Fenomena Jokowi-Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta
Oleh : Fadil Abidin
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) bersama dengan Partai Gerakan
Indonesia Raya (Gerindra)
akhirnya menetapkan pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai
calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017 yang akan bertarung dalam Pilkada DKI pada 11 Juli
mendatang.
Pencalonan pasangan ini dinilai fenomenal dan merupakan keputusan yang
berani karena mendobrak semua paham mainstream yang ada tentang latar
belakang kandidat kepala daerah. Terbilang
berani karena keduanya merupakan orang luar Jakarta dan sama sekali tidak
memenuhi demografi mainstream yang selama ini ada.
Selama ini
partai politik masih
terkungkung paham lama soal latar belakang kandidat ketimbang kemampuannya
secara personal. Partai
biasanya menduetkan calon dari kalangan sipil dengan militer, seperti pasangan
Alex Noerdin-Nono Sampono dan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli. Latar etnis juga masih menjadi pertimbangan dalam Pilkada DKI
Jakarta ini sehingga perlu memajukan orang Betawi, seperti pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli.
Pasangan Jokowi-Ahok, sama sekali tidak memenuhi kriteria
demografis mainstream dan kriteria
yang ada. Misalnya, Jokowi orang Solo, sementara Ahok orang Tionghoa yang berasal dari Belitung. Pasangan ini
terlihat lebih menitikberatkan pada kredibilitas dan track record yang nyaris sempurna. Kedua
pasangan ini sama-sama dari kalangan sipil.
Pasangan Jokowi-Ahok
memiliki takdir politik yang unik.
Mengingatkan kita pada cerita persahabatan “Joko-Aceng” yang pernah tayang di
tv beberapa tahun lalu. Keduanya berasal dari latar belakang kepala
daerah sebagai bupati/walikota. Joko Widodo merupakan Walikota Solo. Sedangkan Ahok, sebelum menjadi
anggota DPR RI, tercatat sebagai Bupati Belitung Timur periode 2005-2010.
Dua figur dari daerah ini memiliki reputasi baik di era
kepemimpinan di daerahnya masing-masing. Jokowi, dikenal piawai menata kota
Solo terutama menyangkut penataan kota seperti persoalan Pedagang Kaki Lima
(PKL), tanpa adanya kekerasan antara aparat Satpol PP dengan para pedagang di
Taman Banjarsari yang nyaris tidak ada gejolak. Dia juga memberi syarat pada investor untuk mau memikirkan
kepentingan publik hingga melakukan komunikasi langsung rutin dan terbuka yang
disiarkan oleh televisi lokal dengan masyarakat. Jokowi yang dinobatkan sebagai walikota terbaik tahun 2010-2011 lalu,
dikenal sebagai sosok yang sederhana, bersahaja dan merakyat.
Sedangkan Ahok yang menjadi Bupati Belitung Timur (2005-2010)
juga dikenal sebagai sosok bersih. Pada 2007, bupati pertama dari keturunan Tionghoa ini
mendapat penghargaan sebagai Tokoh Anti Korupsi dan Gerakan Tiga Pilar
Kemitraan. Politisi yang kini menyeberang ke Partai Gerindra ini juga
membuat kebijakan fenomenal dengan menggratiskan biaya pendidikan dari tingkat
sekolah dasar hingga perguruan tinggi kepada seluruh warga Belitung Timur.
Fenomena Baru
Kemunculan Jokowi-Ahok juga memiliki pesan penting, bila
partai politik selama ini identik
dengan praktik politik transaksional
mirip kartel. Praktik jual beli dukungan dimana sang calon harus setor uang dengan jumlah yang besar ke partai
terutama jelang pilkada,
terbantahkan dengan majunya dua kandidat yang berasal dari daerah ini.
