mereka telah bekerja keras untuk membangun teknologi yang akhirnya juga dinikmati pula oleh negara berkembang. Kebalikannya, negara berkembang bahkan tidak pernah dikenai tanggung jawab membatasi emisi mereka hingga muncullah fenomena industrialisasi Cina yang menempatkan negara tersebut sebagai pencemar terbesar saat ini. 
Terakhir, negara maju telah menyetujui untuk membantu negara berkembang secara finansial untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim yang jumlahnya sebesar 10 miliar US Dollar per tahun hingga 2012 dan 100 miliar US Dollar per tahun mulai tahun 2020. 
Jelas, akan ada negara berkembang yang akan kalah. Yang pasti adalah bahwa kita semua akan menjadi korban jika terjadi bencana akibat perubahan iklim. Seperti bencana alam yang akan kerap terjadi, banjir, kekeringan, kegagalan panen, air laut yang menenggelamkan negara kepulauan, penyakit akibat iklim, perubahan musim yang tidak menentu dan sebagainya. 
Jalan menuju keadilan iklim memang sangat panjang dan tak mudah untuk meraihnya. Pada akhirnya kita kembali pada realita. Iklim bumi kita sudah berubah sehingga bumi semakin ringkih. Tinggal kita yang harus mengambil sikap dari realita perubahan iklim yang telah terjadi, ingin menjadi objek penderita bagi perubahan iklim atau bersiap diri menjadi negara yang tanggap terhadap perubahan iklim global. ***