Cuti Bersama dan
Etos Kerja
Oleh : Fadil
Abidin
Cuti bersama dan
kemudian berlanjut kepada perpanjangan hari libur menimbulkan pro-kontra. Di
satu pihak, pemerintah dinilai proreligi dan memberikan kesempatan masyarakat agar
bisa lebih banyak melakukan hubungan silaturahmi di hari raya. Namun muncul ekses lain seperti berkurangnya
produktivitas, terhambatnya siklus perekonomian dan ketidakpastian sektor
pelayanan publik.
Pada Idul Fitri 1
Syawal 1433 H, libur
nasional jatuh pada hari Minggu
dan Senin (19 dan 20 Agustus) dengan cuti bersama 21 dan 22 Agustus 2012. Ketentuan cuti bersama ini hanya berlaku untuk PNS. Sementara
hak cuti karyawan swasta diserahkan kepada masing-masing perusahaan untuk
pengaturannya karena pemerintah menghormati Kesepakatan Kerja Bersama (KKB)
antara karyawan dan perusahaan.
Unit kerja yang
berfungsi memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat seperti rumah sakit,
perbankan, pelayanan telekomunikasi, listrik, air minum, pemadam kebakaran,
keamanan, perhubungan dan ketertiban serta bidang industri diminta mengatur
penugasan karyawan pada hari libur nasional dan cuti bersama.
Cuti bersama pada
hari Selasa dan Rabu juga dianggap ‘gantung’ karena berpotensi terjadinya ‘hari
kejepit’. Secara psikologis para pekerja, karyawan, dan terutama PNS akan
menggenapkannya sampai hari Senin tanggal 27 Agustus. Pekerja atau karyawan di
sektor swasta mungkin tidak akan berani memperpanjang liburannya. Tapi bagi
PNS, mengingat mental dan etos kerjanya, patutlah dipertanyakan kedisiplinan mereka untuk
masuk kerja kembali setelah cuti bersama.
Karena tradisi
memperpanjang liburan secara tidak sah ini kerap terjadi, sebagian kalangan
mengusulkan agar cuti bersama Idul Fitri diperpanjang hingga 4-5 hari. Sebenarnya, perpanjangan masa cuti Lebaran
bukan persoalan, karena libur memang termasuk kebutuhan dasar pekerja untuk mengembalikan semangat dan etos
kerja.
Di Eropa, pekerja mendapat masa libur sekitar dua
bulan dalam setahun. Ada yang namanya libur musim panas, libur natal dan tahun baru, hingga libur Paskah bisa sampai satu minggu. Bandingkan dengan Indonesia yang rata-rata libur nasionalnya ada 12 hari
dalam setahun, dengan cuti bersama 6-8 hari.
Hal ini memang tidak bisa dibandingkan karena
adanya perbedaan sosial ekonomi, produktivitas dan etos kerja. Di negara-negara
industri maju, dimana yang bekerja adalah kebanyakan mesin, maka produktivitasnya
tinggi. Para pekerja hanya berperan sebagai operator, karena berhadapan dengan
mesin tentu diperlukan skil dan disiplin yang tinggi.
Produktivitas yang tinggi maka menghasilkan gaji
yang tinggi pula. Sehingga tidaklah heran, jika kemudian mereka bisa berlibur
ke berbagai negara. Pada saat libur, mereka benar-benar menikmati masa liburan
dengan sepuas-puasnya. Liburan memang digunakan sebaik mungkin untuk
bersenang-senang dan mengembalikan semangat kerja. Sehingga ketika masa liburan
habis, mereka benar-benar disiplin masuk kerja kembali. Tidak ada tradisi
mangkir atau memperpanjang masa liburan secara sepihak.
Liburan
Negara kita memang tidak bisa menerapkan masa
liburan panjang seperti mereka, mengingat kita perlu bekerja lebih keras, lebih
banyak, dan lebih efisien lagi untuk mengejar ketertinggalan kita di bidang
ekonomi. Harus diakui, produktivitas kerja bangsa kita rendah, baik karena
keterbatasan alat dan sarana, juga karena faktor mentalitas.
Berbeda dengan mereka yang telah melewati masa
liburan dengan suasana yang menyenangkan, rileks dan nyaman, sehingga etos
kerja kembali terbangun. Di Indonesia yang terjadi justru sebaliknya. Ketika
masa liburan yang terjadi adalah kelelahan yang luar biasa. Jalur mudik dan
arus balik yang macet, jalan yang rusak parah, dan berdesak-desakan di bus,
kereta api, dan kapal laut. Sehingga ketika akan masuk kerja kembali, justru stres
dan kelelahan yang didapat. Akhirnya untuk masuk kerja kembali menjadi malas,
etos kerja justru menurun setelah melewati masa liburan.
Penambahan hari
libur hari raya diharapkan menggerakkan roda perekonomian
terutama di daerah-daerah tempat tujuan mudik, yang kemudian meningkatkan
pemasukan dan produktivitas di daerah-daerah. Silaturahmi keluarga demi
mempererat tali kekeluargaan juga diharapkan maksimal dengan adanya
perpanjangan libur hari raya. Namun mengingat kondisi infrastruktur
jalan dan transportasi yang jauh dari memadai, dikhawatirkan terjadi penumpukan
massa dan kendaraan di jalur mudik yang berpotensi rawan kecelakaan dan tindak
kriminal.
