Negeri BBM

Negeri BBM
Oleh : Fadil Abidin

            Ketika Angie (Angelina Sondakh, anggota DPR) mengaku bahwa dia tidak pernah berkomunikasi lewat BBM (maksudnya lewat BlackBerry Messenger) dengan Mindo Rosalina, tersangka kasus suap Wisma Atlet Sea Games, di pengadilan Tipikor beberapa waktu lalu. Beberapa blogger langsung menyebut Angie sebagai BBM (maksudnya “benar-benar menipu”).

            Angie dituduh BBM karena mengaku tidak punya BB maksudnya tentu bukan “bau badan” tapi BlackBerry - merek ponsel ternama. Padahal banyak bukti dan saksi bahwa Angie benar-benar punya BB, foto-fotonya beredar di internet dan media massa. Lagi pula tidaklah mungkin Angie tidak punya BB, karena pada Kongres Partai Demokrat untuk pemilihan ketua umum yang baru, Angie dilaporkan membagi-bagikan BB kepada peserta kongres agar memilih Anas Urbaningrum.
            Ketika PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan) menyebutkan bahwa ada indikasi 200 transaksi mencurigakan yang dilakukan oleh anggota DPR, dan ada  sekitar 2.000 rekening gendut milik PNS muda. Sontak pula ada yang menyebut mereka dengan BBM (benar-benar maling).
            BBM benar-benar membuat pemerintah dan rakyat Indonesia menjadi pusing tujuh keliling. Penyebabnya bukan hanya penipu dan para maling di dalam negeri saja, tapi juga Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad. Lho, apa hubungannya?
            Hal ini gara-gara Ahmadinejad keras kepala karena tidak mau tunduk kepada Amerika. Ancaman embargo Amerika dibalas pula dengan ancaman embargo Presiden Iran dengan menyetop ekspor minyaknya di Eropa. Maka harga BBM (bahan bakar minyak) di pasar dunia mengalami kenaikan.
BLT pun Datang
            Dua gajah bertarung, pelanduk mati terjepit di tengah-tengah. Itukah gambaran Indonesia? Iran dan Amerika berseteru, Indonesia pula yang merana. Ketika Presiden Ahmadinejad dieluk-elukkan sebagai pahlawan yang berani menantang Amerika, Presiden SBY justru pusing karena harus menaikkan harga BBM.
            Tapi sebagai presiden, SBY juga BBM (benar-benar menyesuaikan) harga minyak di pasar internasional dengan harga di dalam negeri. Kecaman dan nada protes pun menggema di seantero nusantara. Mahasiswa siap turun ke jalan, mereka BBM (benar-benar marah).  Para pengamat dan politisi justru sudah berkoar-koar memanaskan suasana di acara talk show di stasiun televisi nasional.
Untuk mempertahankan citra dan popularitas, dan mencegah dampak kenaikan BBM (bahan bakar minyak), agar rakyat tak ikut-ikutan BBM (benar-benar marah) seperti para mahasiswa, Presiden SBY ternyata masih menyimpan senjata pamungkas peninggalan Jusuf Kalla, yaitu BLT (bantuan langsung tunai).
Jadi rakyat yang tadinya BBM (benar-benar marah) karena kenaikan BBM (bahan bakar minyak), dengan jurus BLT (bantuan langsung tidur), mereka diharapkan tidak jadi marah karena mendapat uang tunai sehingga bisa langsung tidur nyenyak.     
Tapi karena BLT telah menjadi trade merk-nya Jusuf Kalla, BLT (bantuan langsung tunai) kemudian diganti namanya menjadi BLSM, bukan BALSEM, walaupun bisa dibelikan balsem untuk kerokan dan mencegah meriang di badan. BLSM singkatan dari Bantuan Langsung Sementara Masyarakat. Nama dan singkatan boleh berbeda, tapi isinya sama. Menyangkut singkatan yang diganti tapi isinya sama saja, saya jadi teringat pada kupon judi di era Orde Baru, dari Porkas menjadi KSOB, TSSB, dan SDSB.   
BLSM menurut pemerintah berbeda dengan BLT. Jika BLT didanai dari utang luar negeri, maka BLSM akan diambil dari dana Corporate Sosial Responsibility (CSR) Badan Usaha Milik Negera (BUMN).  Menurut Meneg BUMN, Dahlan Iskan, dana-dana CSR yang ada di BUMN masih cukup besar, setoran dividen BUMN ke APBN pemerintah mencapai Rp30 triliun di 2011 lalu. Angka ini lebih banyak dari target APBN tahun lalu sebesar Rp28 triliun sehingga masih ada ruang agar BUMN meningkatkan setoran dividen tersebut (Sindonews, 23/2/2012).
Tapi apapun nama dan sumber dananya, BLT atau BLSM tetap merupakan bentuk “suap” dari pemerintah. Rakyat diperlakukan seperti balita, dan ketika balita tersebut menangis karena lapar, maka cukup dibelikan permen. Dan ironisnya, rakyat pun senang diperlakukan seperti balita, ditimang-timang dan dininabobokan. Padahal ketika mereka bangun, mereka dan anak-cucu mereka telah terjerat hutang sebesar Rp12 juta per jiwa. Itulah hutang pemerintah yang harus kita tanggung semua.
Apabila melihat tujuan, efisiensi, efektifitas dan dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan BLT ini, kebijakan tersebut bukanlah kebijakan yang pro-rakyat miskin melainkan kebijakan yang pro-image, untuk politik pencintraan. Kebijakan ini ditempuh pemerintah bukan untuk menaikkan derajat kesejahteraan masyarakat miskin, akan tetapi hanya bertujuan untuk mempertahankan image pemerintah (yang seolah baik) di mata masyarakat.
Program BLT/BLSM nantinya, hanya akan membuat rakyat menjadi BBM (benar-benar malas) dan bersikap apatis dan pasif. Pola-pola pikir bahwa rakyat akan diberi uang tunai secara langsung oleh pemerintah akan mematikan usaha dan kreativitas mereka. Pemberian BLT juga tidak cukup signifikan untuk menutupi kenaikan harga-harga sebagai imbas kenaikan BBM. Berdasarkan penelitian, BLT justru lebih banyak digunakan untuk membeli rokok, membeli miras, dan kupon togel oleh masyarakat. BLT benar-benar memabukkan!

