Sepakbola, Drama dalam Sejarah


Sepakbola, Drama dalam Sejarah
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat dalam OPINI Harian Analisa Medan, 8 Juni 2012

Pesta perhelatan sepakbola paling bergengsi di Benua Biru, Piala Eropa 2012, segera dimulai. Sejenak perhatian kita teralihkan dari gonjang-ganjing di Tanah Air yang saban hari dijejali berita soal korupsi, kekerasan, intrik politik, dan kelicikan. Termasuk kisruh ‘sirkus’ sepak bola nasional yang ibarat meteor, terbang bebas di alam semesta yang tak berujung dan tak berarah.

Lupakan juga sejenak krisis Eropa di Yunani yang mengancam stabilitas ekonomi bukan saja di Eropa, tapi juga dunia yang menyebabkan nilai rupiah melemah. Sejenak lupakan juga krisis nuklir di Iran dan ancaman bloade di Selat Hormuz yang menyebabkan harga minyak melambung tinggi.  
Biarkan rakyat, terutama ‘penggila’ bola menikmati hiburan untuk beberapa minggu ke depan. Mereka hanya mengharapkan agar pemerintah, dalam hal ini PLN, tidak melakukan pemadaman listrik. Jika bisa tunda dulu, program pemeliharaan atau perawatan yang menyebabkan pemadaman listrik pada waktu pertandingan akan dimulai. Sebuah permintaan yang sederhana bukan?
Sepakbola merupakan cabang olahraga yang paling banyak diminati oleh masyarakat dunia. Sejak pertama kali dimainkan oleh para prajurit di negeri Tiongkok pada abad ke-7 Masehi dengan menggunakan bola yang terbuat dari kulit hewan. Sepakbola mengalami modernisasi pada tahun 1863 di Inggris, dan sepakbola terus mengalami perkembangan yang sangat pesat sampai saat ini. Di abad 21, sepakbola tidak hanya menjadi salah satu cabang olahraga, tetapi telah menjadi salah satu industri yang sangat menguntungkan. Para miliarder dunia banyak yang menginvestasikan uangnya dalam bisnis ini.
Hampir semua negara di belahan dunia ini memainkan sepakbola, negara yang menjadi anggota FIFA lebih banyak ketimbang keanggotaan PBB. Di beberapa negara (seperti Inggris dan Italia), eksistensi sepakbola bahkan bisa bersaing dengan eksistensi agama, di mana ada statemen yang sering didengar adalah football is my religion, footballigiusme. Keindahan permainan sepakbola telah menjadi semacam candu yang terus mempengaruhi orang untuk duduk bertahan lama di depan televisi untuk menyaksikan pertandingan sepakbola. Atau berbondong-bondong memadati stadion, tak peduli dengan kondisi cuaca dan jarak stadion. Pertandingan di ujung dunia sekalipun, akan mereka datangi.
Filosofi Sepakbola
Dalam pertandingan sepakbola, kita tentunya tidak hanya melihat 22 orang berlari di lapangan untuk mengejar bola dan mencetak gol ke gawang lawan. Namun ada nilai lain yang lebih penting yang kemudian bisa menjadi pedoman dalam kehidupan kita, yaitu nilai kepemimpinan dan kerjasama. Nilai kepemimpinan terlihat dalam diri pelatih dan kapten tim. Pelatih dapat dikatakan sebagai mastermind dalam meracik strategi bagi timnya. Tanpa ada strategi yang jelas, suatu tim akan sangat sulit dalam menghadapi para lawannya. Pelatih adalah pemimpin dalam tim sepakbola, oleh karena itu, kewibawaan, kecerdasan, kecerdikan, dan kedisiplinan merupakan sikap yang sangat dituntut dimiliki oleh setiap pelatih.
Selain pelatih, sikap pemimpin juga terlihat dalam diri kapten tim, yang memimpin rekan-rekannya di tengah lapangan. Kapten tim hadir untuk mengganti peran pelatih, yang hadir untuk memimpin teman-temannya dalam menerapkan strategi yang telah ditetapkan pelatih, dan terutama untuk memberikan semangat bagi teman-teman yang bermain. Seorang kapten tim harus memiliki kharisma khusus, di mana rekan setimnya dapat menaruh kepercayaan untuk memimpin mereka di tengah lapangan. Setiap tim sepakbola wajib memiliki kapten tim, jika sang kapten terkena kartu merah, pemain lain harus menggantikannya sebagai kapten.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya dalam sepakbola adalah kerjasama. Kerjasama tim merupakan kunci kemenangan suatu tim sepakbola. Tanpa ada kerjasama yang baik antara sesama pemain, serta antara pemain dan pelatih, maka strategi yang telah ditetapkan untuk mencapai kemenangan tidak akan dapat dicapai. Sepakbola merupakan olahraga tim, maka kerjasama antar lini merupakan hal mutlak yang harus diterapkan dalam setiap pertandingan yang dijalani. Kerjasama tentunya harus dilandasi oleh sikap percaya, kerjasama tanpa rasa saling percaya sama dengan kosong.