Fenomena saweran spontan
para kader PDIP hingga
mencapai Rp2 miliar dalam forum Rapat Kerja Daerah Khusus PDIP DKI Jakarta (18/3/2012), seolah memberi pesan
kebangkitan politik kerakyatan yang lama raib dalam politik praktis selama era
reformasi ini. Bahwa seharusnya para
pendukunglah yang memberi dukungan moral maupun material kepada sang
calon.
Kompetisi di Pilkada
DKI tentu saja lebih keras dibandingkan dengan provinsi lain. Sebagai
pusat kekuasaan negara, Jakarta memiliki segalanya yang relatif lebih baik dibandingkan dengan wilayah
lain. Meskipun jumlah pemilih sekitar
7,5 juta orang, kualitas pemilih di Jakarta jauh lebih rasional dibanding
daerah lain. Artinya, dukungan mesin politik partai saja tidak cukup, mesti
disokong kualitas personal tiap calon.
Berbekal persepsi masyarakat soal kepemimpinannya di Solo
yang dinilai berhasil selama menjabat walikota hingga periode kedua, Jokowi
dinilai punya modal dalam kualitas personal tersebut untuk bersaing dengan
kandidat lain. Popularitasnya di lingkup nasional, baik karena program-program
pemerintahannya yang populis maupun terakhir lewat kampanye mobil Kiat Esemka,
menambah kepercayaan dirinya untuk maju sejajar dengan kandidat lain.
Munculnya pasangan
Jokowi-Ahok, boleh jadi merupakan bentuk demokrasi paling
menarik. Hampir semua media
baik media cetak, media televisi dan berita online menyoroti pencalonan
Jokowi-Ahok ini, Betapa tidak, dengan headline yang nyaris sama "munculnya politik kaum
minoritas", “politik di luar
pakem”, “politik di luar mainstrem” dan sebagainya diusung sebagai judul utama menyoroti pasangan
ini. Fenomena ini tidak lepas memunculkan dua sisi antara pro dan kontra,
antara menghujat dan mendukung, antara memberikan statement dan mempertanyakan.
Mungkin karena
popularitas yang begitu melejit dibanding calon lainnya, maka isu-isu lama
dimunculkan oleh beberapa kalangan. Isu-isu berbau SARA, istilah pri dan
non-pri, Islam dan non-Islam, hingga cap tudingan sebagai calon gubernur impor.
Pengembusan isu-isu ini jelas patut disayangkan. Seharusnya para calon, partai
politik, simpatisan dan seluruh pendukung yang ada bersikap elegan untuk tidak
memasuki wilayah yang tidak produktif ini.
Jika kita bergeser sedikit ke masa Pemerintahan Gusdur (alm),
boleh jadi fenomena munculnya kelompok minoritas (kaum Tionghoa) tidak lepas dari kebijakan yang
dikeluarkan Gusdur sendiri. Dari sini, kemudian banyak bermunculan tokoh-tokoh, baik budaya maupun
politisi dari kaum Tionghoa di
pentas lokal maupun nasional.
Satu hal
yang paling menarik yang saya lihat, fenomena kemunculan Ahok (mewakili
politisi kaum minoritas) yang paling utama bukan dari minoritasnya semata, tapi
dari wilayah mana dia muncul. Ahok
(Tionghoa-Kristen) justru terpilih menjadi Bupati Belitung Timur di mana mayoritas penduduknya (75%)
adalah Melayu-Muslim.
Figur Representasi
Pasangan
Jokowi-Ahok dapat disebut fenomenal, ada beberapa alasan yang perlu kita perhatikan. Pertama, Jokowi-Ahok adalah representasi pri dan non pri. Jokowi yang wong Jowo asli (mewakili kelompok pribumi), berpasangan dengan Ahok
yang adalah keturunan Tionghwa (mewakili kelompok non-pri). Sebagai sebuah fenomena baru dalam Pilkada DKI, tentu menarik untuk diamati apakah pasangan ini
benar-benar mampu menarik suara dari kelompok pri dan non pri.
