Di Bawah
Bayang-bayang Negara Gagal
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat dalam Kolom OPINI Harian Analisa Medan, 22 Maret
2012
Dari hari ke hari, kehidupan orang
kebanyakan di negeri ini semakin suram saja. Puluhan juta jumlah orang miskin
di negeri yang kaya ini, sepertinya bagi pemerintah kemiskinan
tak lebih dari sekadar deretan angka statistik tanpa makna yang bisa
direkayasa kapan saja.
Banyak orang bertanya, bagaimana
mungkin negara
yang memiliki kekayaan sumber daya alam berlimpah belum juga keluar dari kemiskinan? Tidak adakah kolerasi positif
antara melimpahnya sumber daya alam itu dengan kesejahteraan rakyat?
Selama tahun 2011 ada dua ironi
besar yang menimpa Indonesia menurut
kacamata dunia internasional. Pertama, pada awal tahun 2011,
Indonesia menurut lembaga
The Fund for Peace dan majalah Foreign Policy tentang failed state index (indeks negara gagal), Indonesia berada di posisi ke 61.
Semakin tinggi peringkat suatu
negara dalam indeks itu berarti semakin mendekati negara gagal. Indeks tersebut
memasukkan 177 negara ke dalam empat posisi dari segi dekat jauhnya terhadap
kategori negara gagal, yaitu posisi waspada (alert), dalam peringatan
(warning), sedang (moderate), dan bertahan (sustainable).
Selama periode 2005-2010, Indonesia
selalu berada dalam kategori negara ”dalam peringatan”. Posisi itu lebih dekat
jaraknya dengan posisi ”waspada” negara gagal ketimbang dengan posisi
”bertahan”. Indonesia bahkan belum pernah masuk di zona negara moderat.
Indonesia di ambang negara gagal
bisa dilihat dari indikator umum dari sifat-sifat negara gagal. Menurut indeks
itu, ciri-ciri umumnya antara
lain, negara dengan pemerintah pusat yang lemah atau tidak efektif dalam
mengendalikan pemerintah daerah, kelumpuhan pelayanan publik, penyebarluasan
korupsi dan kriminalitas, eksodus penduduk ke luar negeri, serta memburuknya
kehidupan perekonomian.
Proyeksi failed state itu didasarkan
pada faktor sosial, ekonomi, dan politik. Berdasarkan faktor itu, secara umum
perkembangan Indonesia makin memburuk. Secara sosial, pertumbuhan penduduk dan
arus buruh migran (TKI) tak
bisa dikendalikan. Secara ekonomi, kesenjangan ekonomi makin melebar,
kemunduran ekonomi membayang dalam melambungnya harga-harga, cadangan pangan
menipis, serta kemiskinan dan pengangguran tinggi.
Menurut Peter Burnell dan Vicky
Randall (2008), negara gagal dicerminkan pada ketakmampuannya mengorganisasikan
aparaturnya secara efektif, yang mengarah pada kekacaubalauan politik
(political disorder). Hal itu ditandai dengan ketidakjelasan otoritas politik, ketidakefektifan
administrasi publik, dan merajalelanya korupsi. Hukum tidak bisa diterapkan,
ketertiban umum tak bisa dipelihara, kohesi sosial membusuk, keamanan sosial
(terutama bagi rakyat miskin) menghilang, legitimasi dan
kepercayaan rakyat kepada pemerintah pun memudar.
Sementara Noam Chomsky (2006)
mengatakan setidaknya ada dua karakter utama yang membuat suatu negara dapat
disebut sebagai negara gagal. Pertama, negara yang tidak memiliki kemauan atau
kemampuan melindungi warganya dari berbagai bentuk kekerasan, dan bahkan
kehancuran. Kedua, tidak dapat menjamin hak-hak
warganya, baik di tanah air sendiri maupun di luar negeri, dan tidak mampu menegakkan dan
mempertahankan berfungsinya institusi-institusi demokrasi.
Rendahnya IPM
Ironi kedua, kecenderungan Indonesia
sebagai negara
gagal di atas semakin menguat pada awal November 2011. Badan Pembangunan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) merilis, indeks pembangunan manusia (IPM)
Indonesia berada di urutan ke-124 dari 187 negara yang disurvei. IPM Indonesia
hanya 0,617, jauh di bawah Malaysia di posisi 61 dunia dengan angka 0,761.
Pembangunan manusia Indonesia bukan
saja tidak serius, juga terhimpit di antara kompetisi politik kekuasaan yang
memperebutkan harta dan takhta.
Rakyat terjebak dalam turbulensi kekuasaan yang dikendalikan politisi dengan target jangka
pendek sehingga pembangunan kehilangan basis kemanusiaan.
Keterbatasan modal ekonomi, sumber daya alam yang semakin
menipis dan
tantangan di era globalisasi dengan pasar bebas, seharusnya menyadarkan kita
bahwa pembangunan manusia lebih utama. Manusia harus diletakkan sebagai subyek
pembangunan bukan sebagai obyek. Ketika subyeknya sudah membaik maka akan
berkorelasi positif dengan pembangunan di sektor-sektor yang lain.
Kita bisa memastikan bahwa
kemerosotan mutu manusia Indonesia pasti berhubungan dengan sebagian masyarakat
yang tidak memiliki akses pada sumber daya dan hasil-hasil pembangunan. Negara
dapat saja mengajukkan argumentasi tentang keberpihakan anggaran pembangunan
bagi kehidupan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan anggaran untuk
pengentasan kemiskinan. Tapi
anggaran-anggaran untuk rakyat tersebut akan sia-sia karena sikap pejabat yang
korup.