Dua nilai ini diharapkan dapat pula diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kepemimpinan dan kerjasama menjadi nilai dasar dalam proses penyelenggaraan negara. Seorang pemimpin negara dituntut untuk mempunyai sikap bijaksana, tegas dan berwibawa. Ia harus sadar eksistensinya sebagai pemimpin adalah untuk melayani kepentingan rakyat. Ia harus bijaksana dalam merumuskan kebijakan negara, dan ia harus tegas dalam menjalankan kebijakan negara. Ketika ada persoalan, ia harus berani mengambil keputusan dalam proses penyelesaian masalah yang ada. Pemimpin adalah pelayan, seorang pelayan harus rela bekerja keras, menderita, bahkan dikritik jika pelayanannya tidak maksimal. Ia hadir untuk mendengarkan suara rakyatnya dan berjuang untuk menjalankan aspirasi rakyat.
Peran seorang pemimpin menjadi tidak berarti ketika tidak ada kerjasama nyata dengan rakyat. Relasi kerjasama pemimpin dan rakyat menjadi pilar dalam hidup bernegara. Tanpa kerjasama, maka yang lahir adalah diktatorisme. Ketika kita berbicara mengenai demokrasi, maka kerjasama adalah poinnya, dengan rakyat menjadi sentralnya. Kerjasama yang baik antara pemimpin-rakyat menjadi senjata utama untuk menjaga keutuhan bangsa. Kerjasama dapat membantu suatu negara mencetak “gol” dan memperoleh kemenangan yang menjadi tujuan bersama.  
Kemenangan Tujuan Utama?
Apakah sebuah kemenangan dalam pertandingan sepakbola penting? Apakah predikat sebagai juara penting? Jika pertanyaan seperti ini disampaikan kepada Roberto Di Matteo, pelatih Chelsea yang menjuarai Liga Champions lalu, sudah pasti jawabannya adalah “ya”. Di Matteo menggunakan segala strategi agar timnya menang. Walaupun menggunakan taktik bertahan dan mengandalkan serangan balik, ia mampu mengantarkan timnya juara.
Lain halnya dengan Pep Guardiola, ketika masih melatih klub Barcelona, ia pernah berujar, ”Jika 5, 10, dan 15 tahun ke depan orang masih ingat pada gaya permainan yang kami peragakan saat ini, itu sukses yang sangat besar bagi kami.
Sepakbola adalah strategi, lapangan adalah medan pertempuran. Untuk memenangkan pertandingan harus menerapkan strategi yang tepat. Jika lawan yang dihadapi memiliki kualitas yang lebih baik, tentu tidak bisa bertanding secara frontal terbuka. Mati konyol namanya. Maka dalam sepakbola kerap kita menjumpai ‘drama’, berapa banyak tim kuat yang dihuni oleh para pemain bintang, dikalahkan oleh tim ‘underdog’ atau tim yang tidak diunggulkan.  
Piala Eropa 1992, merupakan turnamen yang dianggap mempunyai maha kejutan. Denmark tidak lolos babak kualifikasi dan para pemainnya sudah pergi berlibur musim panas. Namun UEFA memanggil mereka untuk berpartisipasi karena Yugoslavia yang dilanda perang tidak bisa berpartisipasi. Dengan persiapan seadanya, tim Denmark ‘meledak’ seperti dinamit yang menghancurkan lawan-lawannya. Mereka tampil bagus dan akhirnya juara setelah mengalahkan Jerman di final.
Jutaan pasang mata publik pencinta sepak bola dunia juga tidak akan pernah lupa, salah satu comeback paling dramatis di Eropa dalam final Liga Champions 2005 yang menghadirkan AC Milan lawan Liverpool. Aura positif ribuan Milanisti karena timnya unggul 3-0 di babak pertama, harus berubah tatapan kecewa karena pada akhirnya harus pulang dengan tangan hampa setelah Liverpool mampu menyamakan kedudukan menjadi 3-3, dan menang lewat adu penalti.
Lebih dramatis lagi, ketika duo "Supersub" Manchester United, Teddy Sheringham dan Ole Gunnar Solksjaer, mengubah rencana pesta Bayern Muenchen menjadi duka di final Liga Champions 1999. Tak tanggung-tanggung, "Setan Merah" hanya membutuhkan 2 menit  di masa injury time, untuk menghancurkan harapan Muenchen yang sebelumnya sudah unggul 1-0 di waktu normal 2 x 45 menit.
Di Piala Eropa 2012 ini, juara bertahan Spanyol, meski ditinggal David Villa dan sang kapten Carles Puyol yang mengalami cedera, menempati unggulan pertama dengan koefisien 3,8, diikuti Jerman (3,85), Belanda (6,5), dan Prancis (10). Sementara Inggris yang lini tengahnya babak belur ditinggal sejumlah pemain andalan menempati unggulan kelima dengan koefisien 11, diikuti Italia (13). Irlandia menempati posisi buncit dengan koefisien (96). Namun, tentu saja ini bukan harga mati.
Bisa saja tim-tim yang diunggulkan, tersungkur dan ‘masuk kotak’ duluan. Sementara tim yang tidak diunggulkan, justru tampil luar biasa. Sepakbola memang kerap melahirkan sebuah drama. Ibarat tontonan telenovela, pendukung tim yang bertarung di lapangan dapat menangis berlinang air mata, dapat pula mereka tertawa riang gembira. Momen-momen seperti itu tidak bisa lepas dari kegigihan 22 manusia yang bertarung dalam lapangan bola. Tak ada kata menyerah, apalagi lelah di benak mereka. Selamat datang Piala Eropa 2012!***