Siapa yang Butuh
Simulator SIM?
Oleh : Fadil
Abidin
Jika anda membuka Google,
lalu ketik “Simulator SIM mangkrak” maka akan bermunculan ratusan berita yang
mengabarkan bahwa simulator SIM di hampir seluruh daerah di Indonesia mangkrak
alias tidak terpakai, belum dipakai, belum distel, atau pemohon SIM (Surat Izin
Mengemudi) tidak mau menggunakannya.
Dari sini kita dapat
berkesimpulan bahwa, proyek simulator SIM menjadi proyek mubazir, tidak
berjalan, kurang sosialisasi dan tidak diminati para pemohon SIM. Para pemohon
SIM tentu lebih memilih berurusan dengan calo, tidak masalah harus membayar
lebih mahal. Toh, tidak perlu ikut tes mengemudi maupun tes teori, dan dalam satu
hari SIM sudah di tangan (untuk SIM C).
Jika pun harus mengurus sendiri, dan mengikuti serangkaian
tes mengemudi, maka para pemohon SIM lebih memilih untuk menggunakan kendaraan
asli daripada menggunakan simulator. Simulator yang ada oleh banyak orang
dianggap tidak kompatibel atau tidak mirip dengan keadaan aslinya. Sehingga tak
jarang, orang yang ahli berkendara sekalipun bisa gagal bila memakai simulator
ini untuk pertama kalinya.
Pengadaan simulator SIM adalah proyek (meminjam
istilah Tempo) ‘simsalabim’ alias proyek akal-akalan oknum petinggi Polri untuk
korupsi. Hal ini sangat kasat mata, tidak perlu kejelian yang luar biasa untuk
mengendus kalau proyek ini memang ‘target’ korupsi dan berpotensi merugikan
negara. Diawali ketika pemenang tender proyek ini PT Citra Mandiri
Metalindo Abadi yang menyatakan diri
tidak mampu lalu mengalihkannya kepada PT Inovasi Teknologi Indonesia, dan besarnya harga simulator per unitnya
yang mahal. Perusahaan yang tidak mampu, kok bisa menang tender?
Jauh-jauh hari, Majalah Tempo di edisi 23 April
2012, sudah memberitakan “Simsalabim Simulator SIM”. Bahkan jauh sebelumnya, pertengahan
Januari 2012, KPK sebenarnya sudah mengusut kasus ini. Sementara Badan Reserse dan Kriminal
Mabes Polri justru baru menyelidiki
kasus simulator tersebut pada 21 Mei 2012 melalui perintah penyelidikan bernomor
Sprinlid /55/V/2012/Tipidkor.
Dari
kronologi peristiwa ini dapat ditarik kesimpulan, bahwa KPK-lah yang berhak
100% untuk mengusut, menyelidiki dan menyidik kasus ini hingga tuntas. Tapi
yang terjadi adalah kengototan petinggi Polri untuk menangani kasus ini. Publik
pun menduga, upaya ini tidak lebih dari sekadar untuk menyelamatkan ‘para
jenderal’ di Mabes Polri. Konflik kepentingan dan solidaritas korps dengan
melindungi sesama kolega pasti akan terjadi. Tidaklah mungkin, ‘jeruk makan
jeruk’, itulah ungkapan yang kerap kita dengar.
Secara
hukum sebenarnya Polri bisa kena ‘pasal’ bila tetap ngotot menangani kasus ini.
Alasannya, KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi) sudah
menanganinya dan telah masuk pada tahap penyidikan. Berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002
tentang KPK Pasal 11 dan 50, lembaga lain harus mundur jika KPK
sudah melakukan penyidikan.
Apa itu Simulator?
Terlepas dari carut marut, konflik kepentingan,
tarik-ulur dan perdebatan siapa yang berhak menangani kasus korupsi ini. Ada
pertanyaan yang mendasar, sebenarnya simulator SIM ini untuk apa dan untuk siapa?
Proyek simulator SIM adalah proyek prestius petinggi
Polri yang berujung pada dugaan korupsi. Proyek ini bernilai Rp 196 miliar, dengan perincian untuk pengadaan
700 unit simulator roda dua senilai Rp 54,453 miliar, dan 226 unit simulator roda empat bernilai Rp 142,414 miliar. Harga
simulator sepeda motor adalah Rp 77,79 juta per unit dan simulator mobil Rp
256,142 juta per unit.
Sebagai
proyek prestius, Polri punya cita-cita ideal, ujian SIM menggunakan teknologi canggih yaitu dengan simulator. Nantinya,
bagi yang ingin mengurus SIM
C, maka tinggal menunggang kendaraan roda dua statis lalu menyurusi jalanan
sembari menyaksikan layar monitor di depannya. Yang mengurus SIM A, juga
tinggal masuk mobil simulator. Mirip main di game center di mal atau plaza.
Tender proyek ini seharusnya dikerjakan oleh PT
Citra Mandiri Metalindo Abadi. Tapi
karena tidak mampu mengerjakannya, alat simulator ini dibuat oleh
perusahaan asal Bandung
bernama PT Inovasi Teknologi Indonesia, mulai dari komponen maupun software-nya buatan lokal.
