Membangun Mental Warga Sumatera Utara


Membangun Mental Warga Sumatera Utara
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat dalam Harian Analisa Medan, 19 Oktober 2012

Gegap gempita Pemilihan Gubernusr Suamtera Utara (Pilgubsu) pun sudah terasa. Sebagai warga Sumatera Utara (Sumut) mulai saat ini kita harus membangun mental, menjernihkan pikiran, jangan memasang ‘kaca mata kuda’, dan jangan terjebak oleh slogan-slogan kampanye yang menyesatkan. Pilih pemimpin yang benar-benar amanah, bukan memilih pemimpin yang akhirnya menjadi narapidana dan mengakhiri jabatannya dalam penjara.

Kita tentu tidak menginginkan gubernur yang akan datang bernasib sama seperti periode sebelumnya. Kasus tersebut hendaknya dapat dijadikan pelajaran oleh semua bakal calon gubsu. Kalau tujuan mengejar jabatan gubernur, hanya untuk memperkaya diri sendiri dan meraih gengsi, niat mencalonkan diri sebaiknya dibatalkan saja. Warga Sumut membutuhkan figur pemimpin, yang benar-benar tulus mengabdi untuk kepentingan rakyat. Warga Sumut harus menjadi pemilih yang cerdas dalam memilih pemimpin, agar tidak terperosok ke dalam lubang yang sama untuk yang kedua kali.  
Membangun Mental
            Membangun mental dalam menghadapi Pilgubsu 2013 memang diperlukan. Memilih pemimpin berarti memilih masa depan yang akan kita jalani selama 5 tahun kemudian.  Untuk itu diperlukan kehati-hatian dan kecerdasan dalam memilih calon pemimpin. Apalagi kini, siapapun bisa menjadi kepala daerah bahkan mantan narapidana sekalipun.
Mahkamah Konstitusi (MK) membolehkan mantan narapidana (napi) mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah. Hal itu sesuai dengan Putusan MK      No. 4 Tahun 2009. Putusan ini juga dimasukkan dalam Peraturan KPU No.13 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Putusan MK ini menganulir Revisi UU No.12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 58 huruf f.
            Pasal tersebut memuat syarat setiap orang yang ingin mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah harus bersih dari catatan kriminal. Pasal tersebut menyatakan seorang calon kepala daerah harus memenuhi syarat ‘tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih’.
Syarat ini telah dicabut oleh MK, sehingga mantan narapidana apa pun kasus dan beratnya hukuman yang pernah dijatuhkan, tetap berhak ikut mencalonkan diri dalam pemilukada. Jadi mantan narapidana yang pernah terlibat kasus korupsi, perampokan, pembunuhan, pemerkosaan, narkoba, bahkan terorisme, bisa menjadi calon bupati/walikota atau gubernur. Jadi kita harus siap mental, jika kepala daerah di Sumatera Utara nantinya, mungkin adalah mantan narapidana. 
Karena konon, untuk menjadi kepala daerah, modal yang paling utama adalah uang. Istilah ‘uang mengatur negara’ menjadi suatu keniscayaan di negeri ini, terutama di daerah ini. Nyaris 90% kemenangan seseorang calon dalam pemilukada di Indonesia adalah calon yang lebih banyak mengeluarkan dana kampanye, baik secara terbuka maupun terselubung.
Menghadapi seorang calon kepala daerah yang kerap membagi uang, barang atau sembako kita patut curiga. Modus operandi ini patut kita waspadai, kemungkinan besar uang, barang atau sembako yang dibagi-bagikan tersebut adalah berasal dari hasil korupsi, berasal dari uang sendiri, atau berutang kepada pihak lain (pengusaha). Uang ini tentu harus dikembalikan ketika ia menjabat. Maka tak ada jalan lain, selain melakukan korupsi.
Jabatan Gubernur Sumut menarik banyak pihak, karena Sumut termasuk provinsi yang sangat potensial dengan kekayaan sumber daya alam. Sehingga banyak tokoh daerah maupun tokoh nasional yang ‘turun gunung’ dan ikut menguji peruntungan untuk menjadi bakal calon gubernur Sumut.
Faktor Pemicu
Pengamat politik yang juga aktivis antikorupsi, Ray Rangkuti, menyebutkan sejumah hal yang memicu banyaknya kandidat yang memburu jabatan gubernur Sumut. Pertama, soal regulasi atau aturan main pencalonan anggota DPR (juga DPRD) yang maju sebagai calon dalam pemilukada. Jika seorang anggota DPR gagal terpilih, maka dia tetap bisa duduk kembali sebagai anggota dewan. Dengan kata lain, anggota DPR yang ikut maju di Pilgubsu itu hanya menguji peruntungan. Karena kalau gagal sekalipun, kursi DPR-nya tak hilang. Mereka mirip berjudi saja, ujar Ray Rangkuti (Sumut Pos, 19/05/2012).
Alasan kedua, lanjut Ray Rangkuti pula, para tokoh nasional itu ruang geraknya sudah mulai menyempit di Jakarta. Mereka beranggapan, akan lebih enak mengelola potensi-potensi yang bisa menjadi sumber uang di Sumut. Ketika kans di tingkat nasional sudah menyusut, mereka ingin berpaling mengelola aset daerah.
Ray juga mengatakan, ‘kue’ di Sumut juga tak kalah menarik. Masalah pengeluaran perizinan, terutama perizinan tambang dan perkebunan yang menjadi kewenangan kepala daerah, masih relatif gampang ‘dimainkan’.
Izin pertambangan dan izin perkebunan (juga Hak Penguasaan Hutan/HPH) mayoritas bermasalah. Tapi masalah ini banyak yang tak tersentuh oleh KPK. KPK lebih suka mengurusi penyelewengan yang berkaitan dengan penggunaan uang APBN dan APBD. Kepala-kepala daerah banyak yang tersandung kasus korupsi karena penyelewengan dana APBD. Di Sumut masih banyak potensi tambang, perkebunan dan HPH yang bisa ‘dimainkan’ oleh kepala daerah untuk menghasilkan pundi-pundi uang ke dalam kantongnya.
Sehingga tidaklah heran, jabatan gubernur Sumut tetap diminati oleh para tokoh-tokoh tersebut. Mereka tentu telah menghitung ‘untung-rugi’, dan ternyata lebih banyak untungnya. Maka berebutlah mereka untuk mencalonkan diri menjadi calon gubernur Sumut.
Dari sinilah kita perlu membangun mental, mencerdaskan para pemilih dan memberikan pengertian yang komprehensif kepada seluruh elemen masyarakat. Bahwa calon-calon yang ada bukanlah ‘malaikat’ yang tanpa dosa atau tanpa pamrih. Di balik kebaikan mereka (yang sementara), memberi uang atau membagi sembako, ada niat tersembunyi untuk membangun opini sebagai tokoh yang peduli.
Kita sudah belajar dari gubernur Sumut sebelumnya, dikenal sebagai seseorang yang dermawan dan suka membagi-bagikan uang, untuk menutupi perilaku korupnya. Akhirnya kita tahu di mana ia kini berada. Jadi hal ini jangan sampai terulang kembali. ***