Kemiskinan
Kenapa Indonesia menjadi negara
korup? Mengapa
Indonesia terjerambab lama ke
dalam lubang kemiskinan? Secara ekonomi, di Indonesia jumlah pelaku wirausaha sebagai
penggerak ekonomi saat
ini masih relatif minim. Kaum muda dan terdidik di negeri ini
lebih memilih sebagai PNS karena digaji cukup tinggi, tanpa risiko, ada jaminan
kesehatan, pensiun, dan berpeluang memiliki “rekening gendut”.
Dari populasi yang mencapai sekira
240 juta penduduk, porsi pelaku wirausaha hanya sekitar 0,2%, sedangkan jumlah wirausaha
yang ideal untuk mengurangi pengangguran dan menggerakkan perekonomian suatu
negara itu minimal 2% dari total jumlah penduduk (bandingkan
dengan Malaysia 6% dan Singapura 10%). Sehingga
kemiskinan dan pengangguran masih menjadi fakta tak terbantahkan yang masih
melingkupi sebagian besar rakyat Indonesia.
‘Miskin’ adalah kata dan keadaan akut yang harus dihindari. Manusia hidup hanya sekali di dunia ini bukan ditakdirkan untuk hidup dalam kemiskinan. Di
Indonesia kemiskinan justru dilestarikan, orang-orang miskin tidak diberi
kesempatan untuk maju. Akses-akses agar orang miskin bisa terangkat dari
kemiskinannya justru dirampok oleh para koruptor yang notabene adalah pejabat
publik yang seharusnya melindungi rakyat. Tak pelak sehingga ada rumus yang tak
terbantahkan ‘korupsi=pemiskinan’.
Korupsi di Indonesia
sudah menjadi agama sehingga sulit untuk diberantas. Para pejabat akan
“berjihad” sampai titik darah penghabisan agar praktik korupsi tetap lestari di
bumi pertiwi. Lihatlah tingkah pola anggota DPR yang berencana mengadakan
interplasi karena pemerintah mengeluarkan kebijakan penghentian pemberian
remisi kepada para napi koruptor.
Akibatnya, Indonesia dengan segala kekayaan yang semestinya bisa
mengantarkan bangsa ini menggapai
kesejahteraan menjadi tak
tercapai. Nahasnya, rakyat yang sudah membayar pajak itu, banyak yang miskin,
dikotomi dan ketimpangan sosial terus menggelayut. Mereka terpojok, karena
miskin bukanlah kutukan. Kemiskinan juga bukan disebabkan mereka malas, tak mau
bekerja keras. Sebenarnya masyarakat kita memiliki etos kerja kuat, mereka mau
bekerja apa saja, bahkan jika perlu mengorbankan nyawa dan kehormatannya hanya
agar bisa mendapat sesuap nasi dengan menjadi TKI di luar negeri. Rakyat
Indonesia miskin karena sengaja dimiskinkan oleh para penguasanya sendiri.
Semakin Suram
Secara sosiolgis, kemiskinan lebih bersifat
multidimensi. Bila ditelaah, kemiskinan di negeri ini, lebih disebabkan karena faktor struktural yang dibuat
manusia, baik struktur ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Mereka yang
termisikinkan terkungkung dalam suatu lingkaran kemiskinan
yang tak berujung, vicious circle of proverty (Korupsi yang Memiskinkan, Penerbit Buku Kompas
2011).
Hal ini bisa dibuktikan berdasarkan
data BPS dan Menkokesra. Di mana, anggaran untuk pengentasan kemiskinan naik
setiap tahun, bahkan kenaikannya cukup spektakuler. Tahun 2004, anggaran
kemiskinan sekitar Rp 16,7 triliun, tahun 2005 naik
menjadi Rp 23 triliun, tahun
2006 naik menjadi Rp 42 triliun, tahun
berikutnya (2007) menjadi Rp 51 triliun, tahun 2008, menjadi Rp 63 triliun, tahun 2009 menjadi Rp 66 triliun,
dan tahun 2010 melonjak menjadi Rp 94 triliun. Namun, lonjakan anggaran ini tak
diimbangi dengan penurunan angka kemiskinan yang signifikan.
Secara statistik, jumlah penduduk
miskin pada kurun waktu yang sama adalah pada tahun 2004 sekitar 16,7 %, lalu turun menjadi 16% (2005), naik lagi menjadi 17,8% (2006), kemudian 16,6 % (2007), 15,4% (2008), 14,2% (2009), dan terakhir sekitar 13,3 % (2010).
Nyaris tidak
ada yang percaya dengan data statistik penurunan angka kemiskinan ini.
Kemiskinan bukanlah deretan angka-angka yang bisa dimanipulasi untuk
kepentingan politik dan kekuasaan.
Persoalan kemiskinan direduksi hanya
dengan standard BPS (2010) yang hanya menghitung angka kecukupan gizi kalori
per hari, setara Rp 155.615 per bulan per orang, jauh lebih rendah dari standar
kemiskinan absolut yang dibuat lembaga internasional yang rataanya adalah satu
dolar per kapita per hari atau Rp 255.000 per kapita per bulan. Secara logika
apakah kita bisa hidup layak hanya dengan Rp 155.615 per bulan?
Pemerintah
selalu berrdalih bahwa anggaran untuk pengentasan kemiskinan setiap tahun
selalu naik. Tapi mereka tutup mata, bahwa ekses gejala korupsi masif dan pembusukan moral para
pejabat dan aparat pemerintahan dari pusat hingga daerah semakin merajalela, maka tak bisa dihindarkan pula,
bila anggaran pengentasan kemiskinan pun menjadi lahan basah para koruptor.
Dari hari ke hari, kehidupan orang
kebanyakan di negeri ini semakin suram saja. Dan semakin
suram karena kita hidup di bawah bayang-bayang negara gagal. ***