Kemerdekaan
Bangsa Tempe
Oleh : Fadil
Abidin
Tak terasa, usia Republik ini sudah mencapai 67
tahun. Sudahkah kita benar-benar merdeka? Secara politik kita memang sudah
merdeka. Tapi dalam urusan yang paling mendasar, yaitu urusan perut rakyat,
kita belum sepenuhnya merdeka. Dalam urusan pangan negara kita belum berdaulat. Untuk urusan
nasi dan tempe saja kita masih impor dari luar negeri.
Bung Karno pernah berteriak lantang
dalam suatu rapat umum di depan ratusan ribu pendengarnya, “Janganlah kita sekali-sekali menjadi bangsa
tempe!” Di sini Bung Karno bukan berteriak soal tempe sebagai makanan kelas
rendah bangsa kita, tapi sebagai ‘makanan yang diinjak-injak’. Namun bagian utama
yang banyak diingat orang akan quotes ini adalah stigmatisasi ‘tempe’ sebagai sesuatu hal yang
dianggap remeh dan sepele.
Lambang kemakmuran bangsa Indonesia
adalah terhidangnya ayam goreng, steak daging, roti dengan keju serta makanan
ala Barat lainnya. Tempe dianggap sebagai ‘makanan prihatin’ untuk rakyat
berkasta rendah. Sehingga amat susah memisahkan tempe (juga tahu) ke dalam meja
makanan orang Indonesia. Makanan prihatin orang Indonesia itu ada empat hal: nasi,
tempe (tahu), kerupuk dan kecap.
Seharusnya kita tak perlu malu atau
merasa inferior bila disebut ‘bangsa tempe’. Justru bangsa tempe lebih hebat
ketimbang sebutan bangsa maritim atau bangsa agraris. Bangsa maritim, jika
ingin makan ikan cukup dengan pergi ke laut. Ikannya sudah disediakan oleh
Tuhan, nyaris tanpa kreativitas, kecuali membuat perahu, jaring atau kail.
Sedangkan bangsa agraris adalah bangsa
yang amat tergantung dengan kondisi alam yang subur dan tanah yang luas.
Setelah menanam, paling-paling yang dilakukan adalah nongkrong di warung kopi
menunggu musim panen tiba.
Indonesia adalah negeri bahari dengan
laut yang luas, kaya akan ikan dan hasil laut lainnya. Indonesia sekaligus juga
negeri agraris karena dianugerahi tanah yang luas, subur dan iklim yang
bersahabat. Tapi dengan dua kondisi alam tersebut membuat bangsa ini menjadi
terlena.
Bandingkan dengan bangsa tempe. Untuk
memakan tempe diperlukan kerja keras dan kreativitas. Untuk membuat tempe, kita
perlu menanam kedelai, merawat, menjaga, memanen, menjemur, mengupas kulit,
mencuci, menggiling, merebus, menciptakan ragi (jamur), memberi ragi, membungkus,
dan memfermentasikannya selama satu hari.
Jadi jangan anggap sepele dengan tempe
karena tempe mengandung nilai gizi yang tinggi, ataupun malu disebut sebagai
bangsa tempe. Justru kita harus bangga, sebab untuk membuat tempe diperlukan proses.
Bukankah dahulu untuk mencapai kemerdekaan bangsa kita juga melalui banyak
proses?
Mesin Waktu
Pemerintah saat ini tengah
gencar menggalakkan program makan umbi-umbian sebagai pengganti nasi sebagai
makanan pokok dalam “one day no rice”. Slogan program ini menggunakan bahasa
Inggris, tapi ironisnya program ini ditujukan kepada golongan menengah ke bawah
yang kebanyakan tak mengerti bahasa Inggris. Orang-orang kaya dari golongan
berpunya pasti ogah makan umbi-umbian sebagai pengganti nasi. Mereka tentu
lebih memilih gandum, roti atau mi, sebagai pengganti nasi yang bahan dasarnya
diimpor dari luar negeri.
Program “one day no rice”
mengindikasikan dengan jelas bahwa negara ini belum merdeka atas pangan. Stok
beras nasional menurun dan Indonesia tergantung kepada beras impor. Pemerintah merasa
harus ikut turut campur dalam urusan perut dan apa yang harus dimakan oleh
rakyatnya. Kemudian dibuatlah program kamuflase bernama diversifikasi pangan,
rakyat dianjurkan makan umbi-umbian yang stoknya berlimpah di tanah air.
Peristiwa ini seperti mesin waktu yang berputar
kembali ke zaman penjajahan Belanda pada abad ke-18. Pada masa itu di Pulau
Jawa terjadi krisis pangan karena Gubernur Jenderal Van Den Bosch menerapkan
kerja rodi. Seluruh rakyat Jawa diharuskan menanam tanaman perkebunan seperti
tebu dan karet.
Akibat kerja rodi, sawah-sawah
terlantar, padi susah didapat dan rakyat pun tertimpa kelaparan. Mereka pun memakan
makanan yang dihasilkan dari tanaman yang gampang tumbuh seperti ubi dan singkong.
Rakyat Jawa pun terkena penyakit kurang gizi akibat makan ubi dan singkong
terus-menerus.
Tapi orang Jawa memang terkenal ‘tahan
banting’ dan banyak akalnya. Di sela-sela kerja rodi mereka juga menanam
kedelai. Kedelai ini kemudian diolah menjadi tempe. Salah satu versi sejarah
menyatakan bahwa tempe ditemukan pada era tanam paksa, tahun 1875 dengan meniru
makanan Cina yang bernama koji,
kedelai yang difermentasikan menggunakan kapang atau sejenis jamur Aspergillus.