Perlu dipikirkan
bersama agar cuti bersama dapat berjalan efektif dan menjadi momentum untuk
menyegarkan diri agar etos dan produktivitas kerja meningkat. Kebijakan cuti
bersama yang selama ini berlaku di Indonesia mempunyai ekses yang tidak
produktif, karena masyarakat
dipaksa libur dan didorong untuk mudik massal secara bersamaan dalam satu waktu.
Ada yang mengusulkan libur lebaran cukup dua hari saja, sedangkan libur selebihnya adalah cuti tahunan. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengkritik penerapan cuti bersama
pada masa lebaran karena merupakan salah satu bentuk intervensi pemerintah terhadap
cuti yang seharusnya ditentukan sendiri oleh pegawai. Cuti seharusnya merupakan
suatu bentuk pilihan yang ditawarkan kepada karyawan dalam menentukan waktunya.
Etos Kerja
Cuti bersama yang
berimplikasi pada mudik massal justru melelahkan dan tidak menyegarkan fisik
maupun psikis. Maka yang terjadi adalah, usai cuti bersama justru etos kerja
menurun. Tak jarang ada yang sengaja memperpanjang liburannya.
Di sektor swasta
hal tersebut barangkali bisa dicegah dan diminimalisir dampaknya karena masing-masing
perusahaan punya aturan yang keras dan tegas berkaitan dengan kedisiplinan dan
tingkat kehadiran para pekerjanya. Tapi sektor pelayanan publik yang melibatkan
aparat birokrat nyaris lumpuh total selepas liburan Idul Fitri. Berdasarkan
tradisi yang sudah berjalan puluhan tahun, aparat birokrat (PNS) biasanya
mangkir kerja antara satu sampai tiga hari selepas liburan Idul Fitri. Sehingga secara teori, seharusnya masuk
kerja kembali hari Kamis (23/07) tapi kenyataannya banyak yang baru kerja
kembali pada hari Senin (27/07).
Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi sebenarnya telah mempersilakan
pimpinan institusi pemerintahan mulai dari tingkat kelurahan hingga di atasnya untuk
memberi sanksi bagi pegawai yang membolos tanpa keterangan usai libur Hari Raya
Idul Fitri. Sudah ada peraturan yang jelas tentang disiplin pegawai negeri
sipil, sehingga pimpinan institusi terkait tidak perlu ragu dan takut lagi.
Sanksi bagi
pegawai tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah No.53 Tahun 2010 tentang Disiplin
Pegawai Negeri. Ada beberapa jenis sanksinya, mulai dari administrasi,
peringatan hingga pemecatan, tergantung tingkat kesalahan. Bahkan, kalau
atasannya tidak memberi sanksi bagi pegawai yang mangkir tanpa alasan tersebut,
atasannya juga kena sanksi.
Tapi
dalam praktiknya peraturan tetaplah peraturan yang hanya tegas di atas
kertas. Himbauan, peringatan dan ancaman
sanksi kepada PNS yang mangkir kerja selepas liburan Idul Fitri kerap
didengungkan. Inspeksi mendadak (sidak) yang sering dilakukan kepala instansi,
kepala dinas, hingga kepala pemerintahan daerah pun seakan tidak cukup ampuh
untuk mengurangi tradisi kemalasan ini.
Adalah hal yang
biasa ketika usai cuti bersama dalam suatu instansi pemerintahan yang hadir
cuma 3-5 orang padahal jumlah pegawai ada ratusan orang. Dan
yang hadir ini pun ketika itu tidak langsung bekerja melayani masyarakat,
tapi lebih banyak mengobrol dengan alasan silaturahmi, dan ketika tengah hari
pun mereka sudah pulang.
Tradisi ini terus
berlanjut karena tidak ada tindakaan nyata dan tegas. Hukuman yang diberikan
paling-paling cuma teguran atau peringatan tertulis. Tidak ada sanksi penurunan
atau pengurangan angka kredit, penundaan kenaikan pangkat atau bahkan pemecatan.
Akibatnya mereka biasa saja ketika melangggar aturan tersebut.
Untuk itu,
masyarakatlah yang harus maklum. Jangan pernah mengurus suatu keperluan di kantor
pemerintahan seusai liburan Idul Fitri. Kantor-kantor pemerintah masih kosong,
pegawai yang ada masih asyik melanjutkan liburannya, kalaupun ada yang hadir
masih melakukan silaturahmi dan halal bihalal. Dari pada kecewa tidak
terlayani, maka datanglah seminggu atau dua minggu setelah liburan Idul Fitri
usai.
Sistem liburan dan
cuti bersama ini perlu dikelola dengan baik. Perlu dicarikan solusi agar
liburan dan cuti bersama tidak menjadi hal yang melelahkan bagi masyarakat,
yang pada gilirannya justru menurunkan semangat ketika masuk kerja kembali.
Cuti bersama harus dijadikan sarana menyegarkan fisik dan psikis untuk
meningkatkan etos kerja secara efektif. ***