Rohingya,
Palestina Jilid II di Asia Tenggara
Oleh : Fadil
Abidin
Sebuah bangsa bahkan
sebuah etnis kecil sekalipun harus mempunyai tanah sebagai tempat berpijak. Tapi ada juga sebuah
bangsa yang tidak mempunyai tanah air, misalnya Palestina. Tanah air mereka
diduduki Israel sejak tahun 1960-an lewat konspirasi politik internasional dan
agresi militer. Konflik ini kemudian semakin meluas dengan melibatkan
negara-negara di sekitarnya, dan hingga kini belum ada penyelesaiannya.
Etnis Rohingya di Myanmar
ternyata memiliki kasus yang nyaris sama dengan bangsa Palestina. Menurut Badan
Kependudukan PBB dalam State of Myanmar’s
Rohingyas (2007), Rohingya
adalah grup etnis yang kebanyakan beragama Islam di Negara Bagian Rakhine
Utara di Myanmar
Barat. Populasi Rohingya terkonsentrasi di dua kota utara Negara Bagian Rakhine
(Arakan). Jumlah populasi
diperkirakan mencapai 3 juta yang tersebar di Myanmar
Barat, Bangladesh,
Thailand, dan beberapa negara
sebagai tempat transit pengungsian seperti di Malaysia, Indonesia, Pakistan,
UAE,
hingga Arab Saudi.
Cara junta militer
Myanmar menyingkirkan etnis Rohingya dari tanah airnya sangat sistematis dan terstruktur. Telah terjadi manipulasi sejarah terhadap etnis Rohingya selama
beberapa dekade silam secara kontinyu oleh para sejarahwan Burma di forum internasional dan di dalam negeri
Myanmar. Bahwa sejarah Burma (Myanmar) tidak mengenal etnis Rohingya. Klaim sejarah tersebut diajarkan dalam kurikulum
pendidikan di Myanmar, bahwa etnis Rohingya bukanlah bagian dari bangsa Burma.
Namun demikian,
manipulasi sejarah ini telah dipatahkan oleh para ahli sejarah dunia.
Menurut mereka, berdasarkan peninggalan sejarah dan fakta yang ada, etnis Rohingya diduga sudah ada di wilayah Arakan pada sekitar abad ke-14, jauh
sebelum terbentuknya pemerintahan Myanmar. Etnis muslim Rohingya merupakan penopang utama kerajaan Mrauk-U di
Arakan sebelum Inggris masuk ke Burma.
Berbeda dengan
mayoritas etnik di Myanmar, etnik Rohingya berkulit gelap, berbahasa dengan
dialek Chittagong-Bengali
(bagian timur Bangladesh) dan beragama Islam. Ketika pemerintah kolonial
Inggris berkuasa tahun 1824 di India,
banyak pekerja didatangkan dari India terutama di sekitar Chittagong sebagai
buruh murah di perkebunan Arakan. Inggris menjanjikan Arakan sebagai negara
merdeka jika mereka membantu melawan Jepang pada Perang Dunia II. Namun janji
ini tidak pernah terpenuhi sampai Myanmar (dahulu Burma) merdeka tahun 1948
yang wilayahnya meliputi Arakan. Penduduk muslim di Arakan semakin bertambah ketika
di tahun 1970-an terjadi
peperangan di Pakistan Timur (Bangladesh)
yang hendak memisahkan diri dari India. Gelombang pengungsi masuk ke
Arakan dan mendesak penduduk asli etnis Rakhine.
Pembersihan Etnis
Pemerintah Myanmar memang sejak lama tidak pernah mengakui etnis Rohingya sebagai warga negaranya.
Berdasarkan UU Kewarganegaraan Myanmar 1982, etnis yang diakui sebagai warga negara adalah
etnis yang telah ada di
Myanmar sebelum datangnya kolonial Inggris tahun 1824. Tercatat ada 135 etnis dan etnis Rohingya tidak termasuk di dalamnya. Hal ini berarti Rohingya bukan
bagian etnis yang menyusun
bangsa Myanmar dan konsekuensinya mereka bukan warga negara Myanmar melainkan
imigran yang tinggal di Myanmar dan sewaktu-waktu dapat diusir. Ketika
pemerintah junta militer berkuasa tahun 1962, mereka bertindak sangat represif
dan diskriminatif terhadap etnik Rohingya.
Pada 1978, penguasa Myanmar Jenderal Ne Win
melancarkan Operasi Naga Min (Raja Naga) dengan memeriksa kartu tanda penduduk
sepanjang perbatasan untuk membersihkan penduduk haram. Sebanyak 250.000 orang
Rohingya kabur ke Bangladesh. PBB segera turun tangan membantu para pengungsi
Rohingya kembali ke Myanmar.
Pada 1982, pemerintahan Ne Win memberlakukan UU Kewarganegaraan.
Sekitar 800.000 orang Rohingya ditolak permohonan kewarganegaraannya oleh
pemerintah Myanmar, sehingga sejak saat itu mereka terombang-ambing tanpa
kewarganegaraan. Pada 1991 dan 1992,
250 ribu gelombang pengungsi Rohingya membanjiri Bangladesh menyusul tindakan
kekerasan di Myanmar.
Diperkirakan
jumlah etnis Rohingya yang masih tersisa di Myanmar tinggal 800 ribu orang, 250.000 di tampung di dua kamp
pengungsian di Bangladesh yang di tangani oleh organisasi PBB untuk urusan
pengungsi (UNHCR), 200.000 tinggal secara ilegal di wilayah Bangladesh di
sepanjang perbatasan dengan Myanmar dan selebihnya menjadi imigran gelap di
negara-negara lain.