Kedua, Jokowi-Ahok merupakan representasi mayoritas-minoritas. Jokowi yang Jawa jelas mewakili kelompok
mayoritas masyarakat Indonesia, di
Jakarta orang Jawa menurut sensus 2000 ada sekitar 35%. Sementara itu,
Ahok yang Tionghoa mewakili kelompok minoritas yang selama ini menjadi “massa
diam” yang hanya dijadikan obyek selama pilkada maupun pemilu
Ketiga, Jokowi-Ahok merupakan representasi pluralitas
Indonesia. Jokowi
yang Islam berpasangan dengan Ahok yang Kristen, jelas fenomena menarik yang
sangat langka dan belum
pernah ada dalam sejarah Pilkada
DKI.
Keempat, Jokowi-Ahok
adalah representasi pemimpin yang sudah terbukti sukses, bersih, transparan
dan peduli pada rakyat. Dengan track record yang sama-sama “mentereng” sebagai walikota dan bupati terbaik ketika
memimpin daerahnya, Jokowi-Ahok merepresentasikan birokrat yang ideal, yang
bekerja sepenuh hati untuk mensejahterakan rakyatnya.
Kelima, keduanya masih muda. Pasangan ini merupakan paling muda di antara calon
lainnya. Jokowi mengaku optimistis lantaran dirinya bersama Ahok adalah
pasangan muda. "Kami pasangan muda. Jokowi muda, Basuki muda. Yang muda
lebih mudah lakukan perubahan. Kami
memang tidak ingin semua berjalan monoton, terikat rutinas. Kita akan lakukan
perubahan," kata Jokowi seusai pendaftaran di Kantor KPUD DKI Jakarta (19/3/2012).
Jokowi barangkali
satu-satunya kepala daerah yang mampu bersahabat dan dicintai karena ia
“memanusiakan” rakyatnya. Keberhasilannya dalam menata PKL tanpa kekerasan tapi
dengan cara yang penuh kesabaran, persuasif dan memberikan solusi yang lebih
baik adalah bukti konkrit bagiamana seorang pemimpin harus mencintai rakyat.
Ia memberi
keteladanan tentang kesederhanaan, semua gajinya sebagai walikota ia sumbangkan
untuk orang yang membutuhkan, mobil dinasnya (sebelum mobil Kiat Esemka ada)
adalah mobil keluaran tahun 90-an dan pernah disebut sebagai mobil dinas kepala
daerah yang paling bobrok seluruh Indonesia. Ia memang bersahaja, ia tidak
perlu sekat-sekat formalitas dan protokoler. Selama menjadi Walikota Solo, ia
hanya berkantor 1 jam, selebihnya turun langsung ke lapangan.
Terobosannya
telah memberikan inspirasi dan
semangat bagi generasi muda. Ia memberikan keteladanan berbentuk ide
kreatif, pandai mengangkat isu lokal menjadi isu nasional, cinta produk dalam
negeri ala mobil Kiat ESEMKA,
telah menjadikan dirinya
sendiri menjadi ‘juru bicara’ atas prestasi
yang dimiliki.
Begitu pula Ahok,
mantan bupati Belitung Timur. Ia seorang Tionghoa pertama yang terpilih menjadi bupati di Indonesia.
Dipercaya rakyatnya sebagai kepala daerah yang tak hanya sukses, tetapi
bersih dalam memerintah. Program
sekolah gratis dan pendidikan gratis telah menjadi inspirasi bagi kepala daerah
lain untuk menirunya.
Ibukota Jakarta
sebagai miniatur negara Indonesia, sudah saatnya dipimpin figur yang benar-benar amanah, tanpa
melihat latar belakang figur itu. Ini berarti pula, nasionalisme tidak membedakan asal daerah, suku, etnis dan agama. Nilai-nilai ini selaras dengan falsafah Pancasila yang menggenggam
azas Bhinneka Tunggal Ika. ***