Parsel, Suap atau Hadiah?


Parsel, Suap atau Hadiah?
Oleh : Fadil Abidin

            Setiap tahun, khususnya menjelang dan pada saat perayaan hari-hari besar keagamaan, perbincangan seputar boleh tidaknya pejabat penyelenggara negara menerima parsel terus terjadi. Hal ini kerap menimulkan pro kontra di tengah masyarakat. Sebagian kalangan menilai, asal dalam batas-batas kewajaran, maka pemberian parsel adalah hal yang lumrah.

Tapi tak sedikit kalangan yang menilai bahwa pemberian parsel, dalam ukuran apapun bagi seorang pejabat penyelenggara negara adalah tindakan yang tidak wajar. Berdasar fakta, biasanya yag mendapat banyak parsel memang para pejabat, dan parsel itu datang dari pihak-pihak yang mempunyai maksud dan tujuan yang beragam. Ada yang ikhlas, namun kalau jumlahnya besar, ujung-ujungnya minta jatah proyek atau fasilitas. Seseorang memberi parsel kepada pejabat tentu lantaran ada maunya. Ibarat kata pepatah, ada udang di balik batu.
Persoalan korupsi di negara kita sangat kompleks. Selain berkaitan hukum yang tidak dilaksanakan dengan tegas, juga menyangkut kebiasaan yang telah berlangsung lama. Para pemimpin kita pada masa lalu sudah terbiasa menikmati upeti, dan itu harus dihentikan.
Imbauan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) agar pejabat tidak menerima parsel patut didukung. Itu adalah langkah pertama mencegah kolusi yang biasanya selalu berbuah tindak korupsi. Bila negara ini ingin memerangi korupsi, maka segala upaya pencegahan harus dilakukan sejak awal. Menangkap para pelaku tentu bagus. Namun akan lebih bagus lagi adalah mencegah agar tidak sampai terjadi tindak korupsi. Dan, salah satu jalannya adalah melarang para pejabat menerima parcel atau berbagai hadiah lainnya.
Imbauan KPK dengan mengeluarkan surat edaran kepada para pejabat negara, baik di pusat maupun di daerah, untuk tidak menerima parsel merupakan langkah kecil yang mempunyai implikasi yang besar. Imbauan itu hendaknya tidak dibaca untuk mematikan bisnis parcel. Kita tidak membenci usaha parcel. Yang kita khawatirkan orang memanfaatkan parsel untuk berkolusi, menyuap dan melakukan tindak korupsi.
Imbauan untuk tidak menerima parsel bagi pejabat negara tentu mempunyai landasan hukum, yaitu UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 serta Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI No. 20 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi.
Dalam ketentuan tersebut ditegaskan bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negara atau penyelengara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Berdasarkan peraturan tersebut seluruh pimpinan instansi pemerintah harus mengimbau pegawai di lingkungannya untuk tidak menerima parsel dan melaporkan semua hadiah (bingkisan hari raya) yang diterima, serta membuat rekapitulasi laporan gratifikasi kepada KPK.
Suap Terselubung
Bangsa kita sebenarnya mempunyai kata khusus untuk parsel itu, yakni upeti. Namun kata upeti itu terasa kurang santun lagi karena nuansa penyuapan sangat kental dalam makna kata itu. Maka dicarilah kata asing yang terdengar lebih menarik dan jauh dari nuansa penyuapan, yakni parcel (berasal dari bahasa Inggris). Pemberian upeti ini terus berlanjut sesuai dengan tuntutan zaman, dan salah satu bentuk upeti yang lagi tren saat ini adalah pemberian parsel kepada pejabat.
Mengutip pendapat dari Kristi Poerwandari dalam tulisannya berjudul “Korupsi” (Kompas, 24/7/2011), menurutnya, korupsi kehilangan kesalahan etisnya dalam istilah “komisi”, “uang jasa”, “tanda terima kasih”, “biaya adminstrasi”, “mismanajemen”, dan entah apa lagi. Atas dasar pendapat ini maka parsel termasuk “ucapan terima kasih” yang merupakan eufimisme (penghalusan) dari sebuah sogok atau suap. Dengan demikian budaya saling mengirimkan parsel adalah bentuk halus dari suap-menyuap atau korupsi.
Ironisnya, banyak pejabat (termasuk juga masyarakat umum) yang bangga ketika menerima banyak parsel. Tak jarang parsel-parsel tersebut dipajang di ruang tamu, semakin banyak menerima parsel maka semakin banggalah ia. Ada logika yang terbalik di sini.
Jika Anda pejabat, maka penerimaan parsel tersebut adalah berindikasikan kepada suap, kolusi, penerimaan komisi proyek dan berujung kepada korupsi. Hal ini tentu melanggar kepada UU dan sumpah jabatan. Jika parsel tersebut berupa gratifikasi, maka Anda harus melaporkannya kepada instansi yang berwenang.
