Menyoal Manajemen Transportasi Mudik


Menyoal Manajemen Transportasi Mudik
Oleh : Fadil Abidin

            Tidak setiap momen kehidupan bisa dijelaskan secara rasional. Buktinya setiap menjelang Idul Fitri kita selalu disibukkan dengan momen ini, yaitu mudik. Jutaan manusia bergerak secara serentak, dari pusat-pusat kota menuju ribuan tempat tujuan, baik ke kota lain hingga menuju kampung halaman yang terpencil.

            Mereka menggunakan segala macam moda transportasi, baik udara dengan pesawat terbang, lewat laut dengan perahu, feri dan kapal-kapal laut, lewat darat dengan kereta api, bus, mobil, hingga mengendarai roda dua. Tak perduli harus menunggu lama, macet, antri panjang, berdesak-desakan, berhimpitan, dan harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Capek dan lelah sudah pasti, tak jarang pula mereka harus mempertaruhkan harta, bahkan nyawa sekalipun agar bisa mudik.
            Persoalannya adalah, apakah manajemen transportasi publik yang dijalankan oleh pemerintah telah berjalan dengan baik? Setiap mudik kita selalu menjumpai ekses-ekses yang selalu muncul dan hampir tidak terawasi, bahkan sepertinya sulit terkendali. Contoh, calo tiket untuk setiap moda transportasi selalu bermunculan, masyarakat pengguna jasa angkutan antri, selain padat, juga di luar batas waktu yang wajar, hanya untuk memperoleh tiket. Pelayanan penumpang oleh operator, antara lain, bus, kereta api, dan kapal laut selama perjalanan terkadang amat tidak nyaman, sering sekali menimbulkan kerugian, kecelakaan sampai membawa korban jiwa.
Kondisi di atas selalu terjadi dan merupakan siklus yang berulang setiap tahun. Itulah tampilan wajah yang bermasalah dari manajemen transportasi publik dalam melayani pemudik dalam jumlah massal. Pemerintah dalam hal ini Departemen Perhubungan selalu tampak tergopoh-gopoh dalam mengkoordinasikan segala sesuatunya.
Khusus pemudik yang menggunakan fasilitas angkutan jalan raya, pemerintah tampaknya belum bertindak dalam konteks melayani pemudik lebih baik. Pelayanan memang diusahakan agar lebih baik dari waktu ke waktu, tetapi belum mencapai pelayanan prima.  Patut dipertanyakan, mengapa perbaikan infrastruktur seperti jalan dan jembatan selalu dilaksanakan menjelang arus mudik? Akibatnya, perbaikan tersebut justru menambah kemacetan. Sebaiknya perbaikan infrastruktur harus diselesaikan sebelum Ramadan tiba.
Fasilitas
Selain itu pihak terkait kurang menambah atau membangun atau merehabilitasi jalan alternatif. Jalur atau jalan alternatif diperlukan untuk mengantisipasi ledakan jumlah kendaraan yang luar biasa, atau misalnya terjadi kecelakaan beruntun, jembatan utama rusak/roboh, banjir dan sebagainya.
Jalur alternatif juga membutuhkan penanganan yang maksimal. Sebanyak 2,17 juta pemudik dengan mobil pribadi dan 1,34 juta pengendara sepeda motor pasti tidak akan tertampung secara memadai pada jalur-jalur utama. Namun, jutaan pemudik tetap lebih memilih macet berjam-jam di jalur utama karena daya dukung jalur alternatif kurang memadai, mulai dari ketersediaan SPBU, penyedia kebutuhan logistik di perjalanan hingga sarana toilet.
Selama ini, walaupun pemudik mengalami kemacetan belasan jam di jalur utama, para pemudik memilih tetap berada pada jalur utama tersebut. Hal ini mungkin dikarenakan konstruksi jembatan lebar, permukaan jalan mulus dan bagus, fasilitas pertokoan, dan adanya SPBU untuk pengisian BBM. Mereka nyaris tidak mau berpindah ke jalur alternatif. Selain karena tidak tahu ada jalur alternatif, bisa jadi karena lintasan jalur alternatif tersebut lebih panjang, kondisi jalan yang kualitasnya masih buruk, serta masih sepi fasilitas pendukung, yang berpengaruh pada kenyamanan dan keamanan dalam perjalanan.
Maka, tugas dan tanggungg jawab pemerintah membangun dan merehabilitasi infrastruktur jalan dan jembatan sebaiknya komprehensif pada semua kawasan agar membantu pemudik yang memilih jalur ini. Apabila infrastruktur berkualitas terbangun pada jalur alternatif, dengan sendirinya memancing bermunculan berbagai fasilitas terkait dengan kebutuhan kendaraan bermotor dan konsumen pengguna jalan, seperti, terminal pengisian BBM, bengkel, warung, dan pertokoan. Semua jaringan usaha masyarakat tersebut merupakan usaha ekonomis produktif yang menciptakan lapangan kerja.
Dinas Perhubungan, Pemda dan Polri adalah instansi pemangku kepentingan atau stakeholders dengan posisi serta peran terdepan atau ujung tombak dalam sistem manajemen transportasi di negeri ini. Instansi tersebut seharusnya berperan lebih aktif, dinamis memberikan andil menjamin kenyamanan perjalanan pemudik sampai tujuan dengan aman.
