Sudah Ganti Makananmu?


Sudah Ganti Makananmu?
Oleh : Fadil Abidin

            “Sudah ganti makananmu?” Itulah pertanyaan yang dilontarkan oleh Tukul Arwana dalam sebuah iklan layanan masyarakat di televisi. Pertanyaan yang bernada provokatif itu adalah sebuah ajakan kepada masyarakat untuk mengganti kebiasaan memakan nasi sebagai makanan pokok dengan makanan lainya.

Saya pribadi akan menjawab, belum”, barangkali saya tidak akan sanggup mengganti  nasi dengan makanan pokok lainnya. Bayangkan saja, dari bayi sampai saat ini saya makan nasi, dan kalau disuruh mengganti dengan makanan lain sangat sulit sekali. Tubuh dan lambung beserta enzim-enzim yang ada di dalamnya sudah terbiasa dengan nasi. Sehingga kalau belum makan nasi serasa belum makan, dan mungkin itu banyak juga dirasakan oleh masyarakat. Jika tidak makan nasi akan masuk angin.
Jagung, terigu, sagu, singkong, dan umbi-umbian lainnya dikatakan sebagai makanan kaya karbohidrat pengganti nasi, tapi apakah mudah mengganti sebuah kebiasaan. Apa mungkin pasokan beras nasional sudah tidak mencukupi untuk rakyatnya sendiri sehingga pemerintah mengajak untuk mengganti makanan pokok?
Jika demikian adanya sekalian saja ganti persawahan kita dari padi dengan tanaman lain, mungkin dengan demikian otomatis rakyat akan mengganti kebiasaan makannya. Sampai kapanpun mayoritas rakyat Indonesia akan tetap makan nasi sebagai makanan pokok, sedangkan yang lainya mungkin hanya sebagai alternatif atau selingan.
Kementerian Pertanian memang tengah menggalakkan program "one day no rice" atau sehari tanpa nasi ke seluruh tanah air sebagai upaya percepatan kegiatan diversifikasi pangan.  Program "one day no rice" dimaksudkan untuk mengurangi tingkat ketergantungan pada nasi atau beras sebagai pangan pokok masyarakat untuk mulai mengganti dengan makanan pokok lain dengan bahan dari jenis umbi-umbian.
Ajakan mengganti makanan pokok berupa nasi, sesungguhnya cermin dari kegagalan pemerintah dalam memenuhi hajat hidup orang banyak. Indonesia di satu sisi adalah negara agraris, tapi di sisi lain merupakan importir bahan pangan seperti jagung, kedelai, dan terigu termasuk beras. Jangankan ketahanan pangan, negara Indonesia adalah negara yang tidak mempunyai kedaulatan pangan. Kita belum merdeka dalam urusan perut. 
Maka tiap kali pemerintah tidak sanggup mengatasi masalah, rakyatlah yang diajak bersusah atau menderita. Pemerintah selalu menjadikan rakyat bumper paling depan untuk segala sesuatu yang mereka tidak sanggup untuk mengatasinya. Rakyat diajak berhemat memakai BBM ketika harganya melonjak naik, rakyat diajak berhemat energi ketika terjadi krisis energi listrik, dan rakyat diajak makan singkong ketika harga beras naik. Sementara para pemimpinnya makan roti dan keju, pelesiran keluar negeri, dan berpesta pora dalam korupsi.
Satu Hari Tanpa Nasi
Ironisnya ada sebuah daerah melalui peraturan daerah (perda) yang mengimplementasikan program “one day no rice” kepada masyarakat. Tidak jelas apakah di daerah tersebut terjadi krisis beras, atau karena alasan politis biar dianggap “patuh” sama pusat. Sebagai langkah awal, para PNS atau pegawai pemerintahan daerah tersebut diwajibkan untuk tidak makan nasi dalam satu hari dalam seminggu.
Bukankah program ini hanya akan menumbuhkan kemunafikan? Bagaimana mekanisme untuk memantau pola makan atau apa yang dimakan para PNS tersebut? Di kantor atau di kantin, bisa saja mereka tidak makan nasi. Tapi bukankah mereka tetap bisa makan nasi di rumah? Jadi apakah perlu dilakukan razia nasi dari rumah ke rumah?
Peraturan seperti itu jelas tidak bermanfaat, masyarakat bukannya diajak untuk mengembangkan pertanian agar dapat memenuhi kebutuhan pangan di Indonesia. Malah diajak sesuatu yang tidak realistis.
Saya sangat setuju untuk program penghematan. Tapi bukan hal-hal seperti ajakan untuk tidak makan nasi satu hari dalam seminggu. Di mana esensi penghematan yang didapat dari program tersebut? Berhematlah dengan sesuatu yang tidak bisa diperbaharui atau sesuatu yang tidak bisa diproduksi di dalam negeri. Beras adalah bahan pangan yang bisa kita tanam sendiri dan ditingkatkan hasilnya. Seharusnya itulah program pemerintah yang utama, yaitu mengembangkan sektor pertanian.
Mengganti makanan pokok atau diperhalus dengan istilah diversifikasi makanan pokok jelas tidak mencerminkan keadilan. Masyarakat miskin menjadi kelompok masyarakat yang sangat tergantung mengkonsumsi pangan jenis beras. Bagi orang miskin membeli beras menjadi porsi terbesar pengeluaran mereka, sehingga diversifikasi pangan sangat sulit bagi orang miskin. Sehingga diversifikasi pangan dengan mengganti makanan pokok selain beras, sangat sulit dilakukan di kalangan bawah karena terbatasnya pendapatan mereka. Sementara bagi orang mampu, mengganti-ganti jenis makanan sangat mudah karena pendapatannya bisa membeli aneka jenis pangan di luar beras.
Digambarkan, sebagai pengganti beras orang miskin hanya bisa makan mie instan, singkong, jagung atau umbi-umbian. Sedangkan golongan orang kaya akan makan roti, burger, pizza, kwetiaw, donat, kentang goreng, ubi madu, spagheti, cereal, dan lain sebagainya, dimana bahan-bahan pembuat makanan tersebut justru berasal dari impor.
Melakukan diversifikasi pangan dengan mendorong masyarakat mengganti konsumsi beras kepada pangan lainnya nampaknya sangat sulit. Makan nasi bagi orang Indonesia merupakan bagian dari budaya dan ada faktor-faktor psikologis di dalamnya. Kebanyakan orang Indonesia, walaupun sudah makan roti, burger atau pizza misalnya, akan tetap merasa belum makan jika belum memakan nasi. Akhirnya mereka makan nasi lagi. Bukankah ini justru merupakan suatu pemborosan? 

