Pokrol Bambu ala ILC
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat dalam Kolom
OPINI Harian Analisa Medan, 14 Mei 2012
Ada acara di sebuah salah
satu televisi swasta yang membahas topik-topik terkini yang berkenaan dengan
masalah hukum (pada awalnya), tapi kemudian membahas pula soal sosial, politik dan kemasyarakatan. Awalnya
acara tersebut bertajuk Jakarta Lawyers Club (JLC) kemudian berganti menjadi
Indonesia Lawyers Club (ILC).
Dari pemilihan tajuk acara terasa ada hal yang tidak
sinkron dengan isi acara. Saya jadi teringat acara “Empat Mata” yang dibawakan
oleh Tukul Arwana. Acara tersebut tidak menampilkan wawancara empat mata, tapi
“banyak mata” sehingga kemudian tajuknya diganti mnjadi “(Bukan) Empat Mata”.
Pergantian tajuk untuk menyahuti peringatan dari Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI) setelah acara tersebut menampilkan adegan yang dianggap tidak layak.
Kata-kata “Lawyers Club”, berarti menunjukkan
eksklusivitas diskusi suatu kumpulan atau klub pengacara tertentu yang ada di
Jakarta atau Indonesia. Pada awalnya saya membayangkan, acara ini adalah acara
khusus yang diikuti oleh para pengacara anggota klub tersebut dalam membahas
masalah kepengacaraan, dunia hukum dan peradilan.
Tapi dalam kenyataannya yang hadir dalam acara tersebut
tidak hanya para pengacara di “klub” tersebut saja. Pengisi acara kemudian
melibatkan politisi, anggota DPR, pejabat, artis, tokoh agama, budayawan,
paranormal, bahkan para pihak yang tengah berseteru. Akibatnya acara tersebut
justru seperti ajang “pokrol bambu” atau debat kusir yang “menghantam”
orang-orang yang tak sepaham.
Saya pernah menyaksikan acara yang mengetengahkan masalah
kekerasan yang menimpa jemaat Ahmadiyah beberapa bulan lalu. Tokoh-tokoh yang
membela hak-hak asasi manusia dari jemaat Ahmadiyah justru diserang
habis-habisan. Bahkan ada yang menyerang secara personal dengan bahasa yang
sangat vulgar dan merendahkan. Semisal, “Kalo
lu ngaku Islam, coba sini tunjukkan KTP-mu!”
Argumentasi
Perdebatan-perdebatan yang sering terjadi dalam ILC juga kerap
tidak mencerminkan argumentasi hukum yang cerdas dan sehat. Acara
yang semula bergengsi, kini menjadi acara perdebatan ngawur
yang menampilkan debat
kusir yang menurut sebagian orang tidak berbobot. Dimana para peserta yag hadir
yang notabene adalah orang-orang
penting kelas atas,
berpendidikan tinggi dan juga pejabat tinggi, maka kemudian kita sebagai penonton harus mafhum, bahwa
orang seperti
ini memiliki ego dalam membenarkan pendapatnya masing-masing.
Kemudian, ada nada-nada sumbang yang menginginkan acara
ini sebaiknya tidak ditayangkan lagi, minimal ditayangkan tengah malam. Acara
ini dianggap lebih mementaskan ego ketimbang logika. Sering menggunakan
kata-kata yang kasar dan menyerang pembicara lain secara vulgar dan tidak
beretika.
Tapi pertanyaannya, apakah acara ini ditonton oleh
masyarakat secara umum sehingga bisa dianggap sebagai dekadensi etika? Bahwa
memang tidak dipungkiri, maysarakat kita rata-rata bukan kelas berpendidikan tinggi yang berwawasan super
dan memiliki kecerdasan dahsyat.
Jika stasiun tv lain menampilkan sinetron dari siang hari sampai tengah malam
dengan tema cerita yang oleh sebagian kalangan dicap berselerah “rendah”.
Maka ILC, tanpa segan-segan menampilkan pembicaraan yang
“terlalu tinggi” yang tidak bisa
dicerna oleh masyarakat rata-rata. Wajar jika kemudian banyak yang menganggap acara ini tidak berguna, tidak layak ditonton, tidak bermutu, bikin
bingung, dan semacamnya.
Masyarakat ingin acara yang menghibur dan mengalihkan dunia mereka yang bobrok
ke alam khayalan yang menampilkan lagu, tarian, musik, cerita sinetron yang
mudah dicerna dan wajah-wajah rupawan.