Tempe inilah yang membuat rakyat Jawa bertahan hidup, sebab tempe memiliki
kandungan gizi dan protein yang amat tinggi.
Tapi ada juga yang
berpendapat bahwa tempe adalah makanan asli dari Indonesia. Makanan
tradisonal ini sudah dikenal sejak berabad-abad lalu, terutama dalam tatanan
budaya makan masyarakat Jawa, khususnya di Yogyakarta dan Surakarta. Dalam
manuskrip Serat Centhini dengan seting Jawa abad ke-16 telah ditemukan kata
"tempe". Hal ini
menunjukkan bahwa mungkin pada mulanya tempe diproduksi dari kedelai hitam,
berasal dari masyarakat pedesaan tradisional Jawa.
Pada zaman penjajahan
Belanda tempe terkenal untuk mengatasi gizi buruk bagi pekerja rodi. Pada
zaman pendudukan Jepang di Indonesia, para tawanan perang Eropa yang diberi makan tempe terhindar
dari disentri dan busung lapar. Sejumlah penelitian yang diterbitkan pada tahun
1940-an sampai dengan 1960-an juga menyimpulkan bahwa banyak tahanan Perang
Dunia II dari Eropa yang berhasil
selamat dari kematian karena makan tempe.
Masalah Tempe
Kemerdekaan yang kita raih tak terlepas dari jasa
tempe. Para pejuang dahulu konon sering menjadikan tempe sebagai logistik yang
penting, ringan dan mudah dibawa, ketimbang membawa ayam atau kambing misalnya.
Tempe menjadi makanan bergizi dan penuh energi sehingga stamina tempur pejuang
Republik tetap tinggi, tak kalah dengan tentara Belanda yang makan roti dan
keju.
Pada akhir
1960-an dan awal 1970-an terjadi sejumlah perubahan dalam pembuatan tempe di
Indonesia. Plastik (polietilena) mulai menggantikan daun pisang untuk
membungkus tempe dan penggunaan ragi
berbasis tepung (diproduksi oleh LIPI
tahun 1976). Ragi ini mulai menggantikan laru (jamur tempe) tradisional. Kedelai impor mulai menggantikan kedelai lokal, kedelai impor dianggap lebih besar dan
berkualitas baik. Produksi tempe meningkat dan industrinya mulai
dimodernisasi pada tahun 1980-an.
Ketergantungan akan kedelai impor juga meningkat.
M. Astawan pernah menulis dalam Kompas
(3/7/2003), Indonesia
merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi pasar kedelai
terbesar di Asia. Sebanyak 50% dari konsumsi kedelai Indonesia dilakukan dalam
bentuk tempe, 40% tahu, dan 10% dalam bentuk produk lain (seperti tauco, kecap,
dan lain-lain). Konsumsi tempe rata-rata per orang per tahun di Indonesia saat
ini diduga sekitar 6,45 kg. Menurut budayawan Onghokham, tempe yang kaya
protein telah menyelamatkan kesehatan penduduk Indonesia yang padat dan
berpenghasilan relatif rendah.
Produksi tempe merupakan industri yang
berkembang amat merakyat, murah harganya dan menjadi ciri khas paling dasar
bangsa Indonesia, kebanyakan orang Indonesia memang suka dengan tempe.
Saking merakyatnya, masakan ini pernah menjadi sangat inferior dalam kedudukan gengsi
sosial bangsa kita. Gambaran tempe sebagai makanan rakyat ini terlihat sekali
dalam novel Para Priyayi
karangan Umar Khayam yang dirilis tahun 1994. Novel yang amat menarik ini masih
menempatkan tempe sebagai makanan kelas rendahan.
Di era Orde Baru, ketersediaan pangan
adalah syarat politik paling utama. Kita punya Bulog sebagai badan yang
menyangga semua jenis kebutuhan pokok rakyat mulai dari beras, gula, minyak
goreng, kedelai, hingga terigu. Presiden Suharto bahkan sampai menyiapkan
panggung teater ketersediaan pangan dengan aktor utamanya adalah Harmoko,
rakyat sampai hapal setiap Rabu malam di Laporan Khusus TVRI setelah Dunia
dalam Berita jam 9 malam berakhir. Ia kerap berkata “Atas petunjuk bapak
Presiden…harga cabe keriting….bla..bla.”
Saat itu bangsa Indonesia mengalami
masa kepastian pangan luar biasa. Tapi di balik kedigdayaan Pak Harto dan politik
logistiknya, di masa itu terkenal juga kisah “tempe bongkrek”, tempe yang terbuat
dari ampas kelapa, jenis tempe ini lebih inferior lagi ketimbang tempe
biasa. Tempe bongkrek mengakibatkan kasus keracunan dan kematian di beberapa
daerah pada waktu itu.
Kini tiada lagi kepastian pangan
seperti masa Orde Baru. Beberapa waktu lalu kedelai menghilang di pasaran, tempe
menjadi barang langka. Harga kedelai melonjak Rp 8.000/kg karena diakibatkan
anomali cuaca di Amerika. Keberadaan tempe di Indonesia rupanya tergantung dari
keadaan di Amerika. Pemerintahan Presiden SBY pun tergagap soal tempe. Mereka
bersidang soal tempe, kelangkaan tempe sudah menjadi semacam SOB, Staat van
Oorlog en Beleg, negara dalam keadaan darurat, bersiap perang atas
kedaulatan pangan kita. Lalu kapan ‘bangsa
tempe’ ini akan benar-benar merdeka? ***