Jumlah pengungsi
Rohingya yang demikian banyak menjadi beban bagi negara miskin dan berpenduduk
padat seperti Bangladesh. Tidak jarang gesekan sosial muncul antara penduduk
setempat dengan para pengungsi ilegal. Walau pemerintah Myanmar mengatakan etnik Rohingya berasal dari suatu
wilayah sebelah barat Bangladesh, pemerintah
Bangladesh enggan mengakui para pengungsi ini sebagai warga negaranya dan tetap diperlakukan sebagai imigran.
Status sebagai
etnis tanpa tanah air, orang-orang Rohingya rentan
terhadap tindakan-tindakan tidak adil tanpa dilindungi hak-hak sipil, baik di
Myanmar, Bangladesh atau di mana pun mereka berada. Di Myanmar, ruang gerak
mereka dibatasi dan hanya diizinkan di seputar desa saja. Jika hendak melintas
lain desa, mereka diwajibkan membayar untuk memperoleh izin. Oleh karena itu,
mereka kesulitan memperoleh akses ke pasar, sekolah dan fasilitas pendidikan
maupun kesehatan. Keadaan ekonomi mereka sangat miskin, diperkirakan lebih dari
80% buta huruf.
Untuk mencegah
perkembangan populasi mereka yang sangat pesat, pemerintah Myanmar hanya memperbolehkan setiap keluarga mempunyai
dua orang anak. Untuk menghindari hukuman dari pemerintah, banyak ibu-ibu yang
melakukan aborsi tanpa fasilitas kesehatan. Angka kematian ibu dan anak di
kalangan Rohingya sangat tinggi. Untuk menghindari tekanan sosial-ekonomi dan
tindakan represif pemerintah, banyak di antara mereka yang meninggalkan Myanmar
dengan perahu tradisional untuk mencari penghidupan yang lebih baik di negara
lain. Tidak diketahui berapa jumlah mereka yang tenggelam di laut lepas.
Tragedi Kemanusiaan
PBB
menganggap Rohingya sebagai salah satu minoritas yang paling banyak menghadapi
tekanan dan penganiayaan di dunia. Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi telah
melaporkan bahwa Rohingya di Myanmar menghadapi semua jenis penganiayaan, kerja
paksa, pemerasan, pembatasan kebebasan bergerak, tidak adanya hak untuk
tinggal, aturan untuk tidak punya anak, dan
penyitaan tanah. Bahkan PBB secara implisit telah
menyatakan bahwa konflik Rohingya adalah Palestina jilid kedua di Asia
Tenggara.
Selama bulan Juni-Juli 2012 dalam enam minggu
berturut-turut terjadi aksi pembunuhan massal, pengusiran dan
pembersihan etnis Rohingya di Myanmar. Dunia internasional tampaknya menanggapi dingin masalah ini.
Laporan Amnesty International yang diterbitkan pada 19 Juni tentang apa yang
terjadi di Myanmar tidak banyak diliput oleh
media. Tindakan represif pemerintah Myanmar
dilaporkan telah menyebabkan lebih 2.000 orang tewas dan lebih 90.000 orang etnis Rohingya
terusir dari tempat tinggalnya.
Aparat
pemerintah berdiam diri dan hanya melihat ketika kekerasan sektarian pecah di
wilayah barat Myanmar bulan Juli lalu
dan mereka malah menembaki
warga Muslim Rohingya yang berusaha menyelamatkan rumah-rumah mereka yang
terbakar, demikian pernyataan Human Right Watch (Kompas.com, 1/8/2012).
Presiden
Myanmar, Thein Sein, menanggapi enteng kejahatan tersebut. Ia berbicara kepada
Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR), Antonio
Gutteres, dengan mengatakan, “Myanmar akan mengirim etnis Rohingya pergi jika
ada negara ketiga yang mau menerima mereka.” Presiden
Myanmar memberikan dua solusi untuk etnis Rohingya yang tinggal di negaranya,
tinggal di kamp pengungsi atau dideportasi (Republika.co.id,13 /07/2012).
Lepas dari
persoalan etnisitas, ras, warna kulit dan agama, tragedi Rohingya adalah
tragedi kemanusiaan. Meskipun etnis
Rohingya tidak mempunyai kewarganegaraan, yang jelas mereka adalah warga dunia
sehingga dunia internasional wajib mencari solusi pemecahannya. Penggalangan
solidaritas internasional melalui organisasi-organisasi internasional, LSM,
negara atau siapapun yang peduli terhadap kemanusiaan perlu digalakkan.
Indonesia
sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia dan negara terbesar di
Asia Tenggara dapat memelopori penggalangan solidaritas untuk kaum Rohingya
melalui diplomasinya di tingkat ASEAN, Organisasi Konferensi Islam maupun di forum internasional lainnya. Bantuan bisa bermacam ragam, yang jelas yang mereka butuhkan sekarang
adalah status sipil sebagai warga negara
dan bahwasanya mereka punya kebebasan seperti warga negara yang lain.
Kemudian ada wacana, pulau di
Indonesia banyak, apakah mungkin memindahkan mereka ke Indonesia? Itu mungkin saja kalau ada kemauan politik
seperti kasus pengungsi Vietnam yang ditempatkan di Pulau Galang dan
Rempang tahun 70-an. Atas nama kemanusiaan memang tidak masalah. Namun hal tersebut bukanlah solusi, kebijakan
tersebut justru akan menyenangkan pemerintah Myanmar. Ini tanggung jawab mereka yang tidak bisa dibebankan kepada negara
lain. Myanmar adalah negara besar, hanya saja mereka diperintah oleh junta militer yang represif,
tertutup, tidak demokratis, dan terkenal sebagai pelanggar hak azasi manusia
nomor satu di dunia. ***