Karenanya, kalau boleh bertindak sedikit subyektif, saya sendiri mengganggap acara
ini bermanfaat. Semisal, kita bisa menilai pejabat atau poitisi yang ngomongnya bermoral, beretika,
tukang ngeles, atau pembohong. Tokoh tersebut apakah benar-benar cerdas
atau benar-benar culas. Kita bisa menilai dari raut muka,
intonasi suara, dan pemilihan
kata. Kemudian
tentu saja tidak lepas dari fakta yang mereka sampaikan, apakah ada yang
bertentangan, tidak logis,
ambigu, ambivalen atau kontradiktif dengan kata-kata sebelumnya.
Dari acara ini kita bisa melihat kembali insting primitif
manusia, yaitu insting untuk membela diri, membela kelompok dan koleganya.
Pembelaan tersebut memang tidak melalui jalan peperangan, tapi melalui
perdebatan untuk mempengaruhi pendapat umum. Motto kesetiakawanan dari Porthos,
Arthos dan Aramis yang tergabung dalam Three Musketeers, “one for all and all
for one”, seakan menjadi pembenaran untuk terus membela teman. Walaupun sang
teman tersebut bersalah dan menjadi koruptor kelas kakap.
Tak jarang pula kita dapat menyaksikan insting keserakahan
para pengacara yang membela klien secara membabi buta. Kesalahan sang klien
yang jelas-jelas setinggi gunung Himalaya, seluas dan sedalam samudera, di
matanya tak lebih dari secuil kesalahan. Mata mereka telah dibutakan oleh
tumpukan uang yang menghalangi mereka kepada kebenaran.
Ganti Saluran
Jika penonton sedikit cerdas dan tidak
malas menggunakan otaknya,
seyogyanya bisa mengambil manfaat besar dari acara ini. Kita bisa menyaksikan bagaimana para pemimpin, wakil
rakyat dan pejabat kita yang berdebat. Diakui atau tidak, mereka adalah
pemimpin dan calon pemimpin kita. Kita harus tahu, makanya jangan nonton
sinetron melulu.
Terlepas
bahwa di akhir
acara sang moderator,
Karni Ilyas tidak pernah memukul palu setelah
menetapkan hasil keputusan diskusi. Karena kita harus mafhum, bahwa acara itu bukan rapat
kelurahan atau rapat karang taruna yang membutuhkan kesimpulan ahir untuk
kemudian kita setujui bersama-sama.
Melainkan lebih kepada semacam “diskusi lepas”, sehingga harus mafhum pula terkadang topik diskusi juga “lepas”
ke mana-mana.
Soal
kesimpulan, maka dari itu dibutuhkan pemaham dan kecerdasan dalam mengikuti
alur acara ini sejak awal.
Minimal kita harus mempunyai pengetahuan awal tentang topik yang akan
didiskusikan, baik menyimak berita di tv atau di media massa. Sehingga wawasan
kita bisa nyambung dengan topik
pembicaraan, hingga kemudian kita
tidak perlu lagi merasa menjadi anak TK yang kesimpulanya harus didiktekan ke telinga.
Tidak perlu lagi ditunjukkan siapa tokoh antagonis yang
kerap bertindak sadis dan tokoh protagonis yang berwajah manis seperti dalam
sinetron. Kita harus mulai belajar untuk menganalisis dan merangkum
kesimpulan sendiri secara cerdas dan menuliskannya di dalam otak kita. Di samping bahwa diskusi ini juga
sering menampilkan fakta-fakta
dan wasasan baru yang tidak kita dapatkan dari hanya sebatas membaca koran atau
memelototi berita di tv.
Marilah bersikap cerdas, jika kemudian
kita melihat para tokoh yang hadir di ILC tampak tolol dalam berdiskusi, kasar dalam berujar, dan tidak beretika dalam berkata. Maka
kita tidak harus ikutan seperti
mereka dengan
menuntut pembubaran acara ini.
Cukup
ambil esensi dari acara ini, atau mungkin jika kita merasa perlu meng-upgrade
kecerdasan dan wawasan untuk bisa mengambil esensi acara ini, maka lakukanlah.
Terserah bagaimana pandangan pemirsa, apakah acara ini
sekadar acara debat kusir ala pokrol bambu atau acara yang menambah ilmu. Jika
Anda tidak berkenan, gantilah saluran tv, remote
control ada di tangan anda! ***