Belajar Korupsi di Sekolah


Belajar Korupsi di Sekolah
Oleh : Fadil Abidin

            Apa yang salah dengan negara ini? Anggaran untuk pendidikan telah mencapai 20% dari APBN. Guru-guru telah sejahtera karena sebagian telah mendapat tunjangan sertifikasi. Berbagai insentif, gaji ke-13 (untuk guru PNS), dan dana lain sebagainya kerap dibagi oleh pemerintah. Dana alokasi khusus (DAK) pendidikan untuk sekolah setiap tahun selalu meningkat. Pemerintah juga hampir tiap tahun memberi DAK buku kepada sekolah. Untuk lembaga pendidikan dasar (SD) dan SLTP pemerintah memberikan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah).  

            Tapi mengapa biaya sekolah, terutama sekolah negeri, tetap mahal? Mengapa kerap terjadi pungutan liar atau pungli di sekolah negeri dengan segala macam modus? Ketika Hari Guru, dan Hari Pendidikan para siswa dimintai ‘hadiah’, ketika bagi rapor dan kenaikan kelas juga dimintai ‘hadiah’. Ketika mendaftar menjadi siswa baru juga dimintai biaya formulir dan biaya ini dan itu. Ketika masuk sekolah dimintai ‘uang sampul buku’, uang pendaftaran ulang, uang perpustakaan, uang pramuka, uang UKS, uang kartu pelajar, uang perbaikan pagar sekolah, uang test IQ, uang darmawisata, dan uang-uang lain sebagainya.
            Ketika akan ujian dimintai uang fotokopi, uang les tambahan, dan sebagainya. Ketika akan lulus sekolah pun, pungli tetap merajai. Ada uang sidik jari, uang fotokopi, uang pas foto, uang legalisir ijazah, uang perpisahan, uang sumbangan ke perpustakaan, uang cendera mata untuk para guru, dan sebagainya. Para orangtua siswa diperlakukan bak mesin ATM.
            Akibat banyaknya kutipan ini menyebabkan banyak siswa yang putus sekolah. Mereka merasa trauma karena kerap dimintai uang oleh pihak sekolah. Tujuan orangtua memasukkan anaknya ke sekolah negeri untuk meringankan beban hidup, justru menjadi semakin berat. Momen penerimaan siswa baru dan kelulusan siswa, sering dijadikan oleh berbagai sekolah untuk menarik pungli dari orangtua siswa.
            Jadi tampaknya percuma saja, pemerintah menggelontorkan dana BOS dan mengalokasikan 20% anggaran APBN dan APBD untuk biaya pendidikan, jika sekolah-sekolah negeri (terutama SD dan SMP) masih saja memungut berbagai macam biaya dari orangtua siswa. 
            Padahal dalam UU Sisidiknas disebutkan bahwa di tingkat SD dan SLTP tidak boleh ada pungutan terhadap orangtua siswa, apapun alasannya. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) telah mengeluarkan Peraturan Menteri No.60 Tahun 2011 tentang Larangan Pungutan di Tingkat SD/MI dan SMP/MTs. Peraturan ini diterbitkan 2 Januari 2012 lalu.
Korupsi di Sekolah
            Menurut ICW (Indonesian Corruption Watch), semakin tinggi standar sekolah, semakin mahal pungutannya. Di kota lebih mahal (pungutannya) ketimbang di desa. Dari catatan ICW, besar nilai pungutan dalam penerimaan siswa baru (PSB) cukup beragam. Di tingkat SD/MI, pungutan berkisar antara Rp 350.000-Rp 500.000. Tingkat SMP/MTs sebesar Rp 750.000-Rp 1 juta. Dan tingkat SMA/SMK/MA berkisar antara Rp 2,5 juta-Rp 5 juta. ICW menemukan 61 sekolah dari 11 provinsi yang melakukan praktik di atas (Sumut Pos, 10/06/2012).
            Menurut ICW, akibat pungli tersebut, ada empat kerugian yang terjadi. Pertama, uang negara hilang. Dana BOS yang diberikan pemerintah ke sekolah-sekolah dengan tujuan agar pendidikan dasar dan menengah pertama dapat dijangkau semua kalangan menjadi tidak berarti. Kedua, uang orangtua siswa hilang. Padahal bagi golongan ekonomi menengah ke bawah, uang tersebut telah dicari dengan susah payah. Ketiga, menghambat akses keluarga miskin untuk memperoleh pendidikan; dan keempat, institusi pendidikan menjadi tempat belajar korupsi.
            Aneka pungli ini juga mengakibatkan banyak siswa yang mengalami pengalaman traumatis. Bagi siswa yang berasal dari keluarga miskin dan tidak mampu, kerap mengalami “siksaan mental”. Sekolah katanya gratis. Tapi dalam kenyataananya, setiap bulan siswa terus ditagih untuk membayar uang ini dan itu. Mereka kerap dihardik oleh guru dan pihak sekolah karena tak mampu membayar aneka pungli ini. Akibatnya, mereka putus sekolah.
            Mereka putus sekolah bukan karena mahalnya biaya di sekolah dasar negeri, tapi karena banyaknya pungli. Sehingga tidaklah heran jika dirata-ratakan, maka tingkat pendidikan rakyat Indonesia hanyalah sampai SD (Rakyat Merdeka Online,18/11/2011). Berdasarkan pengukuran Uni­ted Nations Development Pro­gramme (UNDP), angka rata-rata lama sekolah di Indonesia baru 5,8 tahun. Indonesia tertinggal dibanding negara lain, seperti Thailand (6,6 tahun), China (7,5 tahun), Filipina (8,9 tahun), dan Malaysia (9,5 tahun).
            Pemerintah dalam hal ini Kemdikbud dan Dinas Pendidikan di daerah-daerah harus memberikan tindakan dan sanksi tegas kepada sekolah yang melakukan pungli. Saat ini ada kecenderungan yang dilakukan oleh oknum kepala sekolah dan oknum guru yang menjadikan sekolah negeri sebagai ‘bisnis’ untuk mendapatkan keuntungan. 
            Kenyataan di atas seharusnya mencemaskan kita semua, korps “Oemar Bakri” yang dulu disebut sebagai sosok yang lugu dan ikhlas dalam memberikan ilmu, kini kerap dicibir. Jika dulu guru disebut sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”, kini banyak dicibir orang sebagai “sosok yang selalu meminta uang jasa”. Sosok guru kini telah berganti watak menjadi sosok yang tidak layak ditiru lagi. Sosok itu telah tercoreng oleh perbuatan segelintir kepala sekolah dan guru yang sengaja melakukan korupsi kecil-kecilan.
            Memang uang yang dipungli tidaklah seberapa besar. Bahkan tidak membuat kaya raya orang yang melakukannya. Namun praktik itu secara tidak langsung sudah mengajarkan dan menyuburkan budaya tak jujur kepada siswa. Ibarat pepatah, “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Guru melakukan pungli kelas teri, murid belajar melakukan korupsi kelas kakap.***