Pokrol Bambu ala ILC


Pokrol Bambu ala ILC
Oleh : Fadil Abidin

            Ada acara di sebuah salah satu televisi swasta yang membahas topik-topik terkini yang berkenaan dengan masalah hukum (pada awalnya), tapi kemudian membahas pula soal  sosial, politik dan kemasyarakatan. Awalnya acara tersebut bertajuk Jakarta Lawyers Club (JLC) kemudian berganti menjadi Indonesia Lawyers Club (ILC).

Dari pemilihan tajuk acara terasa ada hal yang tidak sinkron dengan isi acara. Saya jadi teringat acara “Empat Mata” yang dibawakan oleh Tukul Arwana. Acara tersebut tidak menampilkan wawancara empat mata, tapi “banyak mata” sehingga kemudian tajuknya diganti mnjadi “(Bukan) Empat Mata”. Pergantian tajuk untuk menyahuti peringatan dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) setelah acara tersebut menampilkan adegan yang dianggap tidak layak.  
Kata-kata “Lawyers Club”, berarti menunjukkan eksklusivitas diskusi suatu kumpulan atau klub pengacara tertentu yang ada di Jakarta atau Indonesia. Pada awalnya saya membayangkan, acara ini adalah acara khusus yang diikuti oleh para pengacara anggota klub tersebut dalam membahas masalah kepengacaraan, dunia hukum dan peradilan.
Tapi dalam kenyataannya yang hadir dalam acara tersebut tidak hanya para pengacara di “klub” tersebut saja. Pengisi acara kemudian melibatkan politisi, anggota DPR, pejabat, artis, tokoh agama, budayawan, paranormal, bahkan para pihak yang tengah berseteru. Akibatnya acara tersebut justru seperti ajang “pokrol bambu” atau debat kusir yang “menghantam” orang-orang yang tak sepaham.
Saya pernah menyaksikan acara yang mengetengahkan masalah kekerasan yang menimpa jemaat Ahmadiyah beberapa bulan lalu. Tokoh-tokoh yang membela hak-hak asasi manusia dari jemaat Ahmadiyah justru diserang habis-habisan. Bahkan ada yang menyerang secara personal dengan bahasa yang sangat vulgar dan merendahkan. Semisal, “Kalo lu ngaku Islam, coba sini tunjukkan KTP-mu!”
Argumentasi
Perdebatan-perdebatan yang sering terjadi dalam ILC juga kerap tidak mencerminkan argumentasi hukum yang cerdas dan sehat. Acara yang semula bergengsi, kini menjadi acara perdebatan ngawur yang menampilkan debat kusir yang menurut sebagian orang tidak berbobot. Dimana para peserta yag hadir yang notabene adalah orang-orang penting kelas atas, berpendidikan tinggi dan juga pejabat tinggi, maka kemudian kita sebagai penonton harus mafhum, bahwa orang seperti ini memiliki ego dalam membenarkan pendapatnya masing-masing.
Kemudian, ada nada-nada sumbang yang menginginkan acara ini sebaiknya tidak ditayangkan lagi, minimal ditayangkan tengah malam. Acara ini dianggap lebih mementaskan ego ketimbang logika. Sering menggunakan kata-kata yang kasar dan menyerang pembicara lain secara vulgar dan tidak beretika.
Tapi pertanyaannya, apakah acara ini ditonton oleh masyarakat secara umum sehingga bisa dianggap sebagai dekadensi etika? Bahwa memang tidak dipungkiri, maysarakat kita rata-rata bukan kelas berpendidikan tinggi yang berwawasan super dan memiliki kecerdasan dahsyat. Jika stasiun tv lain menampilkan sinetron dari siang hari sampai tengah malam dengan tema cerita yang oleh sebagian kalangan dicap berselerah “rendah”.
Maka ILC, tanpa segan-segan menampilkan pembicaraan yang “terlalu tinggi” yang tidak bisa dicerna oleh masyarakat rata-rata. Wajar jika kemudian banyak yang menganggap acara ini tidak berguna, tidak layak ditonton, tidak bermutu, bikin bingung, dan semacamnya. Masyarakat ingin acara yang menghibur dan mengalihkan dunia mereka yang bobrok ke alam khayalan yang menampilkan lagu, tarian, musik, cerita sinetron yang mudah dicerna dan wajah-wajah rupawan.  