Simulator ini
mengadopsi seluruh situasi yang sebenar-benarnya ada di jalan raya. Karena
itulah banyak sensor yang ditempatkan di motor simulator seperti di shock, ban
dan body. Pengendara tinggal menaiki simulator itu seperti halnya mengendarai kendaraan bermotor. Setiap gerakan
yang dilakukan pengendara akan berefek pula pada simulator itu. Menurut para pengguna, simulator ini sangat
sensitif terhadap gerakan. Jika pengendara melakukan kesalahan gerakan misalnya terjatuh, maka motor di layar juga terlihat jatuh.
Alat ini
diharapkan mempermudah masyarakat untuk melakukan uji kendaraan dan
meningkatkan objektivitas ujian karena peserta ujian harus mengikuti tes yang
standarnya sudah ditetapkan di program komputer. Selain itu, karena ujian
dilakukan di ruang tertutup, maka tidak akan terkendala cuaca, seperti bila
dilakukan di lapangan. Tapi karena alat
masih baru, bisa jadi
orang-orang yang menggunakannya agak grogi dan kagok beradaptasi, apalagi yang
belum pernah menjajal mobil balap di game center,
maka dipastikan akan gagal.
Tak Terpakai
Simulator
yang seharusnya sudah dipakai sejak tahun 2011 untuk pengurusan SIM, faktanya
hingga kini belum difungsikan. Nyaris seluruh Polres di Indonesia yang telah
menerima alat ini belum memakainya sebagai alat uji bagi pemohon SIM. Proyek
ini terancam mubazir, dan sia-sialah uang sebesar Rp 196 miliar untuk proyek
ini. Apalagi KPK tengah menyelidiki kasus pengadaan simulator ini yang diduga
terjadi tindak korupsi.
Di jajaran Poldasu sendiri,
setidaknya ada 69 unit simulaor, yang terdiri dari 34 simulator roda empat dan 35 simulator
roda dua. Simulator yang diterima dari Korp Lalu Lintas (Korlantas) Mabes Polri tersebut ternyata
semuanya belum digunakan. Ke-69
unit simulator tersebut, tersebar di 25 Polres Jajaran Kepolisian Daerah
Sumatera Utara (Poldasu), kecuali Polres Pelabuhan Belawan.
Semestinya
selain audit keuangan, perlu juga dilakukan audit teknologi. Menurut para ahli
mesin, simulator buatan lokal ini dikatakan kalah kualitas dengan buatan luar
negeri, dengan harga yang sama. Selain itu perlu juga diadakan penelitian
terhadap kecenderungan para pemohon SIM. Apakah simulator ini benar-benar telah
sesuai dengan keadaan yang sebenarnya atau tidak? Simulator ini jelas tidak
sesuai dengan kenyataan yang ada pada pemohon SIM.
Misalnya,
tampilan dan pengoperasian simulator pada sepeda motor justru menyerupai sepeda motor Honda
Tiger, atau sepeda motor sport.
Di depannya terdapat monitor dari televisi layar datar berukuran 42 inci yang menampilkan gambar virtual sebagai
lansekap jalan dan lingkungan sekitar.
Simulator ini tentu tidak ‘nyambung’ atau tidak
sesuai dengan pemohon SIM yang terbiasa menggunakan sepeda motor cub atau
sepeda motor matic. Orang yang terbiasa menggunakan kedua jenis kendaraan ini
tentu akan kepayahan jika harus disuruh mengendarai sepeda motor jenis sport
yang menggunakan kopling. Apalagi yang dari awalnya menggunakan sepeda motor
matic, maka akan kesulitan pula menggunakan jenis sepeda motor jenis cub yang
menggunakan gigi, apalagi sepeda motor sport.
Demikian juga simulator roda empat. Model jok, dashboard,
setir, pedal gas, pedal rem, rem tangan, perseneling, dan sebagainya merujuk
pada suatu merek mobil tertentu. Hal ini tentu akan menyulitkan para pemohon
SIM yang mempunyai merek mobil berbeda-beda dengan teknik berkendaraan yang
berbeda-beda pula. Apalagi kini bermunculan mobil matic, yaitu mobil otomatis
tanpa menggunakan perseneling.
Berdasarkan hal di atas, maka kemungkinan besar
para pemohon SIM akan gagal ketika menghadapi simulator tersebut. Sehingga
tidaklah heran jika simulator ini tidak begitu diminati. Jika boleh jujur,
simulator ini tidak bisa dijadikan satu-satunya cara untuk menguji kompetensi
para pengemudi untuk memperoleh SIM. Maka penggunaan kendaraan asli sebagai
sarana uji pemohon SIM seharusnya lebih diutamakan, ketimbang tes dengan
simulator yang tidak kompatibel.
Secara realitas, bukankah pengguna sepeda motor di
jalan raya adalah pengguna sepeda motor bebek (jenis cub) dan sepeda motor
matic? Lalu siapa yang butuh simulator SIM? Masyarakat sebenarnya tidak butuh
simulator ini, yang membutuhkannya adalah mereka-mereka yang menjadikan proyek
ini sebagai lahan korupsi. ***