Mohon Maaf, BBM Naik!
Pemberian BLT oleh banyak ahli ekonomi juga dinilai tidak efektif membantu masyarakat mengatasi kenaikan BBM. Ekonom Aviliani mengungkapkan, BLT hanya membantu masyarakat miskin sementara saja. Ia mengungkapkan, lebih baik bantuan dari pemerintah langsung dalam bentuk subsidi yang menyentuh pekerjaannya. Menurutnya, 36 juta penduduk miskin berada di pedesaan dan bekerja sebagai petani. Para petani lebih baik disentuh dengan subsidi yang langsung berhubungan dengan pekerjaan mereka.
Dia mencontohkan, rakyat dapat diberikan subsidi dalam bentuk tabungan yang nantinya bisa membantu pekerjaan mereka. Bantuan itu, nantinya digunakan untuk menunjang pekerjaan yang berdampak pada meningkatnya daya beli berkelanjutan. "Bagaimana tempat-tempat kantong kemiskinan diselesaikan masalah strukturalnya," katanya. Bantuan melalui tabungan menurutnya lebih efektif dibandingkan bantuan tunai. Melalui tabungan, hal itu menurutnya, akan membuat masyarakat bisa paham soal bank dan pengeluaran lebih terkontrol. Dia pun menyarankan agar pemerintah mendefinisikan ulang pengertian masyarakat miskin. (Republika.co.id, 3/2/2012).
Walaupun banyak pendapat dan solusi yang diberikan oleh para ahli, tapi tampaknya pemerintah benar-benar tidak peduli. Pemerintah tetap bersikeras dengan rencana semula, yaitu menaikkan harga BBM dan mengeluarkan BLT. Setelah BBM (benar-benar marah), biar rakyat BLT (bisa langsung tidur). Pemerintah dengan suara agak ditinggikan biar tampak berwibawa hanya bisa berujar, “Mohon maaf kepada rakyat Indonesia, BBM akan naik. Diharap BBM (benar-benar maklum) karena ada BLT (biar langsung tidur)!” Hidup di negeri BBM (banyak-banyak maling) memang benar-benar memilukan.***