Jika Anda masyarakat umum yang menerima parsel, maka itu merupakan hadiah, dan itu maksudnya ada dua kemungkinan. Pertama, Anda dihargai oleh sang pemberi parsel. Kedua, Anda dikasihani oleh sang pemberi parsel. Si pemberi parsel mungkin kasihan dengan nasib Anda, sehingga ia memberi parsel agar Anda dan sekeluarga dapat bergembira dalam menyambut Lebaran.
Bagaimana jika yang memberi parsel itu adalah siswa untuk gurunya? Ini pun mempunyai maksud penyuapan. Siswa atau orang tua siswa yang mengirimkan parsel tersebut tentu mempunyai maksud tersembunyi. Misalnya, agar mendapat nilai tinggi atau mendapat ranking kelas. Pemberian parsel dengan dalih menghormati guru, padahal menyuap secara halus  seperti ini tampaknya sudah umum terjadi. Jadi untuk parsel jenis seperti ini (karena motif kasihan dan suap), tak pantaslah jika parsel tersebut dipajang di ruang tamu.
Parsel memang identik dengan budaya upeti dan suap. Sehingga kini banyak perusahaan-perusahaan swasta yang tidak mau menerima atau memberi parsel, baik kepada pejabat, relasi bisnis, bahkan pelanggan sekalipun. Tujuannya untuk menciptakan clean governance company atau perusahaan yang bercitra bersih. Mereka yakin bahwa tak ada pemberian (parsel) yang benar-benar gratisan tanpa imbalan atau maksud tertentu. Mereka menginginkan agar relasi yang telah terjalin benar-benar atas dasar kesamaan, mutualisme, saling menguntungkan dan menghormati, bukan atas dasar yang lain.
Masalah Parsel
Kita semua harus menyadari bahwa korupsi tidak hanya monopoli para pejabat negara, anggota dewan, ataupun siapa saja yang punya akses untuk menjarah uang negara. Bila saya menikmati parsel lebaran yang merupakan bentuk ‘penghalusan’ atau eufemisme dari suap itu, artinya saya juga seorang koruptor. ‘Kita pun ternyata seorang koruptor’, demikian seperti ditulis seorang rekan dalam blog-nya. Dengan demikian paling tidak kita dapat secara nyata tidak kompromi lagi dengan korupsi, meski dalam tingkatan yang sangat kecil.
Islam sendiri tidak mengenal istilah pemberian parsel. Jika Ramadan akan berakhir dan  menjelang Idul Fitri, yang dianjurkan adalah pemberian zakat, infak dan sedekah dari orang yang mampu kepada pihak yang tidak mampu. Zakat dalam takaran tertentu menjadi wajib diberikan, misalnya zakat fitrah jika mempunyai kelebihan makanan untuk esok hari, dan zakat harta jika telah memenuhi nasab (hitungan harta).
Parsel justru mempunyai logika yang terbalik dari zakat, karena parsel lebih sering diberikan untuk orang yang lebih kaya, lebih berkuasa, dan para pejabat. Parsel akan dipertanyakan bila parsel tersebut diberikan bawahan pada atasannya, pengusaha pada pejabat pemerintah, ataupun orang asing pada pejabat pemerintahan, yang tentunya ada maksud dan tujuan tertentu.
Seorang atasan akan merasa terbebani atas hadiah parsel bawahannya yang mahal, balasannya nanti bila bawahan tersebut minta tolong tentang harus dibantu. Seorang pejabat pemerintahan tentu akan juga merasa terbebani karena telah menerima parsel dari pengusaha yang berisi barang barang mewah, dimana kelak bila ada proyek, pengusaha tersebut minta tolong agar proyeknya lolos padanya. Bila sebuah kebijakan atau keputusan dikarenakan parsel, maka maknanya akan berubah, parsel adalah sebuah suap terselubung yang memanfaatkan momentum hari besar keagamaan.
Bukan rahasia lagi, bila pada momen Idul Fitri para pengusaha parsel kebanjiran order pembuatan parsel baik yang berisi kue, minuman, pakaian ataupun berisi barang-barang mewah seperti keramik, perhiasan, bahkan mobil. Dan bukan rahasia lagi, parsel-parsel mewah tersebut sebagaian besar diberikan bawahan pada atasannya dengan harapan jabatannya tetap selamat bahkan kalau bisa meningkat, parsel diberikan pengusaha pada pejabat pemerintahan dengan harapan agar urusannya lancar dan lain sebagainya.
Apapun alasannya, pemberian parsel kepada pejabat negara yang notabene orang kaya, berkuasa dan berpunya sebenarnya tak ubahnya sebuah kamuflase untuk tujuan dan maksud tertentu. Pemberian parsel kepada pejabat negara saat ini begitu membudaya di kalangan pengusaha atau pihak yang berkepentingan, baik untuk menggolkan tender proyek atau untuk mencari perhatian atasan agar dipromosikan di "tempat basah". Tak mengherankan jika kemudian pemberian parsel ditafsirkan identik dengan sebuah suap, sogokan atau pelicin untuk melakukan kolusi.
Idul Fitri yang sesungguhnya adalah momen untuk membersihkan diri dari sifat kikir, suap-menyuap, korupsi dan lainnya, justru berubah menjadi ajang suap terselubung yang bernama parsel. Negeri ini akan tetap dikuasai oleh korupsi bila momen agama tidak dikembalikan pada hakikat yang sesungguhnya. ***