Mengendalikan Harga ala Malaysia dan Venezuela


Mengendalikan Harga ala Malaysia dan Venezuela
Oleh : Fadil Abidin

            Istri saya dulu ketika masih gadis pernah menjadi TKW di Johor Bahru, Malaysia. Selama dua tahun bekerja di sana, ia tidak pernah mengalami kesusahan akibat kenaikan harga ketika menjelang Lebaran. Ia pun mempunyai hipotesis tersendiri, bahwa pemerintah Malaysia jauh lebih hebat ketimbang pemerintah Indonesia dalam mengendalikan harga barang kebutuhan rakyat.

            Kenaikan harga barang menjelang Ramadan dan Lebaran adalah hal yang biasa di negeri ini. Kenaikan ini seperti ritual tahunan setiap datangnya Lebaran. Anehnya, pemerintah dibuat tak berdaya menghadapi fenomena tahunan itu. Rakyat dibuat menjerit akibat kenaikan harga sembako yang kian tak terjangkau. Dalam beberapa hari terakhir, harga daging ayam, daging sapi, ikan, telur, beras, gula, hingga sayuran mengalami kenaikan 10%-35%. Harga-harga kebutuhan lain juga mengalami kenaikan. Pemerintah menganggap hal itu tidak terelakkan. Seakan tidak mau berpikir keras guna mencari solusi.
Namun, ada jawaban pemerintah yang lebih “ngawur” lagi. Menteri Perdagangan RI Gita Wirjawan menganjurkan masyarakat mengubah pola makan. Katanya, supaya harga komoditi tidak naik, maka masyarakat seharusnya mengurangi konsumsi beras dan gula secara berlebihan. Sedangkan Menteri Pertanian mencanangkan program “one day no rice” atau satu hari tanpa makan nasi. Pola makan nasi didiversifikasi kepada umbi-umbian yang lebih banyak dihasilkan oleh petani Indonsia. Sebuah kebijakan yang patut dipertanyakan.
Permintaan sembako memang meningkat setiap datangnya hari besar keagamaan, dan  mestinya hal itu bisa diantisipasi. Bukankah momen kenaikan harga sembako itu sudah bisa diprediksi. Itulah letak persoalannya, pemerintah tidak menjalankan manajemen stok. Sudah begitu, pemerintah juga tidak serius memperbaiki manajemen distribusi. Akhirnya, ketika momentum kenaikan tiba, maka pemerintah terkadang lepas tangan.
Pemerintah terkesan sangat takut mengintervensi pasar. Maklum, manajemen stok itu berarti mengintervensi harga pasar. Sekalipun harga pasar itu sudah sangat irasional, sebagian besar dipicu oleh aksi spekulasi. Bagi pemerintah, mekanisme pasar bisa mengefisienkan segala-galanya. Termasuk harga-harga sembako. Dengan begitu, negara tidak perlu mengintervensi karena hanya menciptakan distorsi. Paling-paling, kalau harga sudah tak terkontrol, pemerintah cuma menggelar “operasi pasar”.
Harga sembako sudah diserahkan pada mekanisme pasar. Sedangkan pasar dipandu oleh logika mencari untung. Di sinilah biasanya persoalan muncul. Terkadang stok atau persediaan masih ada, tetapi di pasar terjadi kelangkaan. Ini bukan sekedar kesalahan spekulan, tetapi ini wujud dari “logika mencari untung” itu. Selain itu, sebagian besar barang kebutuhan pokok rakyat, termasuk daging, beras, tepung terigu, gula, kedelai, bahkan buah-buahan diperoleh atau didatangkan melalui impor. Harga barang-barang ini sangat ditentukan oleh gejolak pasar global.
Cara Malaysia
            Karena pemerintah Indonesia “lebih bodoh” ketimbang pemerintah Malaysia dalam mengendalikan harga, bukankah sebaiknya pemerintah kita belajar ke sana. Jika perlu diadakan studi banding yang melibatkan para anggota DPR yang kerap pelesiran tersebut. Cari tahu kiat-kiat dan cara pemerintah Malaysia dalam mengendalikan harga sehingga dapat mensejahterakan rakyatnya.
Di Malaysia, upaya mengontrol harga dilakukan pemerintah dengan dua cara. Pertama, menerbitkan Price Control Act and Anti Profiteering Act 2010, yaitu Undang-undang Pengendalian Harga dan Anti-Pengambilan Keuntungan yang Berlebih. Kebijakan itu untuk  mengontrol kenaikan harga dan mencegah aksi spekulasi untuk meraih untung besar. Dalam UU itu juga disertakan tanggung jawab pelaku usaha dalam menjelaskan instrumen yang mempengaruhi kenaikan harga. Jika lonjakan harga disebabkan satu instrumen dengan kenaikan tidak wajar, pelaku usaha (pedagang) dapat diancam denda 500 ringgit Malaysia hingga 1.000 ringgit Malaysia atau pidana kurungan maksimal tiga tahun.
Spekulasi, perdagangan gelap, penyeludupan, dan impor barang kebutuhan pokok masyarakat diawasi secara ketat. Pemerintah Malaysia mengawasi dan menutup pintu perbatasan dari barang-barang dari luar dan mencegah komoditas penting seperti beras agar tidak keluar dari negara tersebut.  