Banyak hal yang bisa dilakukan instansi tersebut untuk mereduksi bahkan mencegah terjadinya kecelakaan di jalan raya. Operasi Lalu Lintas, apapun nama operasinya harus bertujuan agar masyarakat merasa aman dan nyaman dalam berlalu lintas. Kehadiran polisi harus bisa melancarkan lalu lintas, bukan malah menghambat.
Selain itu, pemeriksaan terhadap kendaraan dan supir harus tetap dilakukan. Kendaraan pengangkut mudik harus diperiksa kelayakannya. Tes narkoba, obat-obatan dan minuman keras wajib dijalani oleh semua supir, termasuk pemeriksaan fisik dan psikis. Kecelakaan di jalan raya menurut statistik lebih disebabkan oleh faktor human error, yaitu faktor pengendaranya.
Manajemen Transportasi
Pemerintah juga harus tetap konsisten menindak perusahaan transportasi yang menaikkan tarif secara tidak wajar. Pemerintah telah memberlakukan tuslah yang memberikan keleluasaan bagi perusahaan untuk menaikkan tarif, tapi dalam persentase tertentu yang harus dipatuhi. Penertiban bahkan penindakan terhadap calo di terminal, stasiun, bandara maupun pelabuhan harus dilakukan untuk menimbulkan efek jera. Calo-calo ini sering menimbulkan ketidaknyamanan bagi para pemudik.
Banyaknya pemudik yang menggunakan kendaraan roda dua atau sepeda motor, juga harus menjadi perhatian bagi pemerintah. Pemerintah harus membuat jalur alternatif khusus sepeda motor untuk meminimalisir angka kecelakaan. Selain itu, pemudik sepeda motor harus diberi edukasi tentang keselamatan di jalan raya. Misalnya, menggunakan alat keselamatan, tidak membawa beban berlebih, dan pemeriksaan kendaraan sebelum mudik.
Pembangunan pos-pos peristirahatan atau pemberhentian sementara bagi para supir dan pemudik patut diacungi jempol. Selain dibangun oleh pemerintah dan instansi terkait, pos-pos ini juga dibangun oleh perusahaan-perusahaan swasta, LSM, bahkan partai politik. Pos-pos ini biasanya dilengkapi dengan tempat istirahat, tempat makan minum, bengkel, dan pemeriksaan kesehatan. Jadi semua elemen masyarakat bisa berpartisipasi dalam hal ini.
Manajemen transportasi mudik itu tidak hanya terkait dengan kesiapan infrastruktur jalan dan prasarana transportasi, melainkan juga menyangkut aspek manajemen secara menyeluruh terkait manusia, baik sumber daya manusia pendukung maupun jutaan pelaku mudik.
Tahun ini diperkirakan sedikitnya 5,8 juta pemudik akan memadati moda transportasi darat, laut, dan udara. Diantara jumlah tersebut sekitar 5,4 juta pemudik menggunakan moda jalan raya dengan potensi kemacetan tinggi. Prediksi tersebut tentunya mengingatkan semua pihak akan ‘’tugas besar’’ yang telah menanti. Prediksi mengenai kenaikan jumlah pemudik semestinya dipahami bahwa semua pihak harus bekerja lebih keras.
Nah, ketika arus mudik dengan volume kendaraan yang demikian besar itu berlangsung dalam waktu yang bersamaan, pemerintah berupaya untuk bisa melayaninya. Tapi karena itu peristiwa luar biasa yang berlangsung setahun sekali, kita tidak bisa menuntut arus mudik bisa lancar seperti hari-hari biasa.
Kemacetan yang bisa ditangani adalah yang kasuistis, antara lain diakibatkan oleh pertemuan ruas jalan, pasar tumpah, atau proyek pengerjaan jalan yang belum rampung. Sebetulnya kalau kita mengacu pada UU No. 38 Tahun 2004 Tentang Jalan, yang namanya jalan arteri primer harusnya bebas dari konflik seperti pasar tumpah dan aktivitas lain yang mengganggu kelancaran lalu lintas. Namun dari tahun ke tahun, problem itu belum teratasi dengan baik. Pemerintah belum punya konsep jelas untuk menangani permasalahan itu.
Anehnya, pemerintah malah cenderung memberi keleluasaan pasar tumpah ada di pinggir jalan. Bahkan kadang-kadang mereka bisa saja menaruh jualannya di badan jalan. Sejatinya fungsi jalan arteri primer tidak boleh seperti itu. Prinsip jalan arteri primer mestinya mengurangi seminimal mungkin adanya jalan masuk. Ini akan menimbulkan konflik yang memicu terjadinya kemacetan, sehingga cara mengatasinya perlu dibuat jalur lambat di kedua sisi jalan.
Persoalannya, ketika Dinas Perhubungan membuat pagar di median jalan, ada dinas lain menganggap keberadaan pagar itu dapat mengganggu akses warga. Dinas yang berwenang melakukan pengawasan punya pemikiran yang beda lagi, begitu juga dinas yang memberi izin pedagang berjualan di tepi jalan. Ketiadaan koordinasi dan visi yang jelas pada masing-masing pimpinan dinas ini justeru memperparah keadaan.
Jadi intinya untuk membenahi transportasi mudik, semua pihak harus punya persepsi dan tujuan yang sama. Tapi kalau fakta menunjukkan masih banyak orang naik sepeda motor, itu bukan berarti mereka tak terlayani. Bisa jadi pemudik sepeda motor punya pertimbangan lain, misalnya tidak mendapat tiket sesuai hari yang diinginkan, jarak tempuh yang dianggap dekat, atau membutuhkan sepeda motor untuk keliling di kampung halamannya.***