Bukan untuk Orang Miskin
Sebenarnya, kalau kita lihat dari kandungan gizi, memang nasi bukanlah makanan yang tidak bisa digantikan oleh makanan lain. Dilihat dari kandungannya, dalam 100 g nasi terkandung sekitar 28,62 g karbohidrat dan kalori sebesar 130,7 kkal.
Jumlah karbohidrat yang lebih tinggi bisa kita peroleh dengan memakan makanan seperti gadum, roti, mie, sagu atau kentang. Tapi harus diingat, bahan-bahan pangan ini juga berasal dari impor. Sementara untuk kentang, negara kita belum swasembada sehingga belum bisa dijadikan alternatif makanan pokok. Nilai karbohidrat dan kalori dari nasi jelas lebih tinggi ketimbang ubi jalar, ubi kayu (singkong) atau jagung. 
Sebagai makanan yang kandungan utamanya adalah karbohidrat, nasi berperan sebagai sumber energi utama pada tubuh. Coba bayangkan jika golongan orang miskin, yang pekerjaannya hanya mengandalkan otot (tenaga), kemudian dipaksa beralih untuk makan singkong yang nilai kalorinya lebih rendah. Bukankah ini akan mengganggu stamina mereka? Produktivitas juga akan menurun, yang berimbas kepada pendapatan yang ikut menurun juga.
Jadi ajakan kepada masyarakat untuk mengganti makanan pokok yang dilontarkan oleh Tukul Arwana di atas kurang tepat. Seharusnya, ajakan untuk memakan umbi-umbian, khusus ditujukan kepada golongan atas yang kerap menimbun kalori dan lemak dalam tubuh mereka. Untuk golongan rakyat miskin justru pemerintah harus memberi mereka terigu, roti, dan gandum, agar stamina mereka meningkat, produktivitas naik, kesehatan tubuh terjaga dan tidak ada lagi terkena busung lapar.
Sudah ganti makananmu? Secara riil masyarakat bawah kini sudah banyak yang mengganti makanan dengan sendirinya, berupa nasi campur. Nasi kualitas rendah campur jagung, nasi campur ubi, dan nasi aking. Bukan karena mereka mengikuti ajakan si Tukul atau mengikuti program pemerintah “one day no rice”, tapi karena mereka sudah tidak mampu lagi membeli beras. ***