Kedua, melalui penguatan kelembagaan yang mengontrol pasar. Kebutuhan pokok masyarakat harus dikuasai pemerintah dan tidak dilempar melalui mekanisme pasar. Lembaga itu juga berperan sebagai penyangga kebutuhan pokok sehingga ketika terjadi lonjakan harga secara tidak wajar, pemerintah harus mampu mengintervensi serta melepas cadangan komoditas untuk menetralisasi harga. Sehingga di Malaysia, walaupun menjelang hari raya tidak ada kenaikan barang yang meresahkan rakyat. 
Pemerintah Malaysia termasuk negara yang berhasil memberikan barang kebutuhan pokok yang cukup dengan harga terjangkau untuk rakyatnya. Kebijakan ini ternyata tidak hanya dinikmati oleh warga Malaysia saja. Tapi juga oleh para TKI/TKW yang bekerja di sana sehingga penghasilan mereka tidak habis hanya untuk membeli bahan pangan, tapi sebagian besar pendapatan mereka tersisa dan dikirimkan ke tanah air.
Menimbang pengalaman istri yang pernah menjadi TKW di Malaysia, hanya sekitar 15% saja pendapatan (gaji) habis untuk makan. Itu pun makanannya sangat mewah, ikan, daging, susu, sayur, dan buah-buahan setiap hari. Bandingkan dengan orang Indonesia di sini yang rata-rata menghabiskan 25-40% penghasilan hanya untuk makan ala kadarnya.   
Cara Venezuela
            Pemerintah Venezuela pada awalnya juga tidak berdaya dalam mengendalikan harga menjelang Natal atau Tahun Baru. Situasi ini membuat rakyat resah. Karena itu, pada bulan Juli 2011 lalu, Presiden Hugo Chavez mengeluarkan UU tentang harga dan biaya adil. Dengan UU baru ini, pemerintah punya kekuasaan untuk mengontrol, menolak atau mengijinkan harga keseluruhan barang atau layanan yang diproduksi, distribusikan, dan dipasarkan di dalam negeri Venezuela. Dengan demikian, pemerintah Venezuela berharap harga-harga barang ekonomi di wilayah Venezuela bisa diakses seluruh rakyat. Ini juga bertujuan untuk mengamankan harga barang dari penimbunan dan aksi spekulasi oleh perusahaan swasta.
Sebuah lembaga khusus dibuat untuk mengatur masalah ini, National Intendancy of Fair Costs and Prices. Lembaga ini berfungsi untuk menjalankan UU, mengatur harga, memeriksa perusahaan, dan memberikan sanksi jika diperlukan. UU ini akan dikenakan kepada semua individu atau perusahaan, apakah di bawah hukum publik atau privat, nasional atau swasta, yang memproduksi, mengimpor, mendistribusikan atau memasarkan barang atau layanan di dalam Venezuela.
Dengan demikian, semua perusahaan komersil, baik berskala besar maupun mikro (termasuk koperasi, profesional lepas, usaha yang mempekerjakan diri sendiri, pedagang kaki lima, restoran, toko roti, toko grosir, toko perabot rumah tangga, apotik, toko mekanik, klinik, layanan medis dan gigi, toko parfum, toko sepatu, pembersih, tokoh dengan perangkat keras) akan terkena oleh program ini.
Menurut pemerintah Venezuela, kebijakan regulasi harga ini terutama ditujukan untuk melindungi rakyat dari kenaikan harga akibat penimbunan dan spekulasi. Pengaturan harga ini untuk mendemokratiskan akses rakyat terhadap barang dan jasa. Langkah tegas pun diambil, pada 26 November 2011, pemerintah mengambil-alih 210 ton susu yang ditimbun oleh perusahaan susu Italia, Permalat. Pemerintah juga mengenakan denda kepada perusahaan susu Swiss, Nestle, karena tindakan serupa.
Usaha pemerintah Venezuela menerapkan hukum kontrol harga ini akan berlangsung beberapa tahap. Pemerintah akan menginventaris barang-barang kebutuhan pokok yang meliputi bahan pangan, sandang, bahan pembersih, obat, alat kesehatan, dan sebagainya yang akan ditentukan harganya oleh pemerintah melalui semacam harga eceran tertinggi. Pemerintah secara resmi akan menempelkan harga barang per satuan di bungkus item produk tersebut. Ini untuk memastikan bahwa item barang yang dijual sesuai dengan harga yang ditetapkan pemerintah.
Pemerintah Indonesia yang “sok pintar” tentu ogah meniru cara Malaysia dan Venezuela dalam mengendalikan harga barang kebutuhan rakyatnya. Selain para pejabatnya yang tidak kreatif, tidak peduli, malas, dan korup, juga terkena virus neolib. Pemerintah Indonesia saat ini tengah berkiblat kepada faham ekonomi liberal yang menyerahkan semua harga kebutuhan rakyat banyak kepada mekanisme pasar. Maka ketika harga-harga itu melonjak tinggi, kita hanya bisa pasrah. Semoga setelah selesai Lebaran harga-harga itu normal kembali. Semoga saja. ***