Karenanya, kalau boleh bertindak sedikit subyektif, saya sendiri mengganggap acara ini bermanfaat. Semisal, kita bisa menilai pejabat atau poitisi yang ngomongnya bermoral, beretika, tukang ngeles, atau pembohong. Tokoh tersebut apakah benar-benar cerdas atau benar-benar culas. Kita bisa menilai dari raut muka, intonasi suara, dan pemilihan kata. Kemudian tentu saja tidak lepas dari fakta yang mereka sampaikan, apakah ada yang bertentangan, tidak logis, ambigu, ambivalen atau kontradiktif dengan kata-kata sebelumnya.
Dari acara ini kita bisa melihat kembali insting primitif manusia, yaitu insting untuk membela diri, membela kelompok dan koleganya. Pembelaan tersebut memang tidak melalui jalan peperangan, tapi melalui perdebatan untuk mempengaruhi pendapat umum. Motto kesetiakawanan dari Porthos, Arthos dan Aramis yang tergabung dalam Three Musketeers, “one for all and all for one”, seakan menjadi pembenaran untuk terus membela teman. Walaupun sang teman tersebut bersalah dan menjadi koruptor kelas kakap.
Tak jarang pula kita dapat menyaksikan insting keserakahan para pengacara yang membela klien secara membabi buta. Kesalahan sang klien yang jelas-jelas setinggi gunung Himalaya, seluas dan sedalam samudera, di matanya tak lebih dari secuil kesalahan. Mata mereka telah dibutakan oleh tumpukan uang yang menghalangi mereka kepada kebenaran.
Ganti Saluran
Jika penonton sedikit cerdas dan tidak malas menggunakan otaknya, seyogyanya bisa mengambil manfaat besar dari acara ini. Kita bisa menyaksikan bagaimana para pemimpin, wakil rakyat dan pejabat kita yang berdebat. Diakui atau tidak, mereka adalah pemimpin dan calon pemimpin kita. Kita harus tahu, makanya jangan nonton sinetron melulu.
Terlepas bahwa di akhir acara sang moderator, Karni Ilyas tidak pernah memukul palu setelah menetapkan hasil keputusan diskusi. Karena kita harus mafhum, bahwa acara itu bukan rapat kelurahan atau rapat karang taruna yang membutuhkan kesimpulan ahir untuk kemudian kita setujui bersama-sama. Melainkan lebih kepada semacam “diskusi lepas”, sehingga harus mafhum pula terkadang topik diskusi juga “lepas” ke mana-mana.
Soal kesimpulan, maka dari itu dibutuhkan pemaham dan kecerdasan dalam mengikuti alur acara ini sejak awal. Minimal kita harus mempunyai pengetahuan awal tentang topik yang akan didiskusikan, baik menyimak berita di tv atau di media massa. Sehingga wawasan kita bisa nyambung dengan topik pembicaraan, hingga kemudian kita tidak perlu lagi merasa menjadi anak TK yang kesimpulanya harus didiktekan ke telinga.
Tidak perlu lagi ditunjukkan siapa tokoh antagonis yang kerap bertindak sadis dan tokoh protagonis yang berwajah manis seperti dalam sinetron. Kita harus mulai belajar untuk menganalisis dan merangkum kesimpulan sendiri secara cerdas dan menuliskannya di dalam otak kita. Di samping bahwa diskusi ini juga sering menampilkan fakta-fakta dan wasasan baru yang tidak kita dapatkan dari hanya sebatas membaca koran atau memelototi berita di tv.
Marilah bersikap cerdas, jika kemudian kita melihat para tokoh yang hadir di ILC tampak tolol dalam berdiskusi, kasar dalam berujar, dan tidak beretika dalam berkata. Maka kita tidak harus ikutan seperti mereka dengan menuntut pembubaran acara ini. Cukup ambil esensi dari acara ini, atau mungkin jika kita merasa perlu meng-upgrade kecerdasan dan wawasan untuk bisa mengambil esensi acara ini, maka lakukanlah.
Terserah bagaimana pandangan pemirsa, apakah acara ini sekadar acara debat kusir ala pokrol bambu atau acara yang menambah ilmu. Jika Anda tidak berkenan, gantilah saluran tv, remote control ada di